Seorang pencipta lagu lebih banyak berpikir bagaimana menciptakan lagu yang dapat menembus selera pasar, sehingga lagunya menjad top hit. Seorang sutradara teater akan memperhitungkan biaya produksi yang dikeluarkan, apakah sebanding dengan jumlah yang diterima dari penonton, atau tidak. Seorang sineas akan berupaya menciptakan sebuah film atau sinetron yang kelak akan mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa harus berkutat apakah mutu film atau sinetron itu bagus ditinjau dari segi estetka atau hanya menjual “dongeng?”
Satrya Graha Hoerip pernah menggambarkan nasib seorang pengarang tua dalam sebuah cerpennya. Sang Pengarang yang sedang dilanda krisis keuangan menghadapi dilemma, antara karangan yang disukai redaksi (dan sekaligus disukai pembacanya) meskipun harus bertentangan dengan hati nuraninya; atau menciptakan karangan yang sesuai dengan idealismenya tetapi tidak akan dimuat. Sebagai konsekwensinya , ia mengambil pilihan pertama. Tujuannya jelas, ia butuh uang ketimbang bersikukuh mempertahankan idealismenya.
Dalam kondisi kesenian yang berorientasi pada pasar, mungkinkah akan lahir suatu karya seni yang adiluhung dan monumental? Pertanyaan itu tampaknya terlalu muluk. Ketika orang begitu sibuk menghitung berapa keuntungan yang diperoleh dari karya seni, maka pertanyaan itu cukup digantungkan di awang-awang saja.
Semangat berkesenian yang dilandasi oleh watak bisnis, tidak terbatas pada kesenian kontemporer, tetapi juga menjangkiti kesenian tradisional. Keduanya telah dikemas sedemkian rupa untuk dijadikan komoditas, dan kemudian dilemparkan ke pasar. Dalam kondisi seperti ini, tentu orang boleh meratap, mengapa wayang sekarang lebih berkesan tontonan semata daripada tuntunan. Mengapa wayang sekarang lebih mirip sandiwara boneka, ketimbang mengetengahkan watak dan berbagai sikap manusia yang disimbolkan dengan segala konflik dan ambisinya. Jawabannya tentu rengrengan Giri Harja, tidak ingin membiarkan wayang hanya menjadi benda keramat yang mengisi nostalgia tanpa sempat mendatangkan uang. Lalu, diciptkanlah suatu bentuk yang diharapkan mampu menyalurkan hasrat kebutuhan hiburan tanpa dibebani oleh berbagai pemikiran.
Semagat dan idelisme berkesenian pada gilirannya harus mengalah, kalau pun toh akan dipertahankan arus akan menyeretnya juga.
Inilah nasib kesenian dalam era industry. Kalau semangat berkesenian telah meluntur dikalahkan oleh kepentingan selera massa, maka nasib kesenian akan tercabik-cabik. Kesenian diubah, direkayasa, direnovasi dengan tujuan memenuhi syahwat hiburan.
Semanagat berkesenian yang dilandasi kreativitas untuk mengemabalikan “jiwa” kesenian ke dalam posisinya semula, nyaris kehilangann tempatnya. BUkan karena kesenian telah menjadi lading tandus, tetapi lading itu sekarang telah diserang polusi yang bekepanjangan. Tak pernah ada yang berniat untuk memberinya pupuk agar lebih subur. Memang, masih ada satu dua yang tetap setia menggeluti kesenian dengan idealisme, meskipun ia harus berhadapan dengan kenyataan yang kurang kondusif.
Yudhistira, lewat sajaknya “Jangan !” mengkritik keadaan seperti ini dengan bahasa lugas.
Jangan bicara terus terang !
Dewi seni adalah kekaburan, kegelapan
Keindahan adalah ular berbulu
Keseharian adalah tabu
Jangan bicara terus terang !
Celaupkan penamu keselokan
Tuliskan puisimu di kegelapan
Sembunyikan bahasamu dikeruwetan
Kehidupan terkurung dalam gedung dan setan
Takutlah engkau kepadanya.