Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Pulau Manuk dan Cerita Sedih di Baliknya

6 September 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:50 319 2

Karena urusan pekerjaan, memaksa saya untuk sampai di Banten Selatan, siang itu disela-sela kunjungan di Banten Selatan, saya menyempatkan diri untuk melihat obyek wisata Pulau manuk.

Pantai yang terletak sekitar 1 kilometer dari Pantai Cipamadangan ini, lokasinya tepat di tepi jalan utama Desa Sawarna. Jika kita datang dari arah Bayah, kita pasti melewati pantai ini. Letaknya di kanan jalan. Disebut Pulau Manuk karena ada satu pulau kecil yang letaknya terpisah dari daratan. Konon, dulu pulau ini berbentuk seperti manuk dan kini, pada waktu-waktu tertentu dihuni ratusan burung (dalam bahasa Sunda disebut Manuk).

Untuk mencapai obyek wisata Pulau manuk, dapat ditempuh melalui sukabumi lalu ke Pelabuan Ratu, dari Pelabuhan Ratu,ambil arah ke bayah dengan jalur yang dilalui Cisolok, puncak Habibi, Cibanban serta Cibareno, dan sebelum sampai bayah kita telah sampai di Pulau Manuk, sedangkan alternative lain, kita dapat menggunakan Tol Jakarta Merak, lalu keluar di Pintu serang Timur, lalu kota serang, lewat Pandeglang, lalu saketi, lewat malingping terus ke bayah dan berakhir di Pulau Manuk, jika memakai Jasa Kereta Api, dari Stasiun Tanah Abang, turun di Stasiun Rangkas Bitung, dari Stasiun dengan angkuta kota keterminal Mandala, lalu naik elf Jurusan bayah, melalui Gunung Kencana dan malingping, dan akhirnya dengan menggunakan Jasa Ojek sampai ke Pulau Manuk. Di Pantai Pulau Manuk ini juga dapat kita jumpai habitat monyet dengan jumlah yang cukup banyak, sebagian bahkan cukup akrab dengan pengunjung, bisa jadi hal ini dapat terjadi karena letaknya sangat dekat dengan Hutan Gunung Kembang

Cerita sedih Pulau Manuk.

Dibalik keindahan Pulau Manuk ternyata menyimpan cerita kelam tentang kekejaman penjajah Jepang, sesaat sebelum kita menyeberangi Jembatan Pulau Manuk, ada hamparan tanah luas, disini pernah berdiri Stasiun Kereta Api Bayah, yang mengubungkan antara Pulau Manuk dengan Saketi dan Rangkas Bitung hingga berakhir di Jakarta, cerita tentang pemvangunan jalan kereta Api inilah yang meninggalkan luka mendalam pada bangsa ini, karena pembangunan ini dikerjakan dengan cara yang sangat tidak manusiawi, yang dikenal dengan system kerja paksa Rhomusa. untuk membangun Jalan kereta api, antara saketi dan bayah ini, menurut catatan sejarah memakan korban 93.000 Jiwa. kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang. Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Kalau saja saya tidak bertemu dengan Pak Nol, seorang anak Rhomusa yang bercerita banyak pada saya, tentu saya tidak percaya akan data-data sejarah Rhomusa.

Saya hanya bisa membayangkan, jika saya semua itu ada jejaknya, atau direstorasi ulang oleh Pemerintah kita, tentu akan menjadi obyek wisata sejarah yang menarik, melengkapi wisata pantai Pulau Manuk yang eksotis di pesisir Banten Selatan ini. Keindahan pantai yang dipadukan dengan kisah kelam sejarah yang memperkaya khasanah perjuangan bangsa kita. Disini pula pernah bermukim seorang tokoh yang bernama Tan Malaka. Dalam pelariannya ini dia menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.

Satu-satunya sisa sejarah yang hingga kini masih dapat kita lihat, hanyalah tumpukan-tumpukan batu bara di kiri-kanan jalan, yang masih dikerjakan masyarakat serta tugu peringatan Rhomusa dengan kondisi yang kurang terawat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun