Hari itu Elly Jamilah Miharja datang ke sekolah kami. Ia membawa serta Hasan, anak semata wayangnya. Ia bermaksud mendaftarkan Hasan menjadi murid di sekolah kami.
Aku setengah tidak percaya dengan kedatangan Elly. Lebih dari dua puluh tahun kami berpisah. Aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Sejak acara wisuda dulu, Elly hilang bak ditelan bumi.
Aku telah berupaya mencari jejaknya. Media sosial yang katanya menjembatani jutaan orang yang terpisah jadi terhubung kembali, tak memberikan tuahnya bagiku. Jejak Elly tetap jadi misteri.
Elly terbilang pandai saat kuliah. Ia senantiasa jadi bintang di setiap mata kuliah. Ia jadi kesayangan dosen. Setiap akhir semester namanya selalu terpampang dalam lembaran nilai teman-teman sekelas, sebagai mahasiswi dengan perolehan nilai rata-rata A.
Di antara para dosen itu ada Pak Agus Nero. Dosen muda yang belum sepenuhnya ikhlas melepas masa lajangnya. Setiap ia mengajar tak pernah lewat menyapa Elly Jamilah. Padahal ada 30-an mahasiswa di satu kelas.
"Seorang rekan dosen memberi tahu sekolah ini padaku, Lan", kata Elly.
"Aku ingin menitipkan Hasan di sini"
Sejak itu Hasan menjadi murid sekolah kami. Ia tinggal di asrama yang kami kelola. Pada hari-hari permulaan, ia berperilaku biasa-biasa. Tak ada yang aneh. Ia sama seperti murid yang lain.
Perilaku Hasan yang sesungguhnya mulai tampak. Padahal ia baru seumur jagung bersekolah. Hasan mulai sering bolos. Kerjanya bermain game hingga larut malam. Ia tak mengindahkan teguran yang dilayangkan para guru. Pendeknya, Hasan seringkali berulah.
"Lebaran nanti tak usah beli baju lebaran, Mih. Beli saja baju untuk anak-anak di tempat Pak Onda". Elly menyampaikan perkataan Hasan kepadanya. Dengan penuh rasa haru ia mengutarakannya. Ia tak mengira, Hasan yang selalu bikin onar telah berubah.
Belum lama ini sekolah kami melangsungkan program khusus yang disebut Spiritual Work Camp (SWC). Dalam kegiatan ini para murid dibawa ke sebuah tempat di luar kota. Biasanya, kami membawanya ke wilayah Pangalengan. Di sini mefeka dititipkan ke rumah-rumah penduduk. Mereka tinggal selama tiga sampai empat hari.
Selama menumpang, mereka diharuskan membantu "orang tua" angkat mereka. Pergi bekerja di sawah, pasar, atau berkeliling kampung menjajakan dagangan. Mereka dilatih untuk belajar pada kehidupan. Rasa empati mereka dipupuk agar tumbuh.
Kebersamaan dalam hitungan hari yang Hasan dan kawan-kawan lalui membekas dalam benak. Mereka biasanya merasakan keterikatan dengan keluarga keluarga di kampung. Dan tak jarang mereka berusaha untuk datang dan datang lagi ke lokasi yang sama. Seperti mendatangi kampung halaman sendiri.
Pak Onda yang diceritakan Hasan, tak lain orang tua angkatnya. Ia seorang bapak dengan empat anak yang masih kecil. Ia berkerja membuat layang-layang yang hasilnya tak seberapa. Keluarga Pak Onda memberi inspirasi bagi Hasan. Ia seolah menjadi bagian dari kelurganya. Ia sedapat mungkin ingin memberi bantuan.
Dari kisah ini, kita mendapat hikmah. Bila kehidupan adalah sekolah yang paling baik. Hasan mewakili jutaan anak sekolah pada umumnya. Mereka berasal dari keluarga lengkap, dengn segala kemudahan hidup yang disandangnya.
Namun tak jarang bila segala kemudahan itu tidak serta merta membuat pribadi menjadi lebih baik. Ada kalanya anak-anak orang berada itu hanya merasa hampa di tengah lingkungan yang serba ada itu.
Hasan merasakan hidup yang lebih berarti setelah menjalani kehidupan yang tidak biasa. Ia tidur beralas tikar di ruma Pak Onda. Berbagi ruang di kamar sempit  bersama empat anak tuan rumah. Berbagi makanan dengan mereka. Mencicipi kehidupan sebagai pembuat layangan.
Dari perkampungan di pelosok desa, Hasan menemukan makna hidupnya. Berada bersama orang-orang kecil adalah salah satu obat dari penyakit hati.