penting dalam menjalani hidup ini. Mengapa? Karena kita punya banyak keinginan!
Dan kita butuh keberanian untuk mewujudkan keinginan kita! Karena kita punya idealisme! Dan kita butuh
keberanian untuk merealisasikannya! Karena banyak sekali penyimpangan dari
hukum yang semestinya diterapkan! Dan untuk meluruskannya kita memerlukan
keberanian yang luar biasa!
Suatu malam, dalam perjalanan
menuju Solo dari stasion Senen, Jakarta, saya berkenalan dengan seorang
laki-laki yang duduk di sebelah saya, sebut saja namanya Mas Budi (bukan nama
sebenarnya) yang usianya tidak jauh di atas saya. Mas Budi bersama
saudara-saudaranya pulang dari menghadiri pernikahan saudara laki-lakinya di
Jakarta.
Ketika Senja Utama Solo berhenti
di stasion Cirebon, Mas Budi membeli segelas kopi susu yang ditawarkan oleh
seorang laki-laki berkemeja rapi. Mas Budi mengeluarkan uang dua puluh ribuan,
laki-laki berkemeja rapi itu mengatakan bahwa kembaliannya nanti dan pergi
meninggalkan kami untuk menjajakan berbagai minuman yang dibawanya dengan
nampan. Kami pun kembali dengan obrolan kami yang sesekali diselingi seruputan
kopi susu Mas Budi.
Setelah kereta jauh meninggalkan
stasion Cirebon, datang seorang laki-laki –lain-- yang juga berkemeja rapi mengambil
gelas kopi susu yang beberapa saat lalu sudah kosong.
“Mas, kembaliannya mana? Tadi
uangnya dua puluh ribu.” Tanya Mas Budi kepada laki-laki berkemeja rapi
tersebut.
“Lho! Mas bayar dua puluh ribu?!”
Tanya laki-laki itu dengan wajah heran.
“Iya!” Jawab Mas Budi singkat.
“Emang tadi beli di mana?”
“Pas kereta berhenti di Cirebon.”
”Wah… Mas tadi kena tipu. Itu
pasti preman Cirebon yang masuk kereta nawarin kopi susu ke Mas. Liat aja, kalo
dari restorasi kereta ini, tutup gelasnya terbuat dari stenlees, tapi ini dari
plastik.” Jawab petugas restorasi.
Di kantung kemih saya ada air yang
tak bisa dibendung lagi. Saya pun pergi ke toilet meninggalkan pembicaran
antara Mas Budi dengan petugas restorasi.
Sekembalinya dari toilet, saya
langsung duduk di samping Mas Budi, tapi gelas kosong tadi tidak lagi terlihat.
“Gimana Mas?” Tanya saya.
“Wah.. saya kena tipu Mas. Padahal
uang yang dua puluh ribu tadi uang saya yang terakhir.” Jawab Mas Budi memelas.
“Sekarang gelasnya mana?”
“Ya dibawa sama petugas tadi.”
Di benak saya yang pernah belajar teori konspirasi
langsung tergambar peta negatif. “Kok bisa?! Dia bilang tadi Mas ditipu sama
preman Cirebon?! Kok gelasnya dia ambil?? Mas kan udah bayar dua puluh ribu
sama preman tadi?! Dan preman tadi tidak kembali lagi ke sini. Berarti dia
menjual kopi susu sekaligus dengan gelasnya! Artinya!, gelas tadi harusnya
milik Mas Budi! Bukankah petugas tadi mengaku tidak pernah menjual kopi susu ke
Mas Budi?! Tapi kenapa gelasnya dia ambil?! Saya curiga, jangan-jangan ini emang
kerjaan oknum-oknum restorasi.”
Mas Budi diam bingung.
“Ambil gelasnya Mas!” seru saya
dengan nada agak tinggi bersaing dengan deru roda kereta menggilas rel.
“Ini bukan masalah gelasnya! Harga
gelas paling berapa sih?! Tapi ini masalah harga diri! Masa’ Mas Budi mau ditipu dua kali?!
Mas Budi masih mematung.
“Kalo Mas Budi gak mau ambil gelas
tadi, saya yang bakal datengin restorasi buat ngambil gelas Mas Budi!”
Akhirnya Mas Budi mendatangi restorasi bersama seorang saudara
laki-lakinya. Setelah beberapa menit, Mas Budi kembali dari restorasi kereta
tapi dengan tangan kosong.
“Gimana Mas?” tanya saya
penasaran. Mas Budi kembali duduk di samping saya dengan lunglai.
“Katanya… gelasnya gak boleh
diambil Mas.” Mas Budi menjawab putus asa. “Tapi ya sudahlah Mas, biarin aja..”
sambungnya lirih. Saya menurunkan emosi saya.
“Mas, saya ini gak pinter bicara
seperti Mas.” Mas Budi angkat bicara.
“Mas, yang penting bukan pinter
bicara atau tidak. Yang penting menurut saya, Mas Budi Berani bicara atau
nggak?! Percuma saja pinter bicara tapi nggak berani bicara. Sebaliknya,
meskipun Mas Budi gagap, tapi berani bicara, orang lain pasti tau maksud Mas
Budi. Bahwa Mas Budi tidak suka diperlakukan seperti itu. Apalagi Mas Budi gak
gagap, pasti lebih mudah dimengerti. Kita harus berani bicara Mas. Kalo nggak,
orang lain akan berlaku seenaknya terhadap diri kita.”
Saat ini banyak sekali kejahatan
dimana-mana. Pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai pembunuhan dll.
solo balapan pun tiba. . .
ketika itu saya di jemput oleh sopir
karna kebetulan kedatangan saya ke solo bukan untuk sekedar main
ato cuma sekedar pengen mencicipi HIK hidangan istimewa kota
anu menu nateh super unik alias si nasi kucing tea, sama sate telor puyuh di bakar.
dalam perjalanan mabil pun terhenti tepat di depan kantor polisi, macet bukan kepalang
tukang ojek yang tergopoh-gopoh menuju kantor polisi dengan
darah yang terus membasahi bajunya setelah tenggorokannya digorok penjegal
(terkutuk kau penjegal!!). sopir saya –yang dulu suka ngegebukin maling katanya-- sangat
geram sekali karena polisi tidak bertindak cepat menanggapi penjegalan
tersebut.
Alangkah mengerikan ketika semua orang memilih
diam seribu bahasa ketika kemungkaran berserakan dimana-mana. Itu sama saja
seperti ketika seorang saudara perempuan kalian menjerit, meronta, karena
hendak dinodai kehormatannya oleh sekelompok berandalan tapi kalian hanya diam
seakan menikmati kejadian tersebut!
Bagi saya, sikap diam tersebut
lebih kejam dari kekejaman yang terjadi saat itu!
Sikap diam tersebut lebih jahat
dari kejahatan yang ada saat itu!
Sikap diam tersebut lebih
mengerikan dari kemungkaran yang sedang merajalela saat itu!!
Hey! Betul tidak?! (gaya Aa Gym).
Sudah saatnya kita meningkatkan
keimanan kita! Apakah kita ingin selamanya memiliki tingkat keimanan yang
paling rendah gara-gara kita hanya menyatakan ketidaksukaan kita di dalam
hati??? Bersuaralah! Nyatakan sikapmu!
Menyadari betapa pentingnya
keberanian, saya mengajarkan adik-adik saya untuk memiliki keberanian yang
tinggi. Saya katakan bahwa, kita butuh nyali yang sangat besar meskipun
–hanya-- untuk mengacungkan jari saat diberi kesempatan bertanya di sekolah,
kuliah, atau seminar, maka berlatihlah memberanikan diri untuk mengacungkan
jari meskipun tidak memiliki pertanyaan!
Dalam sebuah seminar, ketika para
pembicara selesai memaparkan makalahnya dan moderator mempersilakan peserta
seminar untuk bertanya, adik perempuan saya yang paling kecil langsung
mengacungkan jari meskipun sebenarnya dia tidak memiliki pertanyaan. Saat itu
hanya ada dua peserta yang mengacungkan jari, satu dari peserta laki-laki dan
satu lagi dari peserta perempuan –adik saya.
Moderator memberikan kesempatan
pertama kepada adik perempuan saya untuk bertanya. Dia yang sampai detik itu
juga belum punya sesuatu untuk ditanyakan, mengatakan bahwa “laki-laki dulu
aja..”. moderator pun mempersilakan peserta laki-laki untuk bertanya lebih
dulu.
Setelah peserta laki-laki selesai
dengan pertanyaannya, moderator pun mempersilakan adik perempuan saya untuk
bertanya. Tapi dia masih juga belum punya bahan untuk ditanyakan. Akhirnya, dia
berkata, ”hehe, pertanyaannya sama ama yang barusan..”.
Kasus berikut ini berbeda dengan
kasus adik perempuan saya. Saya pernah menonton acara di TV swasta, sebuah
wawancara dengan seorang ketua pergerakan mahasiswa yang tidak setuju dengan
sistem yang diterapkan di negara ini sekarang. Mahasiswa tersebut berbicara
dengan penuh keberanian.
Ketika ditanya oleh pembawa acara,
“Apa tujuan dari aksi Anda dan teman-teman Anda?” tanya pembawa acara yang
cantik.
“Kami menolak militerisme dalam
pemerintahan! Kami juga menolak sistem pemilu sekarang! Pemilu sekarang lebih
buruk dari pemilu yang lalu!” jawab mahasiswa tegas.
“Maksudnya?”
“Kalau dulu dengan pemilu
tertutup, rakyat memilih kucing dalam karung! Tapi sekarang, dengan pemilu
langsung, rakyat memilih maling secara langsung! (tut tut tut. Sensor.
Mahasiswa tersebut dengan semangat membara memberikan sederetan nama dilampiri
kejahatan yang menurutnya pernah dilakukan) kenapa mereka masih mendapat
kesempatan untuk dipilih?! Bukankah ini menunjukkan bahwa sistem yang ada
adalah sistem yang rusak?!”
“Tapi, bukankah selain yang
berasal dari militer, ada juga dari kalangan non militer?!”
“Inilah akibat dari sistem yang
rusak!, orang-orang yang tadinya memiliki visi yang baik pun terpengaruh oleh
sistem yang rusak!”
“Lalu siapa yang menurut Anda
layak untuk memerintah? Bukankah tidak ada pilihan lain?”
“Beri kesempatan kepada kami yang
muda-muda untuk memerintah!” Jawab mahasiswa mantap.
“Setelah memerintah, apa yang akan
Anda dan teman-teman Anda lakukan?”
“Masksudnya gimana?” tanya
mahasiswa. Saya tidak tahu, apakah dia tidak mengerti pertanyaannya ataukah
bingung mau jawab apa.
“Anda mengatakan bahwa
pemimpin-pemimpin negara ini adalah didikan militer dan akan menerapkan
militerisme. Anda juga mengatakan bahwa sistem yang ada sekarang adalah sistem
yang buruk. Nah, sekarang, anggaplah Anda dan teman-teman Anda diberi
kesempatan untuk memerintah, lalu solusi sistem seperti apa yang akan Anda
terapkan? Oleh Anda dan teman-teman Anda, negara ini mau diapakan?” si cantik
memburu dengan cerdas.
“Ya… beri dulu kami kesempatan,
lalu kami akan berikan solusinya.”
“Jadi Anda dan teman-teman Anda
belum punya solusi sistem seperti apa yang baik menurut Anda?”
“Saat ini kami hanya memprotes
terhadap orang-orang dan sistem yang ada.”
“Tanpa menghadirkan solusi?!”
Sampai akhir wawancara, mahasiswa
tersebut tidak juga memberikan solusi terhadap sistem yang mereka anggap rusak
di negara ini. Mungkin dia belum siap untuk menyampaikan solusinya yang
spektakuler.
Saya senang dengan keberanian
mahasiswa tersebut (meskipun saya lebih terpesona oleh kecerdasan si pembawa
acara. Seandainya dia mau memperdalam pemahamannya tentang islam, saya pasti
mau menerimanya jadi istri). Tapi untuk memprotes sebuah kerusakan, apalagi
yang rusak adalah sistem yang diberlakukan dalam sebuah negara, berbekal
keberanian saja tidak cukup. Kita juga harus bisa menghadirkan solusi atas
permasalahan yang kita protes.
Saya juga sedih ketika ada partai
politik yang jelas-jelas berasaskan islam, tapi ketika ditanya seputar
permasalahan negara yang begitu kompleks mereka hanya menjawab: pokoknya kita
kembali kepada Qur’an dan Sunnah! Tanpa pernah menjabarkan konsep Islam yang
jelas dalam mengatasi permasalahan yang kompleks tersebut. Bukankah Islam itu
sempurna? Bukankah Islam memiliki konsep tentang sistem pemerintahan? Bukankah
Islam juga memiliki konsep tentang sistem perekonomian? Bukankah Islam juga
memiliki konsep tentang sistem pergaulan sosial? Yang semuanya itu sangat
berbeda dengan sistem Kapitalis dan Sosialis! Yang semuanya itu akan menjaga
kemuliaan para pemimpin dan yang dipimpinnya!
Saya khawatir, apabila teman-teman
mahasiswa yang anti militerisme dan partai-partai Islam tersebut berhasil
dengan perjuangannya dan sampai pada puncak pemerintahan, malah bingung
menjawab pertanyaan masyarakat: kalo sistem yang kemarin adalah sistem yang
rusak, yang membuat rakyat di negeri ini sengsara, lalu sekarang, solusi
seperti apa yang akan kalian terapkan??
Dalam menjawab pertanyaan
tersebut, karena memang tidak siap dengan konsep mengenai solusi yang ingin
diterapkan kemudian memberikan jawaban seperti kasus adik perempuan saya yang
lagi belajar meningkatkan keberanian: “hehe, solusinya sama ama –sistem-- yang
kemaren..”.
Bagaimana mungkin masyarakat akan
percaya dan memilih kita dengan penuh kesadaran dan pembelaan bila kita hanya
mampu memprotes tanpa mengahadirkan solusi atas permasalahan yang ada?!
Bukankah untuk menaiki sebuah angkot saja kita harus tahu dulu jurusan angkot
tersebut?! Sepertinya tidak ada sopir angkot baik-baik yang ketika ditanya:
Pak, angkot ini mau kemana?, lalu menjawab: Aaaah..! pokonya kamu naik dulu!
Nanti baru saya kasi tau angkot ini mau kemana! Jika ada sopir angkot yang
seperti itu, saya sarankan kalian untuk tidak menaikinya. Karena jika kalian
memaksakan diri menaikinya, mungkin kalian akan dirampok atau disodomi!
Kita harus menjadi pemuda-pemuda
cerdas dan pemberani yang memiliki pandangan hidup yang bersih dan jelas! Kita
harus memahami konsep Islam dengan jelas! Supaya kita tidak hanya berani
memprotes tapi juga mampu menghadirkan solusi konkrit yang diridoi Alloh, yang
akan mengarahkan dan menjaga para pemimpin untuk berlaku adil terhadap dirinya
dan rakyatnya!