Perjalanan ke kampung halaman menggunakan KA kelas ekonomi. Lebih pas secara waktu, sebab kereta ini sampai di kota kecamatanku tepat adzan subuh. Soal lainnya tidak perlu dibahas. Tak ada yang pas.
Karena sampai subuh, aku dapat segera menemukan bus kecil menuju rumahku yang melintas di depan stasiun. Biasanya, jam lima pagi, bus kecil dengan nama mugi rahayu sudah ngetem di depan stasiun.
Di dalam bus....
Mukanya lonjong dan agak bersih. Meski terlihat terbakar, matanya tidak kemerah-merahan. Debu dan panas di desaku memang kelewat normal. Muka demikian artinya tidak seperti wajah kebanyakan penduduk di desaku. Anehnya logat bicaranya sama persis. Juga keramahannya yang terbatas. Aku jadi ragu, siapa sesungguhnya pemuda di depanku.
Saya mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Sudah lebih setahun hidup bersama di kampungku. Belajar, katanya. Menjelaskan siapa dirinya. Mungkin ia menangkap kelebatan pertanyaan dan keheranan dari mataku sedetik tadi.
Di rumah ayah
Diran namanya. Secangkir kopi dan sebungkus rokok adalah bahan bakar yang bisa membuatnya tahan berbincang-bincang sepanjang hari. Apalagi diskusinya soal politik dan ketertindasan penduduk. Jika sudah bicara, ia mampu membakar kemarahan dan kejengkelan masyarakat kepada pemerintah. Mengapa jalan dan listrik di desa kita belum juga dibangun pemerintah. Mengapa biaya rumah sakit, sekolah bagitu mahal. Sudah begitu jaraknya juga sangat jauh.
Mengapa abang bekerja ke kota? Tanyanya. Bukankah lapangan kerja di desa kita banyak.
Banyak? tanah-tanah di desa kita sebagian besar dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Mereka hanya mau mempekerjakan orang luar. Alasannya SDM kita lemah. Kecuali kau mau jadi buruh harian lepas. Hutan-hutan juga punah dikuasai oleh perusahaan. Kau bilang banyak kerja disini?
Prosa Senin :)