Pagi ini saya membaca seorang follower @Yu1iadi di Twitter melakukan kultwit tentang kepemimpinan 2014. Kata paling banyak mengemuka tentulah Capres. Kawan itu di salah satu butir timeline-nya, mengatakan membenarkan kalimat saya, bahwa, Jokowi presiden direstui alam.
Kebetulan saya hendak menuju Balaikota DKI, Jakarta pagi ini. Di jalan saya melihat cover majalah Tempo pekan ini di pengasong di bilangan Patung Tani, Jakarta Pusat. Di sampulnya tertulis Simalakama Mega Jokowi. Saya pun membeli. Sembari menunggu waktu bertemu Jokowi, saya membacanya. Pada halaman 47, Opini Tempo, Alinea terakhir ditulis: Dengan begitu, andaikata PDIP mengusung Jokowi menjadi calon presiden, ia akan mendapat lawan lebih sepadan. Republik ini pun akan beruntung bila memiliki sebanyak mungkin calon pemimpin seperti Jokowi.
Pada Oktober 2012, saya menulis Sketsa butuh 33 Jokowi lagi ini linknya
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/19/sketsa-butuh-33-jokowi-lagi-502728.html . Secara bersamaan, secara tak sengaja saya juga membaca berita Kompas ini.
Menggabungkan bacaan dari link di atas, lalu menyigi halaman 38 Tempo, Wawancara dengan Sabam Siagian, akan kuatnya semangat alih generasi kepemimpinan bangsa dari senior, tepatnya dari sosok tua ke muda kental. PDIP dengan kepemimpinan Megawati telah melahirkan Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini dan Jokowi, di antara orang muda itu.
Sejak awal tahun ini di Twitter saya mensosialisasikan tagar #ANTIPRESJADUL2014.
Dari data Presstalk, jaringan citizen journalist, saya mendapatkan lebih 23 juta pemilih pemula tahun ini, emoh nama-nama calon presiden lu lagi lu lagi (4L). Karena itulah, melihat sepak terjang Risma, Ridwan Kamil, Jokowi, mewakili selera kawula muda, menjadi mashab berkeinginan kuat beralih generasi kepemimpinan.
Selain tiga nama di atas, Kompas pernah menulis ihwal Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, yang “menyulap” daerahnya miskin kini bergairah. Di literatur dan bertanya ke kiri kanan saya juga menemukan nama Bupati Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Maddin Sihombing, telah lama bekerja bak Jokowi.
Maka demam Jokowi saat ini, menurut saya, memang harus dibarengi dengan menjejerkan “kloning” Jokowi ke publik sebanyaknya. Istilah kloning itu tentu bukan untuk mengartikan harus sama seperti Jokowi, mengingat setiap insan memiliki kelebihan dan kekurangan berbeda. Risma, Walikota Surbaya, misalnya., pagi ini ikut mengatur lalu lintas. Saya tak paham apakah Jokowi dulu di Solo pernah melakukan.
Begitupun Ridwan Kamil, kepada saya melalui direct massage di Twitter, mengatakan ia setiap hari naik sepeda ke kantor. Sosok saya kenal figurnya dari membaca saja karya-karya desain high rise-nya di tingkat internasional itu, saya dukung secara total football ketika mencalonkan Walikota Bandung, di antaranya melalui live chatting. Hingga hari ini, bersalamanpun saya belum pernah.
Hingga penghujung tulisan ini, saya masih menunggu waktu hendak berjumpa Jokowi. Jadwalnya padat sekali. Kawan-kawan di PDIP, sebagaimana ditulis Tempo, mengeluhkan komunikasi Jokowi yang sulit dengan mereka di partai. Dari yang saya amati, karena focus bekerja, sosok Jokowi enggan diganggu. Ia konsen kerja. Termasuk, agaknya, enggan diganggu wartawan yang pagi ini saya simak kecele menunggunya. Termasuk pula agaknya juga enggan diganggu saya. He.
Karena bekerja dan bekerja untuk publik itulah agaknya, keberpihakannya nyata, merasakan denyut warga, dan kita semua lalu demam Jokowi. Demam bukan penyakit itu lalu akut, membuat semua orang ingin berbuat, ingin dekat, ingin memberikan “sesuatu” bagi Jokowi. Akan halnya di tulis-menulis, menuliskan Jokowi itu, mengandung resiko, bagi pihak lawan dianggap dibayar. Padahal, fakta sebaliknya, gumun kesukarelaan mengusung Jokowi itu, hanyalah: Demam beralihnya generasi kepemimpinan, agar Indonesia segar