Oh alam, korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan
Penggalan di atas adalah lirik lagu berjudul Pencinta Alam yang dibawakan oleh penyanyi Ritta Rubby Hartland. Pada dekade 80-an lagu ini banyak diputar di radio dan televisi. Lagu yang bercerita tentang kerusakan lingkungan yang ironisnya terjadi atas ulah kelompok yang mengikrarkan diri sebagai pencinta alam.
Lagu berirama balada ini masih dapat kita dengar lewat chanel Youtube. Liriknya yang berupa kritik sosial mampu menumbuhkan kesadaran kolektif. Bahwa lingkungan yang kita tinggali begitu rentan terhadap gangguan kerusakan. Kerusakan yang disebabkan ulah tangan-tangan usil yang tak memahami arti kelestarian lingkungan.
Puluhan tahun sudah lagu itu berkumandang. Namun pesan yang dibawanya masih relevan dengan kehidupan saat ini, bahkan sampai kapan pun. Pesan cukup sederhana agar kita senantiasa menjaga dan memelihara lingkungan. Karena lingkungan adalah tempat kita berada dan menjalani kehidupan.
Pantai Pangandaran Hari Ini
Tak lama sebelum Pandemi Covid-19 berlangsung, kami melakukan perjalanan wisata ke Pantai Pangandaran. Satu perjalanan yang digagas oleh ibu-ibu di lingkungan RT kami. Sebagai pengurus RT, saya dan beberapa bapak yang lain turut serta dalam tur ini. Menjadi pendamping kaum ibu yang hobi jalan-jalan.
Pantai Pangandaran adalah satu di antara tempat wisata favorit tanah air. Terletak di Kabupaten Pangandaran yang merupakan pemekaran dsri Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Memiliki luas sekitar 530 kilo meter persegi. Dari ibu kota provinsi, Bandung, berjarak sekitar 222 km ke arah selatan. Pantai Pangandaran menjanjikan panorama laut yang indah dengan sapuan ombak yang lembut.
Tempat wisata kebanggaan warga ini memadukan keindahan alam daratan dengan kemolekan bibir pantai. Banyak titik yang jadi daya tarik di tempat ini. Satu diantaranya adalah Green Canyon atau Cukang Taneuh dalam bahasa setempat.
Menjelajah Kawasan Wisata
Pantai Pangandaran hari ini adalah pantai dengan sentuhan baru. Kebaruan yang dijumpai merata di setiap sisi. Keadaan ini jauh berbeda dengan keadaan yang saya jumpai sebelumnya. Pada kurun tahun 2000 awal, saya mengunjungi tempat ini bersama.rombongan keluarga guru di tempat saya mengajar.
Begitu bis yang kami tumpangi memasuki pintu gerbang, tampak di hadapan tulisan besar "Grand Pangandaran". Tulisan berdesain moderen yang selain cantik, juga menegaskan kebesaran sebuah ikon pantai, Pangandaran.
Rombongan kami segera bergegas menuju penginapan. Dengan berkelompok kecil, empat sampai lima orang, menuju rumah singgah yang telah dipesan. Kami beristirahat sejenak, melemaskan otot setelah semalaman duduk di kursi bis. Suasana begitu ramai. Di luar kami mendengar langkah kaki dan suara orang bercakap-cakap. Sayup-sayup mengalun rangkaian lagu dari pengeras suara.
Tujuan pertama, kami menuju pantai barat. Dalam naungan udara pagi para wisatawan telah menyemut di sini. Suasana begitu ramai mengingat saat itu bertepatan dengan momen long week end. Masyarakat mengisi libur panjang hari Jumat sampai dengan Minggu di sini. Kami bercengkrama dengan sapuan ombak. Buih-buih air beraroma khas menyentuh kaki. Satu hal langka, yang tidak kami temui di Bandung.
Kami duduk-duduk di atas pasir beralas tikar yang kami sewa seharga 20 ribu. Kami melihat di hadapan kesibukan perahu perahu hilir mudik mengantar wisatawan yang hendak menuju Pasir Putih. Tempat ini berada ratusan meter jauhnya dari tempat kami berkumpul. Jasa penyeberangan perahu dipungut 20 ribu rupiah per orang.
Selain wisata naik perahu yang dapat memuat sampai sepuluh orang sekali jalan, ada wahana sepeda dan motor beroda empat yang dapat disewa. Ada pula papan-papan selancar mini bagi anak-anak yang ingin bermain air. Sewa alat bervariasi dari harga 16 ribu.
Setelah hampir setengah hari menikmati suasana pantai, kami menuju tempat makan. Tempat ini terletak sedikit jauh yang kami datangi dengan berjalan kaki. Di lokasi kuliner ini terdapat ratusan kios yang menjual beragam makanan. Aneka olahan ikan laut mendominasi dalam daftar menu yang ditawarkan. Kami menikmati santap siang dengan pilihan menu masing-masing. Saya tak dapat melupakan cita rasa ikan kerapu bakar dengan tambahan pencok kacang panjang dan ditutup dengan minum air kelapa muda.
Green Canyon yang Mempesona
Usai bersantap siang, kami melanjutkan wisata dengan mendatangi titik persinggahan Green Canyon. Tempat ini terletak agak jauh. Untuk menuju ke sana kami menumpang perahu dengan perlengkapan motor tempel. Dari tempat kami duduk, kami pandangi air jernih yang meruak tersibak laju perahu. Satu dua biyawak kami lihat berenang menngejar kumpulan ikan.
Setelah melaju di atas air selama 10 sampai 15 menit kami sampai di tujuan. Perasaan takjub seketika menyeruak dari hati. Kami terkesima memandang dinding-dinding batu yang eksotis. Berdiri tegak di samping kiri dan kanan perahu. Di atas membentang jembatan alam yang tak kurang indahnya. Perahu kami berputar-putar di tengah himpitan bukit kecil dan jembatan ini.
Muka air tempat perahu melaju berwarna hijau jernih. Warna yang terbentuk oleh pantulan kehijauan lingkingan juga air yang bening dan dingin. Berada di tempat ini serasa menyusuri goa dengan atap langit. Memandang keadaan sekelilng yang memanjakan mata, banyak wisatawan yang menceburkan diri. Berenang di keheningan suasana, Green Canyon.
Menikmati indahnya Pantai Pangandaran menumbuhkan kecintaan pada alam. Hendaknya keindahan ini menjadi perhatian kita semua. Bahwa keindahannya menjadi tanggung jawab bersama, untuk dirawat dan destarikan.
Pantai Pangandaran seakan hendak menjawab kritik dari syair lagu di atas. Bahwa kesadaran itu lambat laun tumbuh di tengah masyarakat. Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Saat kita bepergian menikmati keindahan alam, kesadaran ini tak boleh alpa. Pantai Pangandaran yang apik terawat menumbuhkan rasa bangga di hati siapa pun. Bangga berwisata di Indonesia.