Ini perpisahan yang dramati, serius dan intens, terutama karena penyab utamanya pemuda yang belum pernah melangkah jauh dari batas desa tempat ia dilahirkan, masih terlalu lugu untuk menjejaki keriuhan kota besar yang tak punya hati. “apakah tidak bisa kuliah dikampus dekat-dekat sini anakku..?” Tanya ibunya kala itu, sembari meneteskan air mata yang terasa panas membakar kerinduan anak bungsunya yang masih sering tidur di pangkuannya.
Namun pemuda itu tetap diam tanpa kata, tapi sorot matanya menyampaikan pesan keterpaksaan akan kepergian, ia tahu tak harus membicarakan ini di detik-detik keputusannya yang telah diambil, karena jauh hari sebelumnya semua tema pembicaraan sudah diselesaikan. “Jika ibu tidak ridha, aku akan diam di sini, aku tak akan melangkahkan kakiku lagi”. Ucap dengan meletakkan tas ransel yang berisi kaos, baju dan dua potong celananya di depan keki ibunya.
“Biarkan dia pergi , jangan kau menambah berat kepergiannya”. Bujuk sang ayah yang berdiri disamping ibunya kala itu. Namun sang ibu hanya menyeka air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipinya. Pemuda itu tetap menunggu dan menatap ibunya, ia mencoba menterjemah air mata itu, namun ia selalu gagal menyelami kehangatan tetesan air mata tersebut. Karena ia tak begitu mengerti bagaimana ada cinta yang lebih besar dari matahari kepada bumi. Padahal matahari senantiasa menyinari bumi disiang hari, dan masih mengutus bulan dimalam hari untuk memantulkan cahayanya. Jika cinta matahari begitu senantiasa dan kontinu, lalu bagaimana cinta ibu pada anaknya.?? Kalau cinta matahari 24 jam, lalu berapa jam cinta ibu? Jika cinta ibu 27 jam, kemana aku mencari 3 jamnya.>?
Pertanyaan itu ia simpan, ia hanya bersimpuh di kaki ibunya. “Ibu jangan kau sembunyikan surga di kakimu, aku membutuhkannya ibu, sebagai bekal perjalanku menuntut ilmu”, ucap anak itu yang tak mampu lagi menahan gelombang air mata yang sudah sejak tadi ingin meluap. Dia hanya ingin membuat kepergiannya sederhana, sesederhana kepergiannya kepesantren di waktu-waktu sebelumnya.
“Bismillah Liridhallah, Aku meridhaimu anaku, Pergilah…… dan jangan melihat kebelekang lagi, karena aku tak mungkin sekuat ini untuk kedua kalinya”, ujar ibunya dengan tangis yang tertahan. Seakan ia ingin segera menyelesaikan drama ini. Saat itu pula setelah mencium kedua tangan dan pipi ibu dan bapaknya, pemuda itu pergi memantapkan langkah-langkah kecil meninggalkan tanah kelahirannya. Walaupun ia tak pernah tahu kalau langkah-langkah kecil itulah yang menjadi langkah besar dalam hidupnya.
Tatapan ibu, saudara dan sahabat-sahabatnya hanya mengantarkannya sampai kesebuah tikungan tajam yang tak jauh dari rumahnya. Dia sanalah pemuda itu kemudian menghilang seperti di telan malam. Sepanjang perjalanannya pelan-pelan ia melukis hari esoknya, walaupun tak tahu persis apa yang akan terjadi pada dirinya. Di tanah ibu kota yang riuh dan penuh tantangan. “Aku hanya ingin belajar dan menuntut Ilmu, dan aku pasti bisa” begitulah tekad kuat yang ia pegang.
Aku bisa menceritakan secara detail tentantang pemuda itu, bukan hanya kisah yang bisa dilihat dan di dengar, tapi juga kisah tentang apa yang ia pikirkan yang ia rasakan dalam menapati jalan-jalan terjal kehidupan ini. karena pemuda itu adalah aku sendiri. Ya aku sekarang ibarat wartawan yang sedang mewartakan dirinya sendiri.
Sepanjang perjalanku aku hanya bisa terdiam dan duduk di tepi jendela sebuah bis antar kota, langit begitu indah siang itu, suasana juga sangat cerah, disertai bias awan putih yang tampak lembut dan anggun. Pikiranku melesat jauh meninggalkan jejak kakiku, meninggalku duniaku, meninggalkan realitas yang sedang aku jalani. Pikiranku terbang jauh ke masa 20 tahun yang akan datang, dimana aku datang kerumah dengan membawa segudang prestasi dan potensi, dan turut andil mengembangkan desa yang tertinggal dengan hati dan sikap yang penuh dengan kebijaksaan.
Namun perpisahan itu memang selalu meninggalkan bekas air mata. Apalagi berpisah dengan anak sulung yang nota bene sudah kehilangan masa kecilnya, masa dimana anak itu masih lucu-lucunya. Namun anak itu tak pernah menikmati masanya sebagaimana mestinya. Anak itu sejak berumur 7 tahun sudah hidup dengan aturan ketat tanpa kemanjaan, sudah belajar untuk tidak menangis walaupun keinginannya tak dipenuhi. Anak itu sudah sejak kecil berada di pesantren. Bahkan ibu pernah menuduh ayahku kejam kala itu, tapi ayah tahu ini demi kebaikan. Sejak saat itu diam-diam ibu juga sering mengirimkan makanan yang banyak ke pesantrenku.
“sudahlah tak usah terus menangis” kata ayah
“Aku yang melahirkannya” jawab ibu, “seorang ayah tak akan mengerti perasaan seorang ibu pada anaknya, dan aku ibunya”.
“aku bapaknya” jawab ayah
“karena itulah kamu tak mengerti”
Ayah kemudian hanya bisa terdiam dan mengelus punggung ibu. Begitulah penggelan kisah tentang kedua orang tuaku pasca kepergianku yang kudengar dari bibi dan pamanku. Setelah itu ayah tiap bulan hanya Tanya kabar lewat telphon dan beberapa bulan kemudian ibu pun juga kadang menelphonku. Karena waktu itu kami tak punya pesawat telphon jadi ibu dan ayah harus rela berjalan sekitar 3 km kerumah pak kades untuk meminjamnya.
Tobe CONTINU….!!