Tanpa lelah, Kang Jalal menata tas. Sesekali ia terbatuk-batuk. Ia menata kembali tas yang letaknya tak sesuai karena "dikacaukan" Â oleh Abang dan Maya. Keduanya mengikuti aki mereka mempersiapkan acara tahlil untuk mengenang Bi Iyah. Setiap aki selesai menyusun, tak lama Abang dan Mamay, "menyusunnya" kembali.
Malam itu dilangsungkan majelis doa dan tahlil untuk Bi Iyah. Beliau adalah asisten rumah tangga yang telah berbakti selama lebih dari 30 tahun. Kang Jalal terlihat ceria. Ia seperti sedang bermain dengan kedua cucunya. Ulah kakak beradik itu mengacaukan letak tas, ditanggapinya dengan gembira. Malam itu, ketiganya seperti sedang bermain di taman yang indah. Terlukis indah lekuk senyuman dari wajah mereka.
Melihat mereka "bermain", aku teringat satu kisah saat Rasulallah bermain kuda-kudaan bersama dua cucu kinasih, Al Hasan dan Al Husain. Menyaksikan keadaan ini, seorang sahabat berkata, "Sungguh indah kuda yang kalian tunggangi". Rasul yang mulia menjawab, "Lebih indah para penunggang kuda ini". Aku melihat pemandangan yang begitu indah antara aki dan kedua cucunya.
Acara tahlil dan doa usai. Jarum jam menunjuk ke angka sembilan lebih sedikit. Para hadirin mohon diri, mereka berhamburan keluar dari pintu. Tangan mereka seragam menjinjing tas hijau itu. Yang tersisa di ruangan tinggal keluarga dekat dan beberapa tetangga. Keluarga menuju ruang garasi, berkumpul menikmati hidangan tahlil. Sementara  di ruang tamu terdengar sayup obrolan Kang Jalal bersama teman bicaranya, seorang jemaah pengajian yang kami sapa Ustad Baharuddin Syamsuddin.
Aku menikmati kue klepon, onde, dan yang lainnya dari nampan kecil berhias tutup plastik itu. Semua kue berukuran kecil, imut dan lucu. Hampir semua kue berbahan tepung ketan yang terasa lentur dan alot. Di kursi panjang duduk Ceu Euis, istri Kang Jalal yang sesekali ikut mencicipi kue. Tak henti, Ia menyilakan untuk menikmati hidangan. Aku tentu saja melaksanakan anjuran Ceu Euis. Bersama anaku  Ben , aku mencoba semua kue.
Tibalah saatnya pulang. Aku mohon diri kepada Ceu Euis. Kantong hijau yang kupegang, aku tambahi dengan aneka kue itu. Ceu Euis menyaksikan dengan tersenyum. Aku menyalaminya ala protokol kesehatan, dengan hanya menempelkan siku tanganku dengan siku tangannya. Ceu Euis tak henti tersenyum. Sepertinya Ia lega telah memberikan "persembahan" untuk Bi Iyah. Saat aku beranjak, Ceu Euis mengucapkan selamat ulang tahun untuk Neng Naura, putriku. Ceu Euis hampir tak pernah lupa pada siapa pun yang berulang tahun.
Aku sedih, malam itu rupanya menjadi perjumpaan terakhir kami. Setelah acara tahlil di malam itu, aku tak dapat lagi bertemu dengan kedua kakaku, Kang Jalal dan Ceu Euis. Berselang dua minggu, keduanya pergi menghadap Sang Khalik. Selamat jalan kakak.