“Bagi Saya, malaria sangat penting mendapat perhatian, mengingat dampak buruknya pada kalangan rentan yaitu, ibu hamil dan anak-anak. Selama bekerja dengan RBM, Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri dampak menyedihkan malaria bagi masyarakat. Saya juga telah melihat bahwa perbaikan bisa datang dari peralatan sederhana dan murah untuk mencegah dan mengobati serta membantu masyarakat keluar dari kemiskinan,“ ucap Princess Astrid.
Ancaman utama bagi kelangsungan pengendalian dan eliminasi malaria adalah berkembangnya resistensi terhadap obat malaria yang paling efektif, artemisini kombinasi therapis yang kini ditemukan di beberapa dearah kawasan Pasifik. Ancaman ini sangat serius, mengingat sejarah bahwa kawasan ini adalah pusat munculnya parasite malaria yang kebal atau resisten terhadap obat.
HRH Princess Astrid dari kerjaan Belgia yang juga perwakilan khusus Roll Back Malaria (RBM) bersama WHO, Unicef, dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI saat mengunjungi Provinsi Lampung, Sabtu (1/4) menyatakan, selama beberapa dekade belakangan ini, banyak obat malaria kehilangan kemanjuran yang disebabkan resistensi. Sebagian negara-negara endemis malaria tidak memiliki pilihan lain jika jika obat-obatan yang ada tidak manjur lagi. Keadaan ini akan menyebabkan sekitar 216 juta orang pertahun terinfeksi malaria tanpa ada pilihan pengobatan . Ini tragedy yang disulit dibayangkan, “jelas Princess Astrid.
Baginya pengendalian dan eliminasi malaria begitu sangat penting. Sebab dampak malaria pada mereka yang paling lemah seperti halnya ibu hamil dan anak-anak sangat mengerikan. Meskipun banyak kemajuan dicapai beberapa tahun kebelakang penyakit yang sebenarnya dapat dicegah ini, telah membunuh satu orang anak dalam setiap menitnya. Selain itu kematian yang disebabkan malaria berdampak pada ekonomi masyarakat yang sebenarnya sulit sudah hidupnya.
Sebenarnya pencegahan dan pengobatan malaria sangat sederhana. Namun, masih banyak penduduk jatuh miskin akibat malaria. Di Indonesia berdasarkan data Kemenkes terakhir 11.000 orang meninggal dunia. “Besar harapannya RBM Partnership di Indonesia dapat bekerjasama dengan Kemenkes untuk menyediakan intervensi yang tepat guna untuk mencegah kematian karena malaria, termasuk menyediakan kelambu berinsektisida, “ujar dia.
Keputusan untuk bekerja dengan RBM, menurut Putri Astrid, dikarenakan RBM adalah badan dunia yang melakukan koordinasi pengendalian malaria. RBM dibentuk pada tahun 1998 oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), UNICEF, UNDP dan Bank Dunia serta diperkuat oleh pakar, sumberdaya dan komitem 500 organisasi mitra. RBM juga melibatkan komitmen tingkat tinggi dan memastikan pengendalian malaria tetap berada dalam agenda global melaui advokasi.
Kerjasama erat semua mitra diperlukan untuk mencapai tujuan menyediakan perlindungan yang efektif dan murah bagi mereka yang beresiko tinggi terjangkit malaria. Invetasi pada pengendalian malaria sangat diperlukan untuk mendorong kemajuan ekonomi. (****)