TNI adalah pengayom rakyat. TNI adalah garda depan penjaga kedaulatan negara. Bila rakyat dan TNI sehati sejiwa dalam ikatan patriotisme yang militan, maka negara menjadi kuat dan bermartabat. Akan tetapi sebaliknya, bila TNI dan rakyat tidak sejiwa, maka negara sudah pasti rapuh. Menyatunya TNI dan rakyat dapat dianalogikan seperti bayangan dengan bendanya, atau seperti menyatunya ombak dan samudera.
Tapi sayang seribu sayang, kini kondisi negara sedang rapuh. Rapuh karena digerogoti aneka kasus korupsi dari sabang hingga merauke. Rapuh karena indonesia pasar potensial bagi lapak narkoba internasional. Sementara demokrasi yang ditopang oleh sistem oligarki selusin parpol, tak memberi harapan bagi kemajuan bangsa. Embrio separatisme merebak sebagai dampak dari keresahan sosial yang akut. Lihat kondisi faktual di bumi Papua yang sejak lama resah dirongrong oleh kekerasan berdarah. Apa pun alasannya, kini masalah Papua harus menjadi prioritas utama bagi rezim di Jakarta. Tak bisa solusi penyelesainnya bersifat tambal sulam, melainkan harus menyeluruh, komprehensif dan revolusioner.
Saudaraku yang sebangsa dan setanah air, bila kita tidak memahami situasi sesungguhnya di Papua, pastilah akan bingung dan punya interprestasi yang salah atas berbagai insiden seperti penangkapan, penculikan atau bahkan penembakan dalam kasus apa pun. dalam 2 (dua) dekade terakhir ini sesungguhnya situasi Papua dapat digolongkan tidak kondusif, untuk tidak menyebutnya sebagai "genting" atau dalam suasana darurat keamanan. Ini dampak dari kebijakan politik nasional di Jakarta yg tidak memiliki visi dan solusi ideologis dalam menjabarkan aspirasi yg menggumpal dalam diri "Orang Asli Papua" (OAP). Rezim Jakarta jangan hanya asyik dengan dirinya sendiri. Kebijakan pertambangan freeport telah melukai hati rakyat Papua, apa pun alasan atau argumentasi rasional bisnisnya. persoalan mendesak di republik ini mencakup antara lain:
- Eksploitasi kekayaan alam yang tidak terkontrol.
- Kesenjangan kaya miskin kian lebar.
- Utang negara yang akumulasinya menggunung tujuh turunan.
- Mentaliteit birokrat, elit parpol serta aparatus negara yang dibelit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Ketidakadilan sosial.
- Penegakan hukum yang kacau dan transaksional, terutama masalah kasus kekerasan yang terkait dengan aspek ham di masa lalu.
- Demokrasi oligarki selusin parpol yang tidak efektif dan efisien sekaligus menumbuhkan budaya politik dinasti.
- Pengangguran generasi usia produktif yang dari tahun ke tahun kian meningkat.
- Sistem pengupahan buruh pabrik.
- Tidak adanya kekuatan politik nasional untuk mewujudkan cita-cita berdikari di segala bidang.