Pertama-pertama aku melihat datangnya keinginan tersebut dari adanya beberapa fakta di sekeliling kita. Misalnya tetangga kita punya mobil, kita melihat dia begitu menikmati hidupnya dengan mobil barunya. Baru kemudian dalam diri kita timbullah keinginan untuk punya mobil juga, padahal sebenarnya yang kita inginkan bukan mobilnya tapi kenikmatan dalam hidup seperti tetangga kita yang menikmati hidupnya dengan perantaraan mobilnya.
Maka menurut saya, baiknya berdoalah agar kita bahagia, bukan agar kita punya mobil, dan hanya tuhan yang tahu, dengan perantara apa kita akan bahagia. Mobil bisa saja menjadi perantara kebahagiaan bagi orang lain, tapi bisa menjadi petaka bagi kita. Itulah yang sering terjadi “kesalahan do’a dalam memahami keinginan kita”. Keinginan yang saya maksud adalah keingina yang terkuat yang meluap-luap dalam diri kita.
Tapi aku tak percaya, kalaupun ia datang akibat dari fakta yang ada, kenapa banyak keinginan yang berbeda dalam diri manusia walaupun mereka berada dalam fakta dan realitas yang sama.? Artinya, tidak semua tetangga yang ada disekeliling kita sama-sama punya keinginan kuat untuk memiliki mobil. Inilah misteri pertama.
Kebaikan dan Keburukan dalam keinginan kita ternyata tak bisa di lepaskan. Karena Keduanya berada dalam kuasa tuhan. Itulah yang kita sebut sebagai totalitas keimanan. (Kalau baik itu bisikan ILAHI, tapi kalau buruk itu bisikan Syetan. inilah rambu-rambunya.) Hanya kehendak tuhan yang berlaku disana. Namun kita tak pernah tahu apa sebenarnya kehendak tuhan tersebut. Itulah takdir menjadi misteri selanjutnya.
Berpangku tangan karena pasrah pada Takdir adalah kebodohan, karena takdir itu tidak kita ketahui lalu kita memasrahkan hidup kita pada prasangka yang sama sekali tidak kita ketahui. Artinya kita tidak tahu kalau kita ditakdirkan jadi orang kaya atau miskin. Namun kita membangun pemikiran, kalau kita di takdirkan kaya maka tanpa usaha apapun kita akan kaya.
Persepsi demikian sebenarnya keluar dari hukum semesta yang telah menjadi takdirnya. Artinya tanpa makan mustahil kita kenyang. Hukum ini berlaku secara umum sesuai persepsi umum kemanusiaan kita, bukan persepsi tuhan. Karena di tangan tuhan tak ada yang mustahil. Disinilah pentingnya peran Usaha dan Tanpa Putus asa. Karena Rahmat Tuhan itu senantiasa ada dan mengucur pada seluruh Makhluknya. Artinya kita harus senantiasa mencari sebab yang wajar dalam menjalani hidup kita sehari-hari.
Jika kita ditakdirkan kaya, maka kita pasti punya usaha yang keras untuk mewujudkannya, demikian juga sebaliknya. Kenapa kita harus berusaha padahal semuanya sudah ada takdirnya? Jawaban dari ini karena kita tidak tahu takdir kita. Maka jika kita berpasrah pada ketidak tahuan itulah kebodohan.
Kita kembali pada persoalan keinginan antara “memiliki mobil” dan “kebahagiaan hidup”. Dalam dua hal ini kita sering salah menafsirkan keinginan kita sendiri, pada kenyataannya kita punya keinginan untuk bahagia, tapi kita menyangka kalau kebahagiaan itu hanya bisa kita raih jika punya mobil. Inilah kesalahan prasangka. Kalau dalam ilmu logika disebut “over generalitation”.
Kalau kita analogikan, kita pergi ke laut untuk menangkap ikan paus, tapi malah kita berharap manangkap ikan teri dulu baru dapat ikan paus. Atau bahkan kita berbangga diri kalau dengan ikan teri tersebut yang kita anggap sama telah mendapatkan ikan paus.
Hal semacam ini sama hal nya dengan kita ketika sedang shalat, banyak orang yang shalat hanya agar rezekinya lancar, agar doanya terkabul, agar keinginannya tercapai. Padahal inti dari dari shalat itu bukan itu, terkabul tidaknya doa itu bukan terletak pada siapa yang berdoa tapi terletak pada siapa yang mengabulkan doa.
Yang kita harapkan sebenarnya hanyalah KeridhaanNya. Tapi kita malah mengharapkan Rizki yang kerap kali kita pahami dalam arti sempit yang berupa material hidup di dunia. Padahal sejatinya Kesempatan untuk Shalat, Kesempatan untuk melakukan kebaikan itulah rizki yang sebenarnya.
Sebenarnya dalam tradisi sufi yang mereka harapkan dalam laku ibadnya bukanlah ciptaan atau pemeberian dari Allah, tapi perjumpaan dengan Allah. Seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Syek Abdul Qadir Jaelani dan para Ulama Sufi Lainnya yang tak mengharapkan surgaNya tapi mengharapkan perjumpaan dengan pencipta surga. Karena mereka tahu, kalau Pencipta itu pasti lebih indah dari CiptaanNya.
Selama ini, kita selalu terkagum-kagum dengan keindahan semesta, dengan keajaiban-keajaibannya. Demikian juga nantinya di surga, kita pasti akan terkagum-kagum dengan keindahannya, keistimewaannya dan kemegahannya. Keduanya dunia dan surga adalah ciptaan. Tidakkah kalian punya keinginan untuk bertemu dan tahu dengan PENCIPTANYA..????