Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Refleksi Kemerdekaan RI: Apa Beda Pemerintah Sekarang dengan Pemerintah Kolonial?

7 Agustus 2024   11:26 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:09 144 0
Jelang hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, semestinya menjadi hari-hari yang membawa suasana gembira di hati seluruh rakyat Indonesia.  Nyatanya, tidak demikian. Salah satunya, Andri Tedjadharma.

Tampak sekali, Andri Tedjadharma sebagai pemegang saham Bank Centris Internasional, kecewa dengan negara dan pemerintah saat ini. Pasalnya, negara dan pemerintah yang dia harapkan bijaksana mengayomi seluruh rakyat dan warga negara, justru sebaliknya, bertingkah tak ubahnya pemerintah kolonial atau penjajah.

Bagaimana tidak, Andri menegaskan, dirinya bukanlah penanggung utang negara. Tapi, pemerintah dengan seenaknya sendiri, menuduhnya sebagai penanggung utang.

Kemudian, tanpa ada satupun keputusan pengadilan, pemerintah menyita dan melelang harta pribadi dan keluarganya.
Lahan di Bali seluas 3, 2 hektar, lahan di Bandung, villa di Bogor dan kantor. Bahkan, rencananya 12 Agustus ini, rumah milik istrinya di Meruya Jakarta, juga akan disita.

"Sertifikat lahan di Bali yang disita, masih berada di tangan saya. Kok, bisa, pemerintah mau main lelang aja? Sudah pasti, kalau ada masyarakat yang beli lahan itu, nantinya akan dirugikan. Karena sertifikatnya ada di tangan saya," ungkap Andri.

"Gila. Itu benar-benar gila, dan itu sama saja pemerintah melakukan perampasan dan perampokan terhadap rakyatnya, warganya," ujarnya seraya tak habis pikir dengan tindakan pemerintah sekarang ini. "Apa  bedanya pemerintah sekarang dengan yang dilakukan pemerintah kolonial?"

Aib Negara

Sejak tahun 2000, dalam persidangan gugatan BPPN melawan Bank Centris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andri Tedjadharma sudah berusaha untuk meredam dan tidak membuka hal yang dia ketahui, bahwa telah terjadi perbuatan penipuan dan penggelapan terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dilakukan oknum-oknum di Bank Indonesia (BI) dalam penyaluran dana BLBI.

Oknum-oknum di BI itu melakukan perbuatan "bank dalam bank di Bank Indonesia". Dengan perbuatan ini, mereka telah menggelapkan uang negara melalui call money over night bekerjasama dengan bank-bank lain.

"Itu semua ditunjukkan dari bukti-bukti yang diajukan jaksa mewakili BPPN. Bukti-bukti itu berupa hasil audit BPK yang telah disahkan majelis hakim PN Jaksel. Jadi, bukti-bukti itu datang dari penggugat sendiri, yakni BPPN. Bukan datang dari kami," jelas Andri.

Pada saat mengetahui bukti-bukti itu, Andri mengaku sudah meminta kepada jaksa selaku pengacara negara, untuk menarik bukti-bukti tersebut. "Waktu itu, saya katakan ke jaksa, tarik bukti-bukti itu. Itu aib negara," tuturnya.

Tapi, jaksa mewakili BPPN yang menuntut Bank Centris, malah ga mau. Mereka  mengatakan, "kalau bukti-bukti kami tarik, kami akan kalah dong."

Andri membalas, "kalian sudah pasti akan kalah. Pilihannya, kalian mau kalah dengan jatuh di papan paku atau mau di kasur."

Jaksa bersikeras. Akhirnya, Andri membuktikan pernyataannya itu. Di hadapan majelis hakim, dia membeberkan dan menerangkan semua bukti-bukti dari BPPN selaku penggugat.

Bukti-bukti menunjukkan adanya dua rekening. Satu milik Bank Centris Internasional (BCI). Satu lagi, rekening rekayasa, yang di dalam kronologis audit BLBI dari BPK tertulis Centris International Bank (CIB). "Rekening BCI bernomor 523.551.0016. Rekening CIB bernomor 523.551.000," papar Andri.

Rekening dengan nomor 523.551.000 itu,  tidak terdaftar sebagai rekening yang bisa kliring. Tetapi, nyatanya bisa ikut proses kliring di transaksi money market pada pasar uang di Bank Indonesia yang dapat dilihat pada Lalu Lintas Giro (LLG) transaksi call money.

Bukti-bukti menunjukkan BCI tidak menerima dana BLBI, satu rupiah pun. Apalagi, hubungan BCI dengan BI adalah perjanjian jual beli promes nasabah disertai jaminan lahan 452 hektar. Bukan pinjaman maupun bantuan. Perjanjian BCI dan BI tertuang dalam Akte 46. "Bukti dengan jelas menunjukkan uang dari akta 46, juga tidak diterima BCI," ujarnya.

Bukti-bukti dari BPPN, kata Andri, dengan jelas dan terang menunjukkan dana dari Bank Indonesia, yakni: berdasar akte 75 dan 76 dengan nominal Rp239 milyar; inisiatif BI dengan nominal Rp120 milyar; permohonan tergugat dengan nominal Rp159 milyar; dan berdasar Akte 46 dengan nominal Rp492 milyar, mengalir ke rekening 523.551.000 atau rekening CIB.

"Semua dana dari BI itu mengalir ke rekening rekayasa, ke CIB. Tidak satu rupiah pun mengalir ke BCI. Jadi sejak awal, 26 tahun lalu, saya sudah berusaha menutup aib negara ini untuk tidak terbuka," tuturnya kepada penulis.

Dari pemaparan bukti-bukti itulah, akhirnya jaksa meminta Andri untuk tidak mengajukan rekonvensi atau gugatan balik. Andri memenuhi permintaan jaksa.

"Kalau saya rekonvensi, BCI pasti menang. Karena, bukti-bukti itu datang dari penggugat sendiri dan telah disahkan majelis hakim, sehingga tidak lagi bisa dibantah," tuturnya.

"Kenapa saya tidak rekonvensi? Karena, meskipun saya menang dan negara kalah, itu artinya saya juga kalah. Sebab, saya  bagian dari negara," cetusnya.

Penulis menangkap pernyataan itu memperlihatkan jati diri dan karakter seorang Andri Tedjadharma sebagai seseorang yang nasionalis. Mementingkan kebaikan negara dan rela berkorban.

Darah Pejuang

Menelusuri sosok Andri Tedjadharma, rupanya memang mengalir darah pejuang di tubuhnya. Ayahnya adalah seorang pejuang dalam agresi kedua tahun 1945 sampai 1948. Seorang pejuang di Lampung dan Palembang sebagai anggota polisi militer resimen III.

Setelah ayahnya wafat, Andri diangkat anak oleh Letjen (Purn) Himawan Soetanto. Himawan Soetanto adalah anak dari pahlawan nasional. Tokoh penting dalam pertempuran 10 November di Surabaya, Raden Muhammad Mangoendiprojo.

Himawan Soetanto adalah seorang jenderal yang dikenal karena karier militernya yang panjang dan cemerlang. Ia menghabiskan sebagian besar kariernya di kesatuan Siliwangi, di mana banyak terlibat dalam berbagai operasi militer penting.

Salah satu operasi terkenal yang dipimpinnya adalah penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1964. Himawan dan pasukannya berhasil merebut kembali pusat pemberontakan dan menghancurkan kekuatan utama pemberontak.

Himawan Soetanto di mata masyarakat dilihat jenderal yang mengayomi. Hal ini lantaran sikapnya yang memilih pendekatan persuasif dalam menangani aksi protes mahasiswa atas pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, tahun 1978.

Andri menjadi anak angkat dari Himawan Soetanto, karena kedekatan hubungan keluarga sejak Himawan bertugas menjadi Pangdam di Palembang. "Waktu Pak Himawan diberi tugas menjadi Panglima UNEF, hampir setiap hari saya main dengan anak-anak Pak Himawan sampai melekat di Kota Bandung dan Jakarta," tutur Andri mengenang perjalanan hidupnya.

Kembali merefleksi kehidupan yang dialaminya selama 26 tahun terakhir, Andri  menghela napas. Terlihat beban penderitaan di pundaknya.

"26 tahun masa produktif saya hilang karena tuduhan pemerintah dalam kasus BLBI. Nama baik pribadi dan keluarga tercemar. Padahal, sudah terbukti BCI tidak terima BLBI. Apalagi, diri saya pribadi," cetusnya.

"Sekarang saya dizalimi dengan harta pribadi saya disita dan mau dilelang. Saya engga tahu lagi mau bicara apa ke pemerintah ini. Mereka sepertinya sudah tidak lagi peduli dengan hukum dan kebenaran. Hanya menunjukkan kekuasaan," ungkapnya.

Andri menambahkan, apa yang dia katakan bukanlah untuk mencari kesalahan maupun menyalahkan orang lain. "Saya hanya menyampaikan kebenaran yang dapat diakui bersama, bahwa gugatan BPPN sudah ditolak PN Jakarta Selatan tahun 2000, berdasarkan bukti-bukti dari BPPN sendiri," pungkas Andri, penulis buku "Kembalilah Indonesiaku" ini. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun