Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Argumentasi Penuh Arti Bagai Pinalti dengan 10 Penjaga Gawang

2 Desember 2009   10:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:06 542 0
Jika Anda ingin terbang bersama Elang,

Jangan berjalan dengan Tupai,

Saya memberitahu Anda,

Bila anda ingin lebih berkembang di masa depan,

Tinggalkanlah masa lalu,

Saya memberitahu Anda,

Dimana Anda sekarang adalah hasil dari pilihan Anda kemarin,

Tetapi dimana Anda besok,

Akan dihasilkan dari keputusan

Yang Anda buat hari ini

“Ada dua jenis kesalahan; siapa yang berbicara dan tidak melakukannya atau siapa yang melakukan dan tidak pernah berbicara”

(John Charles Salak)

Anda tahu bahwa di Amerika Serikat “berbicara di depan umum” merupakan perasaan paling menakutkan. Yang berikutnya, orang Amerika takut akan ketinggian, serangga, masalah keuangan, kesendirian, dan lain sebagainya.

Ketika masih kanak-kanak, daya bicara kita begitu kuat, menyentil, dan penuh keluguan. Kita berbicara apa adanya, apa yang ada di kepala dan apa yang kita rasa. Waktu kanak-kanak pun berhenti, kita dihadapkan pada dunia yang lebih abstrak. Kehidupan kita mulai ditentukan dari bagaimana lingkungan membentuk kita, mulai dari orang tua, keluarga besar, teman-teman sepermainan, teman di sekolah, guru, dan lingkungan masyarakat. Termasuk cara Anda berbicara juga akan menentukan kelas sosial Anda, apakah dari kalangan terdidik, pelaku hidup bebas (hippies), dan lain sebagainya.

Tak dapat dipungkiri bahwa Anda adalah bagian dari “produk” lingkungan yang sedari kecil sampai sekarang Anda lewati. Atau kasarnya, cara Anda bertahan dan menyerang ditentukan pula dari cara orang-orang memberi komentar terhadap tindak-tanduk Anda.

Ketika Anda diberi komentar negatif, maka Anda akan menjadi orang minder, namun ketika Anda diberi komentar positif, Anda merasa bahwa Anda merasa paling benar. Disinilah proporsionalitas sangat diperlukan. Aa Gym mengatakan bahwa orang yang merasa dirinya kurang akan minder dan orang yang merasa dirinya kelebihan, menjadi sombong.

Kita sering keliru dan terlalu sempit mengartikan orang yang terdidik adalah yang memajang gelar di sepanjang namanya. Orang yang terdidik adalah sikap dan perilakunya selalu berfondasi pada moral dan etika. Begitulah seharusnya mahasiswa memperlakukan dirinya sebagai yang terdidik perilakunya, bukan hanya fikirnya, termasuk gaya berbicaranya.

Gaya berbicara dengan orang tua, teman, dan publik adalah berbeda-beda. Masing-masing memiliki standar yang tak dapat digeneralisikan. Oleh karena itu, gaya berbicara ditentukan sejauh mana Anda memahami arti pentingnya komunikasi.

Laporan Lamelle terhadap para Top Ekskutif tahun 1990 bahwa 71 persen kesuksesan ditentukan dari kepandaian manajer dalam berkomunikasi. Yang kedua baru kecerdasan.

Orang yang cerdas, namun tak dapat mengungkapkan pikirannya dengan baik akan diragukan, tetapi orang yang pikirannya biasa-biasanya saja, namun pandai berkomunikasi akan lebih dipercaya. Menjadi yang terpercaya atau tidak, sekali lagi, itu menjadi persoalan yang berbeda. Karena rujukan fakta atau data yang kita miliki bukanlah kemutlakan, artinya dapat ditanggap dan digugat.

Untuk itu, gaya berbicara sehebat apapun—agar dapat dipercaya— akan ditentukan dengan bagaimana kita menanggapi gugatan dan tanggapan dari orang yang sangat memperhatikan apa yang sedang kita bicarakan.

Situasi itu pasti pernah kita alami dan kita sangat jengkel apabila ada orang yang berbeda pendapat dengan kita. Apalagi ia memaparkan data dan fakta, pengalaman, dan perumpamaan-perumpaan yang lebih sangat abstrak. Oleh karenanya, kita sebagai orang yang akan berbicara harus memperhatikan dengan lebih jeli terhadap apa yang akan kita bicarakan.

Apa yang saya maksud adalah bagaimana kita dapat memuaskan orang yang bertanya, mengajak kita berdebat, dan tidak berakhir dengan kebuntuan. Tentu saja hal itu membuat kita tidak dapat tidur nyenyak. Karena sering kali, apa yang kita telah pikirkan dan jawaban-jawaban yang sudah kita rencanakan akan begini ternyata berakhir begitu. Ini sangat sering terjadi, terutama bagi mereka yang baru memulai presentasi di hadapan dosen penguji.

Ada beberapa contoh mengapa kita tak pernah dapat memuaskan pertanyaan dari orang yang menggugat kita:


  1. Sesuatu pertanyaan yang berawal dari niat untuk menanamkan nilai-nilai ideologis akan resisten terhadap perubahan, sehingga cenderung lawan bicara selalu menolak gagasan-gagasan baru.
  2. Kita harus membedakan dengan jeli mana yang masalah, mana yang bukan masalah. Artinya rabun terhadap masalah yang sedang kita bicarakan dapat menimbulkan jutaan persepsi. Untuk itu, kita tidak cukup hanya mengenal atau mencari masalah, namun memahami masalah, karena memahami masalah sudah menjawab 80 persen dari masalah.
  3. Orang yang sangat terbawa perasaan akan sangat sulit membedakan mana yang logis dan mana yang tidak logis. Berikut saya contohkan presentasi yang sangat terbawa perasaan. “Saya berharap gagasan saya diterima, karena orang miskin sudah sebegitu banyaknya. Saya menulis ini karena saya pernah mengalaminya. Mungkin Anda juga pernah. Saya berdiri di sini dengan pikiran dan tenaga yang sudah terkuras hampir berminggu-minggu. Saya mohon maaf. Mohon maaf. Dan terima kasih…” Mungkin kita harus ingat kata-kata bijak dari RW Emerson “Tak ada penerimaan yang hebat tanpa semangat.” Namun Aristoteles juga berpesan pada kita bahwa bersikap logos (logis), pathos (perasaan), dan ethos (karakter).
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun