Ini film pertama versi komersil yang bercerita penggalan kisah seputar jatuhnya Orde Baru. Di antaranya peristiwa demonstrasi mahasiswa, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei 1998. Film yang memotret kejatuhan Soeharto sebelumya lebih banyak bersifat dokumenter, yang penayangannya pun terbatas dari kampus ke kampus, atau dari ruang ke ruang yang tujuannya mengingatkan kepada generasi baru bahwa sekuat apapun rezim yang dibangun dengan tangan besi dan militeristik bisa ambruk oleh gerakan massa yang terorganisir, tertib, dan militan. Pembuatan film dokumenter peristiwa 98 juga mengusung misi agar kita tidak lupa masih banyak dosa sejarah yang belum dituntaskan, agar dosa-dosa sejarah tersebut tidak terulang di masa mendatang. Lalu pertanyaannya kemudian, apakah Lukman Sardi memproduksi film Di Balik 98 mengusung visi yang sama?
Mengabdi pada Industri
Di sejumlah media, Lukman Sardi mengakui bahwa film yang mengangkat kisah seputar peristiwa 1998 silam, masih sensitif bagi sebagian kalangan. Tapi peristiwa 1998 silam ini dinilai Lukman Sardi sebagai sebuah momentum yang penting bagi bangsa ini. Pernyataan itu mengandung makna keraguan pada diri Lukman Sardi, karena jika film ini tidak kuat datanya akan diserang banyak kalangan. Awalnya Lukman Sardi bilang film yang dibesutnya itu mengangkat kisah sejarah, tapi tidak lama kemudian diralat. Tapi sebagai sebuah momentum, film seputar peristiwa 98 silam akan berpotensi secara bisnis. Apalagi film diputar, di tengah situasi politik yang hingar bingar.
Saya memprediksi, film ini akan menyedot banyak penonton. Sejak diiklankan di sejumlah televisi, tidak sedikit kalangan yang mengaku penasaran ingin menonton film tersebut. Mulai dari aktivis mahasiswa angkatan kekinian, terlebih sebagian besar aktivis 98 yang menjadi pelaku sejarah. Dalam makna pasar, strategi mendongkrak jumlah penonton di film Di Balik 98 ini sangatlah efektif dan elegan. Kontroversi yang diumbar bersifat dialektis, ilmiah dan demokratis. Ini menjadi tren baru dalam konteks strategi pemasaran sebuah industri perfilman kita yang dalam kondisi engap-engapan.
Salah satu dampak dari paradigma yang menempatkan film sebagai produk industri, pihak pemilik modal biasanya melakukan manajemen konflik yang dihebohkan melalui media massa dengan pola yang beragam. Film Jalangkung pernah meraih penonton terbanyak setelah beredar kabar banyak penonton yang kesurupan di bioskop saat menonton film itu. Isu itu membuat publik penasaran, dan semakin mendorong keinginan masyarakat menonton film itu. Perseteruan antara Julia Perez dengan Dewi Persik juga diduga sebagai bagian dari skenario pemilik modal untuk menyedot banyak penonton di film Arwah Goyang Kerawang yang dibintangi dua artis seksi dan sensual tersebut. Banyak contoh lainnya yang menjadi strategi pemasaran sebuah rumah produksi agar film yang diproduksinya meledak dan ditonton jutaan orang. Salah satunya menghadirkan artis film porno Miyabi. Bayangkan saja, di mana letak nasionalisme para pemilik modal perfilman kita itu, jika ukuran sukses tidaknya sebuah film terletak dari mulus tidaknya selangkangan dan membusungnya dada seorang artis.
Film Sejarah Versi Pemodal
Pepatah yang mengatakan sejarah milik para pemenang sepertinya tidak berlaku bagi industri perfilman kita. Faktanya sejarah milik para pemodal besar. Setiap film sejarah di negeri ini, pasti membonceng kepentingan pemodal. Sebagian besar sineas mengakui, untuk membuat film yang berkualitas memerlukan biaya yang banyak. Dengan asumsi, biaya yang keluar bisa sepadan dengan biaya yang didapat dari hasil pemutaran.
Mahalnya biaya produksi membuat film menjadi salah satu alasan yang nyaris menjadi pembenaran untuk membisniskan perfilman kita. Karena orientasinya bisnis, maka film yang dibuat harus mengabdi kepada hasil yang didapat. Persetan kualitas yang penting biaya produksi bisa balik, syukur-syukur untung. Sepertinya paradigma itu yang menggejala di semua kepala para pemilik modal yang bergerak dalam industri perfilman kita. Menjadi wajar kemudian jika sejumlah aktifis menduga film Di Balik 98 ini sarat kepentingan atau bisa disebut 'pesanan'.
Film 'sejarah' Di Balik 98 ini diputar di tengah situasi politik terbuka dan liberal. Terlebih pelaku sejarahnya masih hidup, dan menyebar di semua lini profesi. Berbeda dengan film 'sejarah' Penghianatan G30S/PKI besutan Arifin C Noor yang diputar di tengah sistem politik tertutup orde baru, yang berkepentingan mengubur orde lama dengan mengembangbiakan stigma komunisme.
Sebagian besar aktivis 98 yang notabene pelaku sejarah mengaku cemas, diproduksinya film Di Balik 98 bermuatan kepentingan mencuci dosa orde baru. Sebuah orde kelam yang memberangus kebebasan berbicara, berpendapat, berkumpul, berorganisasi atas nama stabilitas. Siapapun yang dianggap bersebrangan dengan rezim, wajib hukumnya diculik, dibunuh, dipenjara dan dicap komunis bagi yang sekuler, dan dicap teroris bagi yang relijius radikal. Rezim yang dibangun dari darah dan airmata rakyatnya.
Lukman Sardi tentunya belum pernah merasakan sakitnya pentungan tentara, juga pasti belum pernah kena gas air mata, apalagi dibuntuti intel kemudian digebuki orang tak dikenal di stasiun, terlebih merasakan dinginnya ubin penjara atas tuduhan subversif melawan negara yang sah. Fenomena itu terjadi menjelang Soeharto turun.
Sudahkah Lukman Sardi bertanya betapa sakitnya keluarga kalangan minoritas yang menjadi tumbal kerusuhan Mei 1998. Bagaimana perasaan anak dan istri Wiji Thukul dan belasan rekan aktivis lainnya, yang hingga kini belum kembali. Jika pertanyaan-pertanyaan itu sudah diketahui jawabnya oleh Lukman Sardi, saya rasa akan lebih bijak dan hati-hati dalam membuat film yang bernuansa sejarah. Apalagi jika tudingan itu benar, bahwa film dibuat sesuai selera dan kemauan 'Sang Pemesan' yang pada ujungnya hanya menjadi sabun untuk mencuci tangan orde baru yang berlumuran darah.
Jujur saja, saya ikut penasaran ingin menonton film Di Balik 98 yang akan tayang 15 Januari nanti. Semoga dugaan kita semua keliru. Semoga. (*)