Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Punahnya Susilo, Bambang, Joko, Widodo

18 November 2013   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:59 527 15
Ditemukannya metode-metode penemuan, membuat zaman melesat bagai Ferrari ngebut di jalan bebas hambatan. Segalanya cepat berlalu, dilupakan dan bahkan kemudian punah ditelan peradaban.

Itulah yang aku rasakan belakangan ini. Kematian barangkali tidaklah mencemaskan bagiku, karena kematian memang tak bisa ditangkal dengan ilmu kesakstian macam apapun, kematian tak bisa disiasati dengan teknologi termutakhir sekalipun.

Kepunahan-lah yang justru menghantuiku. Esok atau 25 tahun lagi aku bisa saja mati, dan apakah namaku akan di kenang –minimal oleh keturunanku nanti? Aku sering berharap dan berandai-andai, ada diantaranya anak dan keturunanku nanti yang memakai salah satu kata dari dua kata dalam namaku.

Namaku, Hadi Wirawan … dan itulah yang mencemaskanku. Aku masih hidup. Tetapi faktanya, namaku sudah punah –bahkan di jantung pulau Jawa sekalipun, tempat dua kata dari namaku itu menggapai puncak popularitasnya pada abad 16-19.

Sejak kejadian dalam sebuah reuni SMP beberapa waktu lalu di Pantura Timur Jateng, bukan aku saja yang dihantui kecemasan atas fakta “Kepunahan” ini. Bambang, Susilo, Joko, Yudhoyono, Widodo, Hadi, Sutrisno, Budiono, lebih-lebih Ngadino dan Supeno, juga resah oleh fakta mengerikan ini.

“Generasi kita boleh saja akan punah, tetapi apakah nama kita juga harus ikut punah?,” sodok Susilo, salah seorang temanku yang kini bekerja di sebuah departemen, menyadarkan kami.

“Iya ya … saya sendiri sekarang ini jarang sekali mendapati ada anak lelaki bernama Bambang,” sahut Bambang, baru tersadar.

Seperti juga Susilo yang anak sulungnya bernama Kevin Latitio Waiwo dan Bambang yang anak keduanya bernama Hang Wira Liverpool (gara-gara dia fans berat klub Liverpol), Joko juga ikut pusing melihat fakta namanya kini tak populis lagi untuk nama-nama anak lelaki generasi sekarang.

“Joko mungkin akan segera punah, tetapi saya berharap Jaka masih akan bertahan di Sunda,” ujar Joko, setengah bercanda, dan mengaku –setelah reuni ini– agak menyesal memberi nama anak lelakinya : Muzamil Maki dengan panggilan Muza. Menyesal karena nama itu faktanya lumayan kontroversial, nama berbau Arab tapi hidung anaknya pesek.

Diantara kami, Supeno (PNS Pemkab) dan Ngadino (juragan material bangunan) yang paling siap menghadapi realita “kepunahan” ini. Supeno (sang pelupa) dan Ngadino (sang pemilik hari) menganggap pemberian nama oleh orang tuanya adalah sekadar kekhilafan, kalau tak ingin disebut gegabah. Dan keduanya tak ingin mengulangi kesalahan itu.

Supeno misalnya, memberi nama anak lelakiknya secara lebih ekstrim dan justru sudah duluan punah, Haryo Jangkar Bumi –anak lelaki Bima Sena dalam cerita pewayangan yang bisa ambles ke dalam bumi. Sementara Ngadino memberi nama anak semata wayangnya, cewek: Bella Anugerah Cinta.

“Segalanya memang berubah. Ndak apa-apa. Barangkali yang susah dirubah di dunia ini hanyalah bagaimana mengubah bentuk hidung orang Yahudi dan mengubah rambut kriting orang kulit hitam,” kata Ngadino, menghibur diri.

“Yang akan benar-benar cepat punah adalah namamu yang berbau sok jago, terkesan militeristik,” sela Supeno sambil menunjuk ke Yudhoyono dan aku (Wirawan).

“Hadi terutama, sudah lama punah,” sambar Sutrisno (sang penyayang).

Kami tertawa, saling tidak tahu apa yang ada di balik benak masing-masing. Aku sendiri mencoba mencari-cari jawab, salah siapa semua ini?

Nama-nama Joko, Susilo, Bambang, Hadi, Budiono adalah bagian dari nama-nama yang pernah berkibar, nama-nama yang sedemikian lama bertengger di papan atas blantika nama anak lelaki di Jawa.

Hadi dan Joko misalnya, pernah dipakai oleh Joko Tingkir alias Mas Karebet alias Hadi Wijoyo sang pendiri dan Sultan Pajang. Joko dan Widodo kini dipakai oleh Gubernur DKI Joko Widodo, dan bisa jadi dia akan menjadi Joko Widodo yang terakhir menjabat gubernur dalam sejarah Indonesia.

Susilo dan Bambang misalnya, kini nama itu masih di pakai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Susilo dan Joko juga di pakai seorang Inspektur Jenderal Polisi yang kini jadi bagian dari ‘Satwa’ penghuni Rutan KPK. Budiono demikian juga, mungkin akan punah nama ini beberapa decade setelah Budino lengser dari jabatan Wakil Presiden RI.

Hmmmm … kadang aku ingin sependapat dengan Shakespeare, “apalah arti sebuah nama?” Tapi itu berarti aku mengkhianati keyakinanku, bahwa Shakespeare terlalu gegabah. Bukankah kita memberi apapun nama, dan seringkali merekayasa maknanya? Bukankah kita berlomba mencari yang bernama melalui nama-nama?

Bahkan mencari apapun di mbah Google, perlu sebuah nama. Minimal sebuah aksara.

Salam .... @TuhanPatih

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun