Judul Buku : “Something In Bulukumba”
Penulis : Anis Kurniawan
Penerbit : P3i Press
Cetakan : Pertama
Tahun : 2012
Tebal : 105 halaman
Kampung halaman yang eksotik bernama Bulukumba itu terletak di ujung selatan Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak dulu terkenal dengan industri perahu Phinisi, legenda hidup Suku Ammatowa di Kajang yang berpakaian serba hitam dan pasir putih Bira yang menawan. Terletak pada kondisi empat dimensi yakni dataran tinggi kaki Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas menjadikan Bulukumba sebagai tempat mengasyikkan untuk jappa-jappa (jalan-jalan dalam bahasa Bugis) menelusuri kekhasan alam, perangai, local genius dan lekuk liuk sejarahnya.
Dalam buku ”Something In Bulukumba” yang ditulis oleh Anis Kurniawan tertuang perihal berbagai sudut di Bulukumba yang ternyata selama ini merupakan kekayaan yang ‘terbenam’ dan belum pernah sebelumnya terekspose ke hadapan publik. Intelektual muda, cerpenis dan novelis alumnus S1 Fakultas Sastra UNM Makassar dan S2 Ilmu Komunikasi Politik UGM Jogjakarta ini berhasil memberitahu banyak orang melalui caranya ‘memotret’ Bulukumba pada banyak sisi yang selama ini tersembunyi.
Ditulis dengan bahasa ringan, menukik ke kumparan jurnalisme sastra, lebih tepatnya disebut begitu namun juga terjebak citizen reporter, perjalanannya menjelajah kampung-kampung di Bulukumba membangkitkan rasa penasaran untuk menerjemahkan makna-makna di balik suatu realitas, objek wisata atau situs budaya yang dia jelajahi. Seperti jejak-jejak senyap yang entah apa tapi memukau.
Kemungkinan yang paling masuk akal, buku ini pada mulanya terdiri dari catatan singkat atas pengalaman pribadi penulisnya. Prosesnya bisa dimulai ketika mengunjungi suatu tempat kemudian terkumpul beberapa tulisan lainnya yang juga meneropong sisi-sisi terdalam berbagai objek untuk ‘dipotret’ tanpa beban metodologi tertentu. Rentetan perjalanan memukau dalam buku ini sebenarnya bukan catatan sejarah yang detail, komprehensip terlebih lagi penelitian ilmiah yang teoritik dan komplit.
Objek-objek yang diangkat dalam buku ini kebanyakan berada di pelosok-pelosok desa bahkan sebagian termasuk teralienasi. Rasanya agak sulit membayangkan betapa otentitas suatu situs budaya, cerita, jejak tokoh masih tersimpan di ingatan warga sekitarnya. Lalu itu semua dipaparkan dengan gaya citizen reporter bahkan jurnalisme sastra.
Anis tidak memakai metodologi penelitian tertentu, tidak pula bertendensi memecahkan masalah tertentu secara kompleks dan analitik. Justru dengan santai penulis menghindar dari klaim sebagai peneliti, lalu lebih memilih cara penulisan dan penelusuran fakta-fakta secara bebas dan lepas. Tendensi terhadap fenomena atau objek yang dituliskan murni untuk sekedar membeberkan pengalaman personal atas apa yangdia tangkap secara subjektif. Bisa jadi kumpulan tulisan perjalanan ini merupakan provokasi atau inspirasi atas kenyataan terdekat yang luput dari pengamatan di sekitar kita.
Sebagian besar catatan di buku ini merupakan potensi-potensi pariwisata yang seharusnya bisa dimaksimalkan menjadi potensi ekonomi. Bisa ditengok pada bab di mana penulis melanglang buana ke sepotong surga di Bulukumba bernama danau kahayya. Potensi eco-wisata di kahayya akan mengundang perhatian banyak wisatawan di tengah kerinduan dan minat tinggi masyarakat terhadap wisata alam. Lalu menyusuri Pantai lemo-lemo, salah satu alternatif wisata pantai yang belum dibenahi secara maksimal. Pantai yang di sekitarnya ada Taman Hutan Raya (Tahura) ini oleh sebagian besar masyarakat Bulukumba sendiri belum terlampau dikenal. Padahal pantai ini berpotensi menjelma menjadi wisata pantai terpadu yang mendatangkan pendapatan bagi daerah.
Yang juga sangat menarik, penulis buku ini juga memaparkan tentang sebuah radio legendaris di Bulukumba, Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM. Radio yang eksis hingga kini sebagai radio yang sangat merakyat dinilai menginspirasi masyarakat Bulukumba selama ini. Sejak berpuluh tahun silam masyarakat Bulukumba bahkan di selatan-selatan Sulawesi Selatan diperdengarkan dengan siaran-siaran berkualitas dan sehat.Terbetik pemahaman bahwa kebutuhan akan media lokal yang kental akan semangat local genius dan nilai-nilai kebangsaan selalu didambakan publik.
Begitupun dengan sisi-sisi humanis dalam masyarakat yang mengalami pengalaman akulturasi turun temurun pada masyarakat Mandar dan Konjo di Turungan Beru. Atau kedekatan emosional masyarakat Bone dan pribumi Ulutedong di Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe. Atau cerita tentang masuknya tentara di Sampeang desa Swatani yang melahirkan banyak cerita-cerita menarik tentang pasar dan sebuah desa yang dihuni banyak pensiunan tentara.
Kelihatannya penulis memang sengaja tidak berminat mengeksplorasi sisi-sisi pariwisata secara lengkap di Bulukumba, terutama informasi tentang tempat-tempat wisata yang sudah ternama. Buku ini hanya ingin mengatakan bahwa Bulukumba sebenarnya tidak hanya memiliki Pantai Bira yang eksotik dengan pasir putihnya yang menawan. Inilah sebuah kabupaten yang kaya akan potensi pariwisata dan memiliki kekhasan tersendiri dalam dinamika sosialnya. Sebagai kabupaten dengan pantai terpanjang di Sulsel, potensi wisata pantai di Bulukumba memiliki banyak pilihan selain Pantai Bira yang sudah mendunia antara lain; pantai Panrang Lahu, Pantai Marumasa, Pantai Mandala Ria, Pantai Kasuso, Samboang dan juga Lemo-Lemo. Sebagian dari pantai ini hanya dikembangkan secara alami tanpa perencanaan wisata yang maksimal.
Bulukumba juga memiliki potensi wisata alam sangat variatif antara lain; air terjun Bravo, permandian alam limbuaq Hila-Hila, gua Malukua, gua Passea, gua Pasohara, puncak Pua Janggo dan Kahayya sendiri. Termasuk potensi wisata agro seperti; perkebunan karet dan agro wisata tambak.
Sayangnya memang dari potensi yang demikian besar itu, perhatian dan political will dari pihak pemerintah untuk mengembangkannya sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya terlihat. Masyarakat yang bermukim di sekitar pantai Lemo-Lemo bisa menjadi contoh betapa keinginan mereka untuk hidup lebih baik belum kesampaian, meski mereka hidup di sekitar pantai yang istimewa.
Buku ini akan membuka mata hati kita bahwa rupanya ada begitu banyak hal yang tiada ternilai harganya di sekitar kita. Keunikan dan kekayaan yang ada itu harusnya memang dijaga bahkan dikembangkan. Dan yang paling penting adalah memperluas informasinya ke luar bahkan ke dunia internasional agar ada keinginan bagi orang lain untuk berkunjung ke Bulukumba.
Penulis tidak sempat mengangkat semua sisi menarik yang jumlahnya memang cukup banyak di tiap kecamatan di Bulukumba. Tetapi dengan alasan tertentu tetap berusaha untuk merepresentasikan seluruh catatan dari keberadaan sepuluh kecamatan di Bulukumba. Di kecamatan Rilau-Ale misalnya tertuang cerita tentang pasar tantara’ dan penyebaran agama Islam yang pertama kali di Bulukumba Bahagian Barat.
Khusus kecamatan Bulukumpa pembaca bisa menelusuri tradisi berdemokrasi di batu tujua serta kepercayaan masyarakat terhadap bukit karaeng-puang, serta potensi wisata di Balantaroang. Ketiganya merupakan tempat yang menarik namun luput dari pantauan banyak orang.
Di Kecamatan Kajang, kita akan terkesima dengan tradisi pengambilan keputusan dalam konflik sosial di kawasan Adat Kajang serta saksi bisu jembatan gantung Raowe yang hingga kini belum direhabilitasi meski usianya sudah dua dekade. Selain pantai Lemo-Lemo yang berada di kecamatan Bontotiro, penulis juga menulis catatan kecil tentang mesjid tertua yang diinisiasi oleh Dato Tiro’ sejak abad 17 silam.
Eksotisme Bunga Santigi di Bira sengaja juga diangkat karena kekhasan bunga ini. Bunga Santigi harganya sangat mahal dan bernilai ekspor, sayangnya belum ada akses informasi secara luas tentang keberadaan bunga tersebut.
Masih terlampau banyak yang nampaknya memang sengaja belum ditulis di buku ini. Ada banyak cerita dan perihal di Bulukumba yang semestinya ‘mencubit-cubit’ perhatian. Puluhan objek-objek menarik di Bulukumba yang suatu saat harus terdokumentasi semuanya: tentang cerita di balik penamaan desa-desa, cerita di balik sungai-sungai bahkan cerita tentang sejumlah situs penting di Bulukumba antara lain; Makam Tonrang Gowa, Makam Matinroe Ri Puranga, Makam Maddikae Ri Barabba, Kompleks Makam Raja-Raja Gowa Ri Campagaya, Leang Passea, Leang Lajaya, Tempat Persemedian Puang Janggo, Kompleks Makam Sengngeng Lampe Uttu, Makam Lambere Dodoa, Situs Pra Sejarah Sapa Bessi, Makam Karaeng Sapohatu, Makam Massarussung Dg. Palinge, Kompleks Makam Boto Dg. Pabeta, Kompleks Makam Sugi Dg. Manontong, Kompleks Makam Possi Tana, dan banyak lagi situs penting lainnya. Inilah kekayaan lokal genius yang memukau dan tersembunyi. (*)