Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Lebaran Ini, Ayah Pulang

14 April 2024   06:38 Diperbarui: 14 April 2024   06:52 225 9

Semarak hari raya terasa kurang bermakna bila tak disertai ritual mudik. Hal ini dipahami benar oleh Tari, istriku.  Jauh-jauh hari, ia mengutarakan keinginan berlebaran di tempat ibu. Pun begitu dengan permintaan Murte dan Zainab. Hati keduanya seperti telah tersandera oleh keinginan berlebaran di rumah nenek mereka.

"Sudah, kita pakai "si belalang" biar hemat ongkos" kata Tari. Sore itu, menjelang buka puasa ia kembali menyinggung soal pulang kampung. Ia rela bila pun harus nyemplak, duduk hampir lima jam di jok motor demi agar keinginan mudik terkabul. Dua kakak-beradik putra kami biasa pergi seminggu lebih awal naik bus.

"Tidak gampang lho mam, pulang ke Bogor pakai motor. Cuaca hari-hari ini sedang tak karuan. Hujan hampir tiap hari turun. Menderita kita bila mesti naik motor sambil basah kuyup".

"Ah, Papa kenapa jadi cemen begini? Dulu waktu pacaran, hampir tiap minggu datang ke rumah. Apa dulu pakai Honda Brio? Perasaan, dulu juga yaa si belalang itu yang papa tunggangi"

"Hus, mama ngarang. Dulu yang Papa pakai motor Haley David Sianturi lho".

Tari pintar membujuk. Rasa-rasanya, hampir tak ada permintaan dia yang tak aku luluskan. Mungkin kesehariannya aktif di PKK RW membuatnya pandai berkomunikasi. Ia pandai mempersuasi orang hingga menuruti apa yang ia mau.


Rumah ibu mertuaku tak banyak berubah. Berpagar tembok dengan pilar-pilar yang kokoh. Pohon rambutan tua tampak tegar berdiri. Dari tubuh pohon ini banyak bermunculan cabang dan daun yang baru. Aa Ridwan, kakak iparku, rajin menebas batang-batang tua yang sudah tak produktif. Aa mewarisi ketelatenan dslam merawat rumah dari mendiang kakek.

Dahulu di bawah pohon rambutan ini keriangan suasana pesta bergaung. Kakek menikahkan Tari denganku. Ia tampak begitu bahagia. Tak henti ia tersenyum. Tak terbilang ia menyawer biduan orkes organ tunggal yang menghibur para tamu. Ketika itu Kakek belum lama pensiun dari dinas ketentaraan. Teman-teman kakek tumplek menghadiri perkawinan kami.

Aku dan Tari menjadikan tempat di bawah pohon ini sebagai sudut pavorit. Kami kerap duduk berdua di sana. Melewati sore yang berkelebat demikian cepat. Menuju senja yang sekaligus sebagai batas waktu kunjunganku. Aku mesti bergegas, kembali ke Bandung saat senja. Bila tidak, Kakek tak beranjak dari kursinya mengawasi kami. Kakek bak kamera CCTV yang siaga sepanjang waktu mengawasi cucu kesayangannya, Tari.

Sampai kini sudut itu masih dan akan selau jadi tempat pavorit. Aku dan Tari mengenang saat saat indah dulu. Saat aku menyambanginya di akhir pekan.

"Masih kau simpan gaun yang kau pakai saat itu, Tari?"

"Jagan berharap banyak A, sejak lama ibu menjadikannya kain lap di dapur!"

"Kau memang tak peka sejarah, garwaku!"

Aku sesali apa yang terjadi pada gaun itu. Gaun pertama yang kubelikan untuk Tari. Satu ketika, kupandangi gadis di hadapanku. Ia tampak jelita dengan gaun itu. Saat itu, aku menatapnya lekat. Mataku tak berkedip, kagum memandangi Tari calon istriku. Hanya dehem suara kakek, kamera pengawas itu,  yang memutus lekatnya pandanganku dari Tari.

"Wan,   Wan,", terdengar suara dari balik pagar. Tari beranjak menuju rumah. Mencari A Ridwan di kamarnya. Ia kembali disertai Aa.

"Ia abah Bandot", kata Tari. Ia seakan tak ingin kehadiran lelaki tua itu merusak acara mudik kami.

"Siapa dia?"

"Bukan siapa-siapa, hanya lelaki tua yang jalannya diseret karena stroke".

"Apa maksud Neng Tari?"

"Sudahlah, A. Jangan sebut dia lagi!"

Kemeriahan hari Lebaran di kampung kami demikian terasa. Begitu beduk maghrib berkumandang, di hari terakhir Ramadhan, bunyi petasan bersahutan di sudut-sudut kampung. Cahaya kembang api berpijar penuh warna di angkasa. Cahaya yang berasal dari komplek permukiman mewah, tak jauh dari kampung kami. Warga berlarian keluar dari pintu rumah. Melangkah dengan cepat agar kebagian memandangi kilatan api, yang beraneka warna itu.

Tak lama berselang, speaker-speaker mesjid menyiarkan takbir. Suaranya demikian bergemuruh memenuhi angkasa. Mengumandangkan lantunan wirid mengagungkan Tuhan sang pencipta alam semesta. Sepanjang malam suara takbir tak pernah selesai. Anak-anak, remaja, dan orang tua silih berganti menyumbang suara. Takbir bergema memenuhi tiap sudut langit yang temaram disinari cahaya rembulan.

"Aa bisa kita bicara berdua?"

"Tentu Juwita, apa yang ingin kau utarakan?"

"Ini tentang rahasia. Masa laluku yang belum terang benar Aa ketahui".

Tari menarik tanganku ke teras rumah. Langkah kaki ia atur lembut. Ia tak ingin orang lain mengetahui keberadaan kami. Dua manusia, yang tak lagi muda, bertingkah seperti anak baru gede. Risih, namun aku menikmatinya juga. Siapa yang bisa menolak, bila Tari sudah berkehendak, gumamku.

"Lelaki yang berjalan bulak-balik itu adalah ayah", kata Tari. Nafasnya tersengal, suaranya seperti menahan amarah. Luapan emosi yang sekian lama ia simpan rapi.

"Ia kembali di awal bulan puasa. Aa Ridwan yang membawanya. Ia tinggal di kamar kontrakan yang Aa sewa. Keadaan ayah seperti itu, tampak tua oleh himpitan kesusahan hidup, dan penyakit yang ia derita".

"Maafkan Tari ya A. Sekian lama Tari membohongi Aa dan anak-anak. Tari mengatakan selama ini bila ayah meninggal sejak Tari dalam landungan ibu. Padahal tidak demikian. Ayah pergi meninggalkan kami saat Tari berusia sepuluh tahun".

"Ke mana ayah pergi?"

"Ke tempat istri barunya, entah di mana".

"Sejak itu ibu membesarkan kami seorang diri. Kebutuhan harian ibu banyak dibantu Kakek. Lama-lama kakek mengajak kami tinggal bersamanya karena tak tega melihat ibu bekerja mencuci baju para tetangga. Kakek sempat berucap bila ia tak akan menerima lagi kehadiran ayah di rumahnya".

"Tari sampai detik ini tak ingin melihat ayah lagi. Kehadiran ayah tak kami harapkan. Ibu dan Tari sudah menutup rapat pintu hati untuk ayah. Lelaki itu begitu tega meninggalkan kami, saat kami begitu tergantung padanya. Saat kami membutuhkan kehadirannya."

Pajar menyingsing di Sukaraja. Kampung kecil dengan segudang kenangan. Kenangan yang memenuhi tiap sudut ingatanku. Kenangan akan masa-masa awal kehidupan rumah tangga kami, aku dan Tari.

Takbir bergema seiring tarikan nafas. Berbalas, bersahutan dari tiap sudut kampung. Dari jauh terdengar suara takbir yang samar, terbawa hembusan angin. Suara yang mengiris kalbu, teringat laku diri yang kerap berkubang dalam khilaf dan salah.

Ke sebidang tanah lapang, di sisi kampung segenap  warga datang berduyun-duyun. Mengenakan pakaian terbaik yang hendak dipakai menghadap-Nya, mendirikan shalat ied.

Shalat didirikan dengan khusyu. Imam membacakan surat Al Ala pada rakaat awal dengan bacaan yang begitu baik. Membawa segenap warga diharu-biru oleh beraneka rasa dalam dada. Hari nan fitri, hari kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci.

Tari melangkah di sampingku. Isak tangis sesekali terdengar. Matanya sembab yang acap ia seka dengan sapu tangan di tangannya. Langkah yang kami ayun kerap terhenti oleh sapa dan uluran tangan warga yang hendak bersalaman.

Tari menarik tanganku. Langkahnya terasa lebih bertenaga. Ia seperti hendak sampai di rumah lebih awal. Lebih dulu dari ibu, Aa Ridwan, dan dua anak kami, yang berjalan di belakang.

"Ayo A, kita temui ayah" katanya singkat.

Aku menarik nafas lega. Suara Tari laksana suara merdu yang turun dari langit. Suara yang menggugurksn tembok keangkuhan diri. Suara yang membawa kesadaran bahwa sejatinya kita, manusia, tak luput dari salah.

Dan kebesaran hati untuk memaafkan adalah hal terindah. Yang lahir dari hati yang bersih. Dari sanubari yang lekat dengan cinta. Tari menarik tangan ini lebih bertenaga. Ia menarik tubuhku ke tepi tempat tidur.

Pajar satu syawal baru menyingsing. Suara takbir membangunkan kami dari peraduan. Kami bergegas membersihkan badan, menyongsong shalat ied yang akan didirikan.








KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun