.:: Disebutkan di alinia kedua, “……. Bima merupakan daerah yang letaknya relatif jauh dari pusat Kerajaan Majapahit di Kediri, Jawa Timur.” Kalimat ini benar-benar ‘fakta baru’ –jika konteksnya ekspedisi ke Bima dan Gajah Mada– yang sangat mengenaskan!
Pertama. Majapahit diproklamasikan oleh lurah desa Tarik bernama Raden Wijaya alias Sangramawijaya pada 10 November 1293, di desa Tarik, Mojokerto. Bersamaan waktunya, Lurah Wijaya menobatkan diri sebagai raja Majapahit dengan nama abhiseka Kertarajasa Jayawardhana dengan gelar Tuhan Pijaya. Wijaya sekaligus juga memproklamasikan berdirinya dinasti baru Rajasawangsa yang bersumber pada Ken Arok - Ken Dedes - Tunggul Ametung (Singosari).
Dimaklumatkannya Rajasawangsa –dinasti Rajasa– ini sesungguhnya untuk menegaskan terpungkasinya kekuasaan Isanawangsa yang didirikan oleh Mpu Sindok yang kemudian dilanjutkan Dharmawangsa, Airlangga, Jayabaya, dan terakhir Kertajaya alias Dandang Gendis [di Kediri] yang terguling dari kekuasannya oleh Ken Arok. Isyanawangsa inilah yang ‘gemar’ pindah ibukota kerajaan, sampai empat kali dari Jenggala (Sidoarjo) di masa Empu Sindok sampai ke Daha [Kediri] di masa Airlangga.
Proklamasi Majapahit ini terjadi tujuh bulan setelah Kerajaan Daha (Kediri) runtuh diserbu balatentara Tartar pada April 1293, dan raja Jayakatwang beserta keluarganya dieksekusi di atas kapal yang membawanya berlayar ke China. Jayakatwang sendiri adalah paman Wijaya, dia keturunan Ken Arok – Ken Umang yang oleh Kertanegara –raja terakhir Singosari mertua Wijaya yang memerintah dari kotaraja di Kediri– diberi kekuasaan sebagai raja bawahan di Gelang Gelang.
Kedua. Dari Wijaya (1293-1309) kemudian ke Kertabumi alias Kala Gemet alias Jayanegara alias Sri Sundarapandya Adiswara (1309-1328) ke Tribhuana Tunggadewi alias Jayawisnuwardhani (1329-1351) ke Dyah Hayam Wuruk alias Sri Rajasanagara (1351-1389) sampai Duhita (1429-1447), ibukota Majapahit tak pernah bergeser dari sekitar Mojokerto-Jombang.
Situasi baru berubah ketika Majapahit tidak di bawah kekuasaan keturunan langsung Wijaya (Rajasawangsa). Sepeninggal Duhita yang jadi raja adalah anak Wikrawamardhana –suami Duhita– dari istri selir: Sri Kertawijaya. Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam tafsir sejarah Nagara Kretagama, sesudah tahun 1451, Majapahit dikendalikan oleh Girindawangsa keturunan Bre Pamotan Sang Sinagra alias Giridrawardhana Dyah Wijayakarana.
Saat-saat inilah ibukota Majapahit sempat pindah “ngumpet” ke Kediri, ketika Dyah Ranawijaya (1486-1527) yang kemudian bersama kerabat dan pejabatnya berame-rame eksodus ke Bali dan Lombok ketika diserbu balatentara Demak di bawah komando langsung Sultan Trenggono. Kalau ini yang dimaksud Gatot Widakdo dalam tulisannya, tentu tidak ada relefansinya dengan Gajah Mada.
.:: Berikutnya alinia 14 disebutkan: “…… yang masuk ke Pulau Sumbawa bersama kedatangan Gajah Mada dan bala tentara Majapahit pada tahun 1377, di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk”. Ini juga ‘fakta baru’ yang mencengangkan. Kenapa?
Pertama. Gajah Mada wafat pada tahun 1364. Tiga tahun setelahnya, Majapahit tak punya Patih Amangkubumi alias Mahapatih, jabatan ini dirangkap Hayam Wuruk karena dia bersama Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari para kerabat dekat yang jadi raja-raja bawahan menilai tak ada sosok yang mampu menggantikan Gajah Mada. Hayam Wuruk baru mengangkat Gajah Enggon sebagai mahapatih Majapahit mengganti Gajah Mada –komandannya sewaktu sama-sama berdinas di pasukan Bhayangkara alias Detasmen Kawal Pribadi Keluarga Raja– pada 1367.
Kedua. Tidak [belum diketemukan] catatan sejarah yang menyebutkan Gajah Mada pernah ke Sumbawa (Dompu & Bima). Gajah Mada bersama Mpu Aditya (Warman), Mapanji Jaran Lejong, Senopati Aryo Kenceng dan Senopati Aryo Sentong memang menyerbu ke timur, beberapa bulan setelah Sumpah Palapa dikumandangkan saat Gajah Mada diangkat jadi Mahapatih pada 1334 menggantikan Arya Tadah alias Mpu Krewes, tetapi itu ekspedisi militer ke Bali dan kemudian cuma sampai di Lombok (Gurun).
Setelah peristiwa ini, Arya Kenceng ditunjuk jadi gubernur militer Majapahit di Bali sekaligus diberikan kekuasaan sebagai raja kubu di daerah Tabanan dengan rakyat 40.000 orang. Arya Sentong ditunjuk sebagai wakil gubernur militer merangkap jadi raja kubu di daerah Pacung dengan rakyat 10.000 orang. Sementara Adityawarman –keponakan Wijaya sekaligus kakak sepupu raja kedua Majapahit Jayanegara– pada 1347 berangkat ke Sumatera (leluhur ibunya) dan menjadi raja di Pagaruyung dengan gelar Tuhan Patih. Ia sekaligus menjadi Duta Hamungkasi –duta berkuasa penuh– untuk menyelesaikan masalah-masalah Majapahit di kawasan Selat Malakan.
Catatan sejarah (Pararaton) menyebutkan, Sumbawa –Dompu dan Bima tentunya– baru ditundudukkan oleh armada laut Majapahit di bawah komando Arya Wiramandalika Mpu Nala pada 1357. Oleh karena sukses ini, Laksamana Nala juga disebut sebagai “Pahlawan Padompo” alias Pahlawan penaklukan Dompu. Dari Dompu inilah Majapahit kemudian melebarkan kekuasaan di Nusantara bagian timur sampai Wanin (Papua) dan Muar (Saparua).
Penaklukan Sumbawa ini hampir berbarengan dengan meletusnya Perang Bubat (Mei 1357) yang menewaskan balatentara dan raja Sunda Galuh termasuk putrinya, Dyah Pitaloka yang adalah tunangan Hayam Wuruk. Peristiwa yang membuat Gajah Mada dinokaktifkan dari jabatan mahapatihnya selama dua tahun (1357-1359). Pada September 1359 Gajah Mada kembali berdinas, tetapi sudah berubah karakter. Majapahit tidak agresif lagi.
.:: Berikutnya ada pula yang mengganjal di alinia Sembilan, disebutkan: “Keberadaan Gajah Mada di Bima juga terekam dalam Nagarakartagama (1364) …. “
Nagara Kretagama diserahkan oleh pujangga Prapanca kepada Hayam Wuruk pada 1365, setahun setalah Gajah Mada wafat. Kenapa? Ada semacam dendam pribadi antara Prapanca dan Gajah Mada, dan Prapanca takut betul pada pengaruh besar Gajah Mada yang bagaikan “Raja” Majapahit itu sendiri.
Prapanca juga tidak pernah menyebut Gajah Mada pernah ke Sumbawa, walau memang ada menyebut Dompu. Penyebutan Dompu/Sumbawa adalah dalam rangka menjelaskan daftar kerajaan-kerajaan yang berada di bawah “Uni Protektorat” Majapahit, baik secara militer maupun ekonomi-perdagangan.
Prapanca dicopot dari jabatan Darmadyaksa –yang diwarisi dari ayahnya– oleh Hayam Wuruk karena keinginan Gajah Mada. Prapanca dianggap lebai, cengengesan, dan raut mukanya selalu mengesankan meremehkan setiap orang yang disekitarnya. Prapanca kemudian frustasi dan menyepi ke Banyuwangi dan kemudian ke Karangasem (Bali), menulis beberapa “puisi, catatan harian” di samping Nagara Kretagama juga.
Jelas betul dalam pupuh-pupuh akhir Nagara Kretagama, Prapanca menulis kitap tersohor itu agar bisa mendapat jebatannya kembali sebagai Darmadyaksa, tetapi Hayam Wuruk tak menggubrisnya. Oleh karena latar belakang itu, maka dalam kitab Negara Kretagama sangat sedikit sekali menyinggung nama Gajah Mada. Yang ada kebanyakan puja-puji cenderung hiperbolik pada Hayam Wuruk.
.:: Hadi Wirawan di @TuhanPatih