Lantas dibeberkan teori seperti lu jual gue beli. Lu nulis, gue baca, gue komen, lu balas komen. Teori kalau kepengin tulisannya dikerubuti kompasianer rajin juga untuk mengkomeni postingan orang lain. Jadilah karena aturan kaku begini, kompasianer yang sudah kadung mengamini pendapat itu setiap postinga maka terbacalah sekedar komen:
PERTAMAX, MENYIMAX, HADIR, HAHAHIHI, CEKIKIK-CEKAKKAK, GELAR TIKER, PAHA ATAS! WKKKK!
Dan lebih parah lagi hanya berkomen tanpa membaca rampung postingan, atau malah sama sekali nggak membaca. Maka, seringlah terjadi antara komen dan isi postingan tidak nyambung. Begitulah karena faktor asal komen, asal nongol, asal ngarep dan pamrih. Kan SHERING KONEKTING!
Di sisi lain ada juga kompasianer pengeluh yang curhat; diriku sudah menyambangi postingan kompasianer lain, sudah berkomen, tapi tetap saja kok, lapakku sepi, yang suka aku komeni kalau berposting juga nggak pernah mampir, nggak pernah komen juga... Wayo!
Kalau menurut penginyongan, wis lah, nggak usah diatur-diatur. Sing penting berkarya. Syukur teratur nulis tiap hari kayak Bapak Pemegang Kompasianer Produktif Katredarajawen. Iya, mbok. Dikomeni ya, syukuur, dibales komene alhamdullilah sesuatu.
Daripada karena kebebanan harus mbales komen, lalu takut nggak bisa mbales komen jadinya malah nggak pernah nulis-nulis lagi. Kan banyak kompasianer yang pegaweane nggak mung cuma di depan komputer, berakses Wifi saben dina.
Kan kudu cari duit, makanin anak bojo, mbayar kredit.