MEMBACA berita di berbagai media cetak atau mendengar ‘ocehan’ reporter dan presenter TV, sering kali kita mendengar kata “CANGGIH”. Kalau sudah begini, ingatan ini langsung terusik dan meluncur 20 tahun ke belakang.
Sekitar 20 tahun lalu, untuk menghormati bahasa Indonesia sekaligus melindunginya dari serbuan istilah-istilah asing, para pakar bahasa kita memperkenalkan –diantaranya– istilah “SANGKIL“ dan “MANGKUS“. Kalau tidak salah, ini untuk membendung popularitas kata “Canggih“ yang dianggap tidak cukup legal dalam struktur bahasa nasional kita.
Sosialisasi digalakkan, tak ketinggalan beberapa media cetak serius ikut memainkan perannya sebagai agen transforasi informasi, giat mengorbitkannya –termasuk Koran KOMPAS. Tetapi “Sangkil“ dan “Mangkus“ tak juga menggapai kepopulerannya, bahkan gagal total merebut penggemarnya –pengguna bahasa Indonesia. Pamornya tenggelam, nasibnya tak sebagus “Alihalih“ atau “Pakar“, punah diterkam zaman.
Sayang memang, kenapa justru bukan kata “Lupa“ saja yang punah! Dengan demikian segala persidangan yang menyangkut suap dan korupsi di negeri ini berjalan lancar, Nunun Nurbaeti, Angelina Sondah, Miranda S Goeltom dan lain-lainnya tidak bisa berkelit “Lupa Yang Mulia“ ketika dulu menjadi terdakwa atau sekadar saksi di persidangan.
Tapi “Lupakanlah “. Sejak teknologi komunikasi berkebang begitu cepat, melapaui kecepatan perkebangan di bidang lainnya, hampir seluruh bahasa di permukaan bumi ini kontan tersengal-sengal mengibanginya.
Gelombang pertama gempuran melanda saat kemunculan teknologi pesan pendek (SMS) yang segera mewabah di lima benua. Fenomena ini tidak hanya mebuat para ahli bahasa gerah dan geram luar biasa, bahkan mampu mebuat habit saling kirim kartu Lebaran, kartu Natal atau kirim wesel pos nyaris punah. Kini semuanya cukup melalui SMS, termasuk untuk kirim uang.
Gelombang kedua gempuran menyusul beberapa tahun belakangan ini oleh kemunculan media jejaring sosial macam twitter dan facebook, melahirkan istilah-istilah baru dalam berkomunikasi dan berinteraksi visual teks. Sekaligus juga memunculkan kompleksitas dan kerumitan tersendiri bagi seluruh bahasa di jagat raya, lebih-lebih karena istilah yang tak ada dalam standar kata itu acap kali dipakai juga dalam komunikasi verbal sehari-hari.
Dengan agak hiperbolik, Dr. Harold Williams –pakar bahasa dari Selandia Baru yang menguasai 58 bahasa– mengatakan bahwa akibat lesatan teknologi komunikasi khususnya SMS dan media jejaring sosial itu kompleksitas kerumitan bahasa (apapun) kini nyaris setara dengan kompleksitas sistem tata surya Milky Way Galaxy (Galaksi Bima Sakti).
Dan dari sebegitu banyak bahasa yang digunakan lebih dari enam milyar manusia di planet bumi, bahasa Inggris lah yang paling pontang-panting. Bayangkan, bahasa yang paling luas digunakan ini, dalam vocabularynya menyediakan 616.500-an kata, plus sekitar 400.000-an kata padanan –yang berubah arti karena tergantung kondisi teknisnya– rasanya masih saja kurang bagi para maniak SMS dan pengguna media jejaring sosial.
Padahal, percayalah, sejauh ini tak seorang Inggris pun yang pernah menggunakan lebih dari 45.000 kata dalam karya tulis maupun ucapannya, selama hidupnya. Pujangga William Shakespeare misalnya, dalam karya tulis maupun komunikasi verbal selama hidupnya –menurut World Almanac– hanya menggunakan tak lebih dari 33.000 kata dari 616.500-an kata yang tersedia dalam perbendaharaan kata bahasa Inggrisnya.
Nah, jika bahasa Inggris yang telah begitu mundial penggunaannya saja tersengal-sengal mengibangi fenomena itu, lantas bagaimana dengan bahasa lainnya macam bahasa China yang merupakan bahasa paling banyak –bukan paling luas– digunakan? Bagaimana dengan bahasa “Ample” milik orang-orang Papua New Guinea (PNG) yang disebut-sebut sebagai bahasa paling tidak konsisten dari segala bahasa nasional yang pernah dikenal manusia? Bagaimana pula dengan bahasa nasional Kamboja yang merupakan bahasa paling royal menggunakan alphabet?
Salah satu jagoan bahasa dari Amerika, Alexander Schwartz yang sehari-hari menggunakan 31 bahasa saat bekerja di PBB pada 1986, berpendapat bahwa para maniak SMS dan pengguna media jejaring sosial adalah produsen kata-kata baru yang agresif, kreatif dan produktif. Jauh lebih produktif dari orang PNG yang dikenal paling ekstrim dan memusingkan dalam berbahasa.
PNG berbatasan dengan Provinsi Papua, berpenduduk sekitar 5,1 juta, sebagian tinggal di daerah-daerah terisolir. Sejak tahun 1884 negara bermata-uang Kina ini jadi jajahan empat nagara. Wilayah barat di jajah Belanda, wilayah utara di jajah Jerman, wilayah timur dan dan selatannya dijajah Inggris dan Australia.
Sejak merdeka pada 16 September 1975, bahasa Inggris menjadi bahasa resmi pemerintah, disamping bahasa Melanesian Pidgin, bahasa Police Motu dan beberapa lagi bahasa pendatang. Tetapi mayoritas pribumi PNG tak peduli. Mereka tetap pada bahasa nenek moyang sendiri, dan karena mereka tinggal di begitu banyak desa terisolir, membuat bahasa “Ample” mereka jadi tercerai berai dalam 869 bahasa lokal yang berlainan kata dan dialek. Setiap bahasa lokal rata-rata digunakan oleh 4000 orang dalam komunikasi sehari-harinya.
Bertahun-tahun para tokoh pribumi berjuang keras menyatukan 869 bahasa lokal itu, mengadopsi dan “menasionalisasi” kata demi kata agar layak jadi bahasa nasional. Kerja keras itu membuahkan hasil, terkumpullah lebih dari 69.000 kata yang bisa difahami dan disepakati artinya ke dalam vocabulary “calon” bahasa nasional mereka.
Standar pemakaian kata dan maknanya telah ditetapkan, para kepala suku dan tetua adat disatukan, dikondisikan dan disefahamkan. Tetapi toh tetap saja, bahasa “Ampul” adalah bahasa paling tidak konsisten. Kata dan istilah baru muncul setiap saat, kadang berupa padanan atau sekadar akronim dari standar kata yang sudah ditetapkan, kadang malah hanya bisa difahami barang 5000 orang. Bagi kelompok (suku) tertentu, seringkali sebuah kata yang sudah distandarkan, justru mereka ubah artinya menjadi kontradiksi.
Sesungguhnya, masalah tibul bukan sekadar karena bahasa “Ampul” PNG hanya mengenal 69.000 kata dalam vocabularynya. Kelompok-kelompok 869 bahasa lokal penduduk aslinya itu suka mengartikan kata demi kata yang telah dibakukan dengan motifasi dan asumsinya sendiri. Suka tak peduli akan arti kata demi kata bahasa lokal tetangganya.
Pada sepuluh tahun lalu, menurut Ziad Fazah (Brazil) yang fasih ber-57 bahasa dan salah satunya adalah bahasa “Ampul”, pribumi PNG sangat royal melahirkan kata-kata baru setiap tahunnya. Bisa dijamin, setiap kata baru tak dipahami oleh kelompok bahasa lokal satu dan lainnya. Padahal artinya mungkin bisa sama, atau sebenarnya sudah ada dalam standar kata mereka. Akibatnya, kadang pembicaraan mereka terdengar layaknya bahasa prokem bagi kelompok yang satu dan lainnya.
Tetapi yang paling parah tentulah tak adanya standar alphabet dalam bahasa mereka. Suka-suka mereka! Di distrik Rotokas di pusat pulau Bougainville misalnya, penduduknya bertahan untuk hanya mengenal dan menggunakan 11 huruf (A,B,E,G,I,K,O,P,R,T dan U). Sementara di lain distrik, ada yang agresif menggunakan huruf-huruf baru, sampai ada yang menggunakan 21 jenis huruf!
Bisa jadi, kesamaannya dalam 869 kelompok bahasa lokal dan resmi di PNG itu adalah pada penggunaan huruf “A” dan “O”. Memang, tak satupun bahasa di planet ini yang tak menggunakan huruf “A”. Sementara dalam sejarahnya, huruf “O” adalah huruf yang tak pernah berubah bentuknya, sejak huruf itu diadopsi dalam sistem alphabet Phoenician pada 1.300 tahun sebelum Masehi.
Luar biasa memang orang PNG. Inggris saja, dalam empat abad terakhir ini hanya menambah dua huruf dalam perbendaharaan alphabetnya. Itu terjadi pada tahun 1630 pasca era Shakespearean. Dua huruf itu adalah “J” dan “V”. Total bahasa Inggris menggunakan 26 aksara– sama dengan yang saat ini kita pakai dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya orang Inggris hanya mengenal 24 aksara, cukup memakai huruf “I” dan “U” untuk mewakili “J” dan “V” dalam tulisan maupun ucapannya.
Sementara bahasa Kamboja yang dikenal sebagai bahasa paling royal menggunakan aksara, total sekarang mereka menggunakan 74 huruf, hampir tiga kali lipat dari jumlah huruf yang kita pakai. Dalam 150 tahun terakhir mereka hanya menambah tiga huruf baru. Bisa dipastikan semuanya tidak ada dalam keypad telepon genggam dan keyboard laptop kita.
Dalam kondisi demikian, bisa kita bayangkan betapa kalang-kabutnya bahasa-bahasa itu –termasuk bahasa Indonesia– menjaga pakemnya dari rongrongan para maniak SMS dan pengguna media jejaring sosial yang sangat agresif meproduksi kata dan istilah-istilah “ilegal”.
Adakah zaman tengah menuntut lahirnya kata-kata dan huruf baru? Atau jangan-jangan sebenarnya peradaban sudah cukup puas sekadar kita suguhi daur ulang kata-kata jadul (jaman dulu) macam “gulau“ dan sebagainya yang belakang meroket kepopulerannya?
Tugas para ahli bahasa untuk menjawabnya. Tetapi yang jelas, bahasa adalah salah satu indentitas sebuah bangsa. Bahasa adalah salah satu elemen perekat nasionalisme dan pruralisme yang sesungguhnya, bukan sekadar nasionalisme imajiner yang dibangun atas doktrin senggol bacok atau doktrin bambu runcing.
Karena menyadari begitu pentingnya peran bahasa nasional inilah, tahun lalu anggota parlemen Ukraina merasa perlu baku hantam. Bentrokan itu terjadi antara kubu pro pemerintah versus oposisi disaat sidang parlemen tengah membahas undang-undang yang memperbolehkan penggunaan bahasa Rusia di pengadilan, rumah sakit dan institusi publik lain di wilayah Ukraina yang sehari-hari sudah “terlanjur“menggunakan bahasa Rusia.
Bisa jadi ini adalah salah satu “pemberontakan“ harga diri dan nasionalisme Ukraina yang pernah begitu lama diinjak-injak Rusia atas nama hegemoni Beruang Merah Uni Soviet. Maklum, ada banyak kebencian terpendam begitu lama dalam dada warga negara-negara pecahan Uni Soviet terhadap Rusia. Dua diantaranya adalah keharusan untuk berbahasa Rusia dan keharusan memasang patung kamerad Joseph Stalin di titik-titik strategis simpul arus lalu lintas di kota-kota mereka. Selama berkuasa dari tahun 1930 sampai 1953, Stalin memaksa mesin politiknya membangun lebih dari 6.000 patung dirinya di ribuan kota wilayah Uni Soviet di daratan Eropa Timur.
Masalahnya kemudian, sudah sedemikian gentingkah persoalan bahasa di planet ini?
Ada begitu banyak bahasa nasional di dunia ini, melebihi jumlah negara yang punya tentara. Diantara yang yang minimal agak familiar di telinga satu juta orang ada sekitar 178 bahasa, tidak termasuk bahasa Prancis, Inggris, Spanyol dan China yang familiar di telinga ratusan juta hingga miliaran orang. Di luar itu, ada belasan ribu bahasa lokal semacam bahasa Jawa, Batak, Sunda, Minang, Madura dan lain-lainnya.
Dahulu kala, semuanya ini dimulai dari sebuah kata yang terucap. Kemudian kata demi kata itu terangkai menjadi narasi demi narasi, melahirkan dongeng demi dongeng dari generasi ke generasi. Dibuat sedemikian rupa agar mudah diingat dan difahami dalam berbagai bahasa, lahirlah apa yang kemudian mereka sebut “bahasa lisan“.
Kemudian, secara misterius, pada lima milenium sebelum Masehi, narasi demi narasi itu dituliskan dalam bentuk huruf demi huruf, zaman literatur pun menyapa peradaban. Lahirlah apa yang kemudian mereka sebut “bahasa tulis“. Dari Yunani ke Persia ke India ke China, ke mana-mana, bahasa tulis itu ternyata justru melahirkan banyak kontroversi besar.
Lebih dari dua milenium, dari Homer ke Aeschylus ke Dante ke Shakespeare ke Tolstoy, bahasa tulis itu nyaris selalu memunculkan asumsi kontra asumsi. Kenapa? Karena bahasa tulislah yang melahirkan sejarah, sementara bahasa lisan melahirkan dongeng dan mitos. Orang merasa perlu berdebat soal kebenaran dan penyelewengan sejarah, tapi tidak merasa perlu melakukan hal serupa terhadap legenda.
Nah, huruf-huruf baru mereka ekspose, kata-kata baru mereka rilis dan eksploitir, sedemikian rupa untuk mempermudah dan memperlancar proses komunikasi dan interaksi. Kata demi kata timbul tenggelam, lahir dan punah seiring pekebangan zaman dan persinggungan peradaban. Itu terjadi pada bahasa nasional apapun, termasuk bahasa Indonesia.
by IWAN GAJAH @TuhanPatih