Setiap pagi lelaki itu berjalan menyusuri keramaian di bibir pantai Losari. Mengenakan baju atasan jas berwarna biru dan celana pendek. Itulah setelan pakaian yang ia kenakan hampir setiap hari. Tak ada yang menemaninya berjalan selain sebatang tongkat di tangan kirinya.
Lelah berjalan, ia berhenti di tembok pelindung deburan ombak. Pandangannya ia arahkan pada kapal-kapal nelayan yang dalam kesibukan membongkar tangkapan ikan. Tiupan angin menyibak rambut putihnya. Ia tak hirau pada lalu lalang orang yang menikmati suasana pagi.
Di saat yang lain, ia anteng memandangi tingkah polah para bocah yang bertebaran di permukaan air dermaga tempat kapal bersandar. Mereka menyelam, membenamkan diri ke dalam laut. Keluar masuk permukaan air seperti gerak ikan lumba-lumba dalam pertunjukan sirkus.
Ia betah berlama-lama berdiri di sana. Memandangi riang suasana para bocah. Menikmati deburan ombak dan sorak serta pekikan anak-anak laut itu. Ia baru beranjak setelah tubuhnya bermandi keringat. Basah kuyup terpapar panas mentari Pantai Losari yang ganas. Ia melangkah, dengan langkah yang diseret, menuju kios minuman kecil yang kujaga.
"Nakke, minta teh manis dingin", pinta lelaki itu.
"Baik, Nakke siapkan segera" jawabku.
Lelaki itu selalu memakai bahasa Makassar untuk menyebut dirinya. Kurasa ia memiliki kebanggaan pada bahasa ibunya. Satu sikap yang unik ditengah kecenderungan banyak orang yang memungut kata-kata bahasa asing sebagai pengganti kata saya. Mereka yang gairah keagamaannya tinggi biasa memakai kata bahasa Arab, "ana". Sedang mereka yang kebarat-baratan memungut kata " i ".
Segelas teh manis dengan tambahan es batu yang kuberi diteguknya sampai habis. Hanya tersisa pecahan es batu di gelas. Ia meminta untuk diisi kembali, aku pun secepat kilat menuangkan ceret berisi air teh serta sebongkah kecil gula batu. Lelaki itu menikmati gelas keduanya.
"Nakke, baru sebulan datang di sini". Lelaki itu membuka obrolan. Aku mendengarkan ia bercerita tentang dirinya. Lelaki itu menyebut namanya Asrul. Ia tinggal di penginapan tak jauh dari Keriuhan Pantai Losari.
Asrul seorang bapak dengan tiga orang anak. Kehidupan keluarganya begitu baik. Ia bekerja wiraswasta sebagai pengrajin kursi jok. Sejumlah pekerja membantunya dan penghasilan bersihnya setiap bulan sampai puluhan juta.
Setiap pekan datang pesanan yang jumlahnya banyak dari toko meubel rekanannya. Kursi-kursi beraneka model buah karyanya tersebar sampai jauh. Tidak saja di Kota Makassar dan sekitarnya,namun sampai pula di tanah Jawa. Asrul hidup serba berkecukupan.
Tak ada pohon yang tumbuh tinggi tanpa terpaan angin yang kencang. Demikian pula pada kehidupan Asrul. Melihat kesuksesan yang diraihnya, hadir sosok wanita lain dalam kehidupan rumah tangga Asrul. Wanita yang mencuri hatinya hingga tanpa ragu melepas Rusmini, istri yang telah belasan tahun menemaninya dengan setia.
Sebungkus mie instan pesanan pengunjung kiosku telah siap kusajikan. Cerita Daeng Asrul pun terjeda. Ia menyeka keringatnya dengan sapu tangan merah hati dari saku jasnya. Ia merenung beberapa saat. Mencoba mengenang kembali langkah hidupnya yang telah lalu.
"Nakke, silap kala itu. Tergoda bujuk rayu si binatang, eh, wanita jalang" Asrul menyambung ceritanya. Sejak kehadiran wanita ketiga dalam rumah tangganya kehidupan Asrul berantakan. Rusmini meminta untuk berpisah, memilih langkah hidup sendiri. Menjauh dari sisi Asrul, lelaki yang dulu dicintainya setulus hati.
Daeng Asrul mencintai Pantai Losari. Tempat yang telah memberinya cinta, mempertemukannya dengan Rusmini. Tempat yang mengantarnya meraih kesentosaan dalam berkehidupan. Di tempat ini ia dipertemukan dengan A Seng, pengusaha meubeul itu. Hingga akhirnya, Tempat ini juga yang membuat segalanya berakhir. Ia bertemu Linda wanita cantik yang membakar taman surganya bersama Rusmini.
Daeng Asrul meminta sepotong roti bakar kepadaku. Aku membuatnya sambil mendengar kelanjutan ceritanya. Para pengunjung yang masuk dan keluar dari kios tak membuatnya merasa terganggu. Asrul adalah seorang tua, yang selalu ingin didengar perkataannya.
"Nakke kena stroke ini tak ada yang rawat", lelaki Asrul membuka kembali kisahnya. Persaingan usaha begitu ketat dalam usaha yang ia tekuni. Pengrajin kursi menempuh beragam cara agar kursinya laku. Merapat pada hal-hal yang supra natural pun kerap dijalani demi meraih kemajuan usaha. Menghasut dan menyebarkan fitnah untuk mematikan kemajuan usaha pesaing.
Daeng Asrul mengalami dua hal ini. Pembeli setianya sekonyong-konyong lari kepada pesaing tanpa alasan jelas. Dan penyakit stroke pun menderanya beberapa kali. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, Asrul dalam kondisi badan yang sakit ditinggal pergi Linda entah ke mana.
"Nakke suka pantai ini"
"Nakke ingin pulang juga dari sini"
Aku mengelus dada. Perasaan merinding membaluri tubuhku, mendengar perkataan sahabat, pengunjung setia kios minuman kecil yang kujaga ini.