Semakin bertambahnya umur, semakin pandai pula ia menyusun kata-kata itu menjadi sebuah kalimat yang sangat jelas maksud dan tujuannya. Bahkan sangat kelihatan baku tapi hal itu adalah benar yaitu mengajarkan anak sedini mungkin dengan verbal yang jelas dan tanpa dibuat-buat . Masih banyak anak orang tua yang mengajarkan anaknya dengan pengucapan yang di buat lucu terdengar, seperti; anas (panas), cucu (susu), andi (mandi) dan masih banyak yang lain. Dan yang pasti para orang tua tersebut mengajarkan anaknya hanya dengan kata-kata yang mudah, dan menghilangkan lafal R jika bertemu kata yang ada huruf R-nya. Semua orang tahu kalau lafal R memang susah di ucapkan sang anak yang baru belajar bicara, namun bukan berarti hal itu mustahil. Tetap ajarkan dan ucapkan lafal R yang benar maka hasilnya tak akan lama dia akan mengucapkan kata "ular" bukan "ulal".
Sebanyak dan sebaik mungkin kita ajarkan kata-kata pada si anak, maka makin percaya dirilah kita mengantarkan anak-anak ke bangku sekolah. Banyak buku yang akan dia pelajari dan  sudah pasti menggunakan tata bahasa Indonesia yang benar. Namun persoalan akan mengarah ke pergaulan. Dengan banyaknya teman dengan kemapuan verbal yang berbeda-beda akan menjadi serangan yang bersisi dua, baik dan buruk. Sisi baiknya pasti akan membawa kepercayaan diri dalam bersikap, berani mengeluarkan pendapat, bertanya bahkan berargumen. Namun di sisi buruknya, kadangkala sesama anak atau sebaya, kata-kata yang di ucapkan adalah kata-kata tidak baku atau serapan. Karena seringnya mereka berbicara dan mana jumlah yang mayoritas menggunakan kata tersebut, maka si kaum minoritas, suka tidak suka akan mengikuti pengucapan kata tersebut.
Jarang sekali saya mendengar orang mengucapkan kata "tidak". Kebanyakan akan mengatakan "nggak". Gue bukan saya, lu bukan kamu dan masih banyak lainnya. Belum lagi kata-kata idiom (bahasa pergaulan), plesetan, yang sering terdengar di komunitas anak muda dalam sehari-hari, dalam media elektronik, forum internet, sosial pesan percakapan. Tidak semua kata saya tahu artinya, walau pun saya akhirnya mencari tahu, pada saat yang bersamaan kan muncul lagi kata "aneh" lainnya.
Yang menariknya, munculnya kata-kata pergaulan ini justru dari kreatifitas anak itu sendiri. Banyak hal yang membuat sebuah kata tercipta. Bahkan kalau kita pernah mendengar kata "jayus" , cerita yang beredar bahwa itu adalah nama orang yang dalam pergaulannya sering membuat cerita lucu namun tidak membuat sama sekali teman-temannya tertawa. Sebabnya nama Jayus berubah menjadi sebuah istilah atau ungkapan untuk orang yang berusaha melucu tapi tidak lucu. Kreatifitas itu juga yang membuat kata "pendekatan" menjadi pedekate, kalimat "mana ku tahu" menjadi hanya "meneketehe", "memang benar" menjadi "ember" dan masih banyak dan akan bertambah jumlahnya. Lucu sih kalau kata atau kalimat ini di utarakan pada forum yang pas, atau acara lucu tapi tidak untuk anak yang berbicara dengan ibunya, atau guru kepada muridnya. Kekacauan orientasi bahasa akan terjadi.
Sebenernya saya tidak perlu permasalahakan kata-kata yang muncul di antara mereka, karena mereka juga saling mengerti dan tidak mengganggu kepentingan umum. Namun yang saya sayangkan adalah pergeseran atau saya lebih menyukai dengan istilah; pembunuhan karakter bahasa Indonesia. Makin tersingkirnya kata-kata Indonesia yang membuat bahasa Indonesia akan menjadi tidak jelas arahnya. Hari demi hari penggunaan istilah serapan bahasa inggris semakin tercipta dan di populerkan dengan cepat di media-media masa. Katanya sih penggunaan istilah bahasa Inggris itu membuat orang "kelihatan" cerdas. Tapi menurut saya cerdas atau tidaknya orang dilihat dari kalimat yang di buatnya bukan kata yang di ucapkannya. Lebih jelasnya, gunakan bahasa Inggris pada seluruh kalimat atau tidak sama sekali. Contoh, "pesta tadi boring banget". Lihatlah, kata "boring" dengan hebatnya mengalahkan kata "bosan". Saya yakin lama-kelamaan kata "bosan" akan punah, dan setara dengan kata-kata dari bahasa sangsekerta yang akhirnya harus di pelajari di jurusan sastra Indonesia. Menyedihkan.
Ada 726 bahasa daerah di Indonesia, tidak ada negara lain yang bisa menandingi banyaknya bahasa daerah dalam 1 negara. Suatu hari ada orang Malaysia yang mengeluhkan akan mengalami kendala komunikasi saat dia akan mendatangi provinsi (kerajaan) lain di Malaysia. Saya hanya tersenyum, lau dia bertanya, bagaimana di Indonesia? Rasanya bangga sekali saat itu bisa menjawab, dengan bahasa Indonesia. Kemana pun kita akan pergi, ke kota, desa, hutan, lembah, pantai, ngarai, kemanapun, rasanya tidak akan ada masalah yang besar dalam berkomunikasi. Seandainya dulu para pemuda tidak bersumpah akan berbahasa yang sama, saya yakin, tidak jelas arah kebudayaan kita akan menuju, banyak konflik yang muncul, tidak ada kebanggaan diri dan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.
Saatnyalah kita membangkitkan kembali bahasa Indonesia dengan menggunakannya secara baik dan benar. Tidak membuat kata-kata plesetan yang berlebihan dan mengurangi istilah bahasa asing yang bisa menggantikan posisi kata Indonesia. Jangan biarkan kata-kata tersebut hanya menjadi daftar panjang di Kamus Besar Bahasa Indonesia tapi tidak pernah di pakai. Biarkan bahasa Indonesia menjadi urat nadi komunikasi bangsa. Kalau kalian bangga berbangsa Indonesia, gunakan lah apa pun yang menginsyaratkan kita adalah bangsa Indonesia.