Edy Mulyadi juga pernah mencoba peruntungan mencalonkan diri menjadi caleg DPR melalui PKS. Sayangnya dia gak lolos dalam perolehan suara dukungan. Setelah pemilu 2109, kegiatannya lebih banyak mengulas permasalahan negeri melalui Chanel Youtubenya sendiri.
Pria berbadan sedikit gemuk ini menjadi perhatian saat mengadakan konferensi pers mengenai perpindahan ibu kota negara (IKN). Entah membawa nama organisasi apa, konferensi pers yang ia lakukan sukses mendapatkan perhatian publik. Penolakannya atas perpindahan IKN dengan membawa berbagai alasan, menjadi pembicaraan publik. Videonya bersileweran di lini masa sosmed dengan berbagai caption.
Sayangnya keributan masyarakat yang menyaksikan tayangan videonya bukan tertuju pada garis besar penolakannya pada IKN. Melainkan pada caranya berkomunikasi ketika menyampaikan penolakannya pada perpindahan ibu kota negara.
Kritiknya bagus, namun penggunaan bahasa yang ia suarakan gak bagus. Alhasil sebagian besar masyarakat malah melupakan isi utama pernyataannya dan malah fokus pada kesalahannya dalam menggunakan bahasa yang memantik ketersinggungan masyarakat Kalimantan dan pendukung Prabowo Subianto yang mana Edy Mulyadi menyebut Prabowo sebagai Macan jadi Meong.
Telah ada 2 laporan pada dirinya terkait hinaan pada Kalimantan dan Prabowo.
Miris kalau melihat gaya kritik begini, sangat mudah untuk menghilangkan apa yang ia sampaikan dan malah fokus pada kesalahannya.
Dulu ada istilah di tengah masyarakat, "jika mau terkenal gampang caranya. Kamu kencingi aja masjid, maka kamu akan terkenal karena dibicarakan banyak orang".
Dulu pun orang tua sering memberi nasehat, "jika mau menegur anak, gunakanlah bahasa yang baik, Jangan gunakan bahasa memaki dan kasar. Teguran kita itu baik, namun menggunakan bahasa yang kasar malah sang anak lebih fokus pada kata kasar yang kita gunakan dan mengabaikan pesan utama dari teguran kita".
Giring ketua PSI kerap mengkritik Anies Baswedan. Kritiknya bagus, namun penggunaan kata-katanya gak bagus. Alhasil publik malah menyoroti gaya bahasa Giring yang tidak bagus kepada Anies Baswedan. Memberi kritik pada Anies, tapi ternyata dirinya dikritik atas caranya mengkritik. Kritiknya dilupakan, malah dirinya yang jadi pesakitan karena publik menyoroti gaya bahasanya yang kampungan.
Edy Mulyadi pun demikian.
Ketika ia menolak pemindahan ibu kota negara, sampai disini dia mendapatkan dukungan banyak pihak yang juga merasakan demikian.
"Buat apa sih ibu kota pindah mendadak gini? Kenapa harus Kalimantan? Kenapa juga harus masa Jokowi menjabat sebagai Presiden?"
Namun saat ia melontarkan kata tidak senonoh pada tokoh publik dan daerah yang dijadikan tempat ibu kota baru berdiri, maka disitulah kesalahannya. Publik malah lebih tertarik pada kesalahan yang ia lakukan. Melupakan permasalahan utama atas penolakan pemindahan ibu kota. Dan akhirnya apa yang ia utarakan secara berapi-api dan penuh semangat tinggi menjadi percuma, karena yang terjadi malah personal dirinya yang dihakimi karena ada pihak yang tersakiti.
Sedikit ngelus dada ketika dirinya mempunyai latar belakang seorang wartawan. Logikanya seorang wartawan pastinya mengerti bagaimana menggunakan tata bahasa yang baik dalam menyampaikan sebuah pemikiran. Jika itu sebuah kritik, maka menyampaikannya pun sudah semestinya dalam tutur kata yang apik.
Kenapa memakai tutur kata yang apik?
Sebuah kritik itu membutuhkan dorongan agar ia bisa tampil ke depan menuju pihak yang disasar. Ketika kritik di tampilkan pada sosial media, maka itu berhubungan dengan orang banyak yang melihat, membaca dan meminta respon. Semakin banyak pihak yang menyaksikan, akan membuat kritik itu menjadi teratas seiring interaksi yang terjadi dalam kemunculannya.
Karena berhubungan dengan orang banyak, sebuah kritik harus memperhatikan kaedah-kaedah kearifan dalam penyampaian. Karena yang menyaksikan dan membaca kritik tersebut berbagai macam manusia yang juga berasal dari berbagai macam suku bangsa, daerah dan agama.
Semakin banyak yang setuju atas kritikannya akan semakin baik. Namun saat ada pihak yang tersinggung atas kritikannya karena membawa kata-kata yang menghina agama, suku dan daerah tertentu, ini yang bahaya.
Sesuatu yang bagus namun dikemas dengan  kain yang lusuh dan kotor, akan dianggap gak bagus. Sesuatu yang benar jika disampaikan dengan cara yang tidak benar, akan membawa penilaian bahwa itu tidak benar.
Dan itulah yang sedang terjadi pada diri Edy Mulyadi.
Konfrensi persnya bersama puluhan orang dengan latar belakang yang hebat, menjadi percuma saat ia justru menjadi sorotan publik atas penggunaan bahasa yang serampangan. Tidak ada intelektualitas yang ia tampilkan, malah menempatkan dirinya sebagai orang yang tidak ada tata krama.
Dirinya kini sibuk melakukan klarifikasi dan permintaan maaf pada masyarakat Kalimantan umumnya dan masyarakat Dayak  khususnya. Menjelaskan maksud dari perkataan, bahwa tidak lah demikian yang ia tafsirkan.
Tapi sayangnya sehelai kertas yang telah remuk gak akan kembali seperti semula. Permintaan maaf telah tersampaikan, namun proses hukum tetap terus di lanjutkan sebagai efek jera agar hal begini jangan sampai terulang lagi pada orang lain.
Masyarakat Kalimantan, masyarakat Dayak menggugat pernyataan Edy Mulyadi. Menuntut permintaan maaf dan memproses hukum dirinya atas rasa sakit hati yang ditimbulkan.
Belum menyangkut soal Prabowo yang disebutnya Macan jadi Meong sembari memaki sang menteri dengan kata-kata yang penuh kebencian. Kabarnya ada juga yang mau melaporkan, tapi sepertinya laporan itu akan terhenti karena sosok Prabowo pernah berucap..
"Jangan laporkan orang yang menghina saya dan Gerindra. Tapi belalah orang yang sedang berhadapan dengan hukum, walaupun dirinya pernah menghina kita"
Buat Edy Mulyadi, andai nanti laporan masyarakat Kalimantan ditindak lanjuti oleh kepolisian, ada baiknya coba menghubungi tim hukum Gerindra. Siapa tau mereka mau memberikan pembelaan, walau diri anda sendiri pernah menhinakan ketuanya di forum yang sama dengan peristiwa pelaporan. Jika tim Gerindra mau membantu, saya harap anda jangan malu-malu untuk menerimanya.