Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Cermin di Akhir Tahun

25 Desember 2012   10:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:04 345 0
Geliat aktivitas dan kehidupan pada saat ini sudah terasa nuansa pergantian tahun.  Murid sekolah sudah terjadwal berlibur. Kantor sudah mulai membuat aktivitas menuju tutup tahun.  Pegawai atau karyawan ramai-ramai memanfaatkan jatah cuti.  Keramaian kota sedikit berwarna dengan semarak akhir tahun.  Semua benar adanya, sah dan hak bagi semua orang untuk menjalankan dan menikmatinya.  Namun, momentum ini sebenarnya .. sama dengan momentum lainnya.  Saatnya perlu merenung … mengevaluasi diri, … agar dapat memperbaiki diri sebagaimana pribadi yang seharusnya. Bagaimanakah menjadi pribadi yang seharusnya?  Pertanyaan ini terlalu luas cakupan untuk menjawabnya.  Penulis tidak memiliki jawaban sistematis, namun lebih tepat menggunakan cermin kehidupan; yang berangkat dari kehidupan nyata.  Momentum pergantian tahun ini sebaiknya untuk membangkitkan memori yang berisi cermin-cermin untuk berkaca perihal perjuangan, semangat, kebaikan, dan kemuliaan.  Berikut ini beberapa cermin yang dapat digunakan. Cermin si tukang rombeng. Suatu kali seorang ibu ingin menjual koran bekas kepada tukang rombeng (pembeli barang bekas/loak).  Tukang rombeng yang ditunggu memang rutin berkeliling di perumahan.  Ketika, yang ditunggu tiba, si tukang menanyakan kepada si ibu barang mana yang akan dijual.  Si ibu menunjuk tumpukan koran bekas di garasi.  Tidak ada kesepakatan transaksi, atau terucap kata-kata terkait harga.  Saat itu si ibu sedang sibuk memasak, sementara si tukang rombeng sibuk menimbang koran.   Sesudah beberapa saat, si tukang rombeng menyelesaikan tugasnya, dan menyampaikan kepada si ibu: “Bu, timbangan koran 26 kg, harga Rp 1200,- per kg; jadi semuanya Rp. 31.200,-”.  Langsung dijawab oleh si ibu, “Baik pak”. Si tukang rombeng yang berusia paruh baya itu kemudian mengeluarkan uang dari dompetnya.  Ia berikan uang kepada si ibu sejumlah Rp. 32.000,-  terdiri 3 lembar uang Rp 10.000,- dan selembar uang dua ribu.  Namun, belum sampai uang berpindah tangan, uang itu ditariknya kembali.  Si ibu agak terkejut, namun tetap sabar dan ramah, sambil berucap: “Pak, biarlah, Rp. 30.000,- sudah cukup”.  Si tukang rombeng masih sibuk membuka dompetnya seolah-olah sedang mencari-cari sesuatu.  Si ibu diam saja sambil menunggu apa yang akan terjadi.  Kiranya, si tukang rombeng tua itu menemukan yang dicari. Ternyata ia menukar uang lembaran dua ribu yang sudah dipilih sebelumnya, dengan uang lembaran dua ribu yang lebih baru.  Si ibu itu tertegun dengan perilaku si tukang rombeng.  Ia tidak kuasa menahan keharuan bukan karena ingin ikhlas menerima hanya Rp. 30.000, tetapi karena kegigihan si tukang rombeng memberikan kepuasan kepadanya dengan uang lembaran baru.  Si ibu memperoleh nilai positif dan kemuliaan dari seorang tukang rombeng. Cermin si tukang putu. Ada seorang tukang putu, atau penjual putu keliling; yang punya perilaku luar biasa.  Sebagaimana pembaca ketahui, membuat kue putu harus ‘membuat dahulu’ dan disajikan hangat-hangat.  Untuk membuatnya, perlu waktu sekitar lima belas menit untuk 10 biji kue putu, atau sekali masak.  Tukang putu itu memanfaatkan waktu ‘lima belas menit’ untuk bercerita dan mengobrol dengan pembelinya. Ia biasanya memulai dengan ucapan Alhamdulillah… karena dagangannya laku.  Cerita tukang putu itu mengalir apa adanya, tidak dibuat-buat. Apa yang diobrolkan?    Hal-hal ringan saja, namun senantiasa membangkitkan pembeli untuk mendengar dan merespon.  Misal, penjual tadi bertanya “Internet itu apa mbak?” Pertanyaan itu bukan untuk dirinya tetapi untuk anaknya yang masih SD.  Ia juga bercerita tentang kesulitan mencari minyak tanah untuk kompornya. Ia juga mencoba mengenali pembelinya tanpa bermaksud mengganggu kenyamanan pribadi.  Ia mengakhiri jualannya dengan ucapan terimakasih dan mendoakan pembeli untuk berhasil dalam pekerjaan atau sekolahnya.  Obrolan ini pula yang membuat ia mengenali pembeli, dan mengisi memori untuk diceritakan kelak dengan pembeli yang sama dalam kesempatan berikutnya.  Tidak disadari bahwa tukang putu itu sedang mengembangkan sikap positif kepada pembelinya. Cermin seorang karyawan Cerita ini bermula ketika ada suatu kantor merubah kebijakan asuransi kesehatan.  Sebelumnya kantor ini memberikan jaminan pelayanan kesehatan untuk karyawan dan anggota keluarganya.  Kebijakan yang baru, anggota keluarga tidak lagi dijamin oleh kantor.  Seketika timbulah keresahan  oleh karyawan.  Mereka kuatir akan kondisi kesehatan keluarganya.  Mereka membayangkan hal-hal negatif, kekuatiran, dan hal-hal yang akan terjadi dengan keluarganya.  Di tengah kegalauan tersebut, seorang karyawan memiliki pikiran yang positif dan jernih.  Karyawan tersebut mencoba menenangkan teman-temannya, “Kita semuanya sudah memahami kebijakan ini.  Kita tidak perlu takut atau kuatir, kita serahkan kesehatan, keadaan, kehidupan dan jiwa dan keluarga kita kepada Allah.  Kita mohonkan kepada Allah untuk menanggung kehidupan kita.  Perkara asuransi bisa kita pikirkan dengan opsi-opsi lainnya.  Yang penting kita harus tenang, bekerja sebaik-baiknya dan memohon kepada Allah”.  Karyawan tersebut sedang mengembangkan nilai positif dan manfaat untuk memahami perubahan kehidupan di kantornya. Cermin (kedisiplinan) ibu/atasan Seorang ibu yang mengomel, cerewet, atau menuntut adalah hal yang tidak nyaman bagi putra atau putrinya, atau siapa saja yang mendengar.  Seorang atasan di kantor yang ‘angker atau disiplin’ pasti tidak disukai bawahannya.  Tetapi tunggu dulu, tentu ada sebabnya.   Jangan dilihat dari sisi negatifnya saja.  Banyak sisi positif dengan mengikuti perintah, nasehat atau ajakan seorang ibu atau atasan.   Seorang ibu menyuruh anaknya untuk sholat, mengaji dan belajar, perlu cerewet agar tertanam nilai-nilai akhlak dan amaliah bagi anak-anaknya.  Seorang atasan yang galak dan tegas adalah perlu agar supaya tujuan organisasi tercapai melalui semangat dan kerja keras. Bahkan omelan atau tuntutan tersebut sangat dirindukan ketika berhasil mendapatkan kebaikan, kemuliaan, nilai positif dan kesehateraan lahir dan bathin.  Seorang yang berhasil atau sukses adalah orang yang berhasil mentransformasikan suatu tantangan atau masalah (omelan atau tuntutan) menjadi suatu perubahan sikap yang positif dan produktif sehingga menghasilkan manfaat bagi diri dan lingkungannya.  Seorang pecundang adalah orang yang melihat tantangan atau masalah dan terus menjadi masalah dalam kehidupannya.  Karenanya, ia pun sibuk dengan masalahnya, dan akhirnya menjadi orang yang selalu bermasalah. Cermin seorang penulis Banyak cerita keberhasilan dari orang-orang yang punya kebiasaan menulis.  Mengapa demikian?  Karena sesungguhnya, seorang penulis telah terlatih, terbiasa untuk menyusun kata-kata, rangkaian kata, dalam rangka merekayasa kehidupan.  Bagaimana tidak?  Seorang penulis sesungguhnya senantiasa menempatkan pikiran pembaca ke dalam tulisannya. Bukan hanya seorang pembaca, tetapi seluruh pembaca.  Karena itu seorang penulis biasa dikatakan sedang mempermainkan pikiran pembaca.  Disitulah, penulis sedang merekayasa kehidupan pembaca.  Penulis roman pasti sedang mengajak pembaca larut dalam romantisme kehidupan dalam cerita itu.  Penulis akademik juga sedang mempengaruhi pengalaman akademik pembacanya. Upaya seorang penulis mempengaruhi pikiran pembaca bukan hal yang sederhana.  Ada suatu proses yang panjang, mulai dari menguasai latar belakang pembaca, setting waktu dan tempat cerita, menulis cerita, memilih fokus, mendramatisasi, membangun konsistensi, serta memilih ending.  Proses itu menjadikan seorang penulis bisa diterima pembacanya.  Penulis itu tidak sedang memikirkan dirinya sendiri, egois atau sak karepe dhewe.  Penulis ingin pembacanya memperoleh cerita, tujuan, manfaat dan konsep nilai dari tulisannya.  Penulis demikian akan diterima khalayak. Renungan akhir tahun Mengakhiri renungan ini, pembaca silakan mengambil intisari dari cermin-cermin kehidupan di atas.  Masih banyak cermin lainnya di sekitar kehidupan pembaca.  Ambilah sisi-sisi positifnya.  Teruslah bercermin dari nilai-nilai kebaikan, kemuliaan dan perjuangan, yang sering datang dari lingkungan terdekat, yang terkadang terabaikan. Kita harus senantiasa menggali, melakukan perubahan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan menempatkannya sebagai makhluk Allah.  Kini saatnya untuk berubah, dengan lebih banyak memberi, berinisiatif, berkreasi, peduli dan berbagi.  Nilai kemanusiaan itu adalah memberi manfaat dan kebahagiaan kepada sesama, sebagai bagian mendapatkan keridhaanNya.   Selamat tahun baru 2013.

http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/2012/12/cermin-di-akhir-tahun-2012/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun