Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Nyanyian Fajar

13 Desember 2011   11:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 213 0
Tulisan ini mengungkap perjuangan seorang pemuda asal Papua  untuk meraih gelar sarjana! dan telah dibukukan.


Segelas Air Putih




S


ore menjelang. Yusuf, lelaki muda berkulit hitam seperti umumnya pria Papua muncul di hadapan saya. Terse-nyum, menampakkan giginya yang putih ber-deret. Ia tersenyum bukan hanya dengan bi-birnya, tetapi juga lewat matanya.

Jabatan tangannya yang erat menyiratkan semangat hidupnya, atau, boleh jadi itulah ukuran kekuatannya sebagai seorang lelaki muda. Sore itu ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna kuning muda, dipadukan dengan celana panjang jeans. Saat masuk ke ruang tamu ia copot sepatunya yang nampak kusam. Saya perhatikan dengan seksama sambil bertanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat salah seorang keluarga saya memaksa untuk menjumpainya. Mewawan-carainya. Memaksa dengan penekanan, tak

lagi memberi saya kesempatan untuk berta-nya. Siapa? Mengapa? Apa? Tiga kunci dasar dari ketertarikan saya untuk menjumpai seseorang.

Yusuf duduk di sisi kiri saya, di sofa ber-warna coklat muda. Saat itu saya sedang terserang flu skala delapan, artinya cukup parah. Hidung saya tersumbat, kepala saya sedikit pening. Batuk? Saya berjuang keras untuk menahannya, karena akan sangat merusak keheningan sore yang indah. Dengan kondisi seperti itulah saya "wajib" menjumpai Yusuf.

Ah, Yusuf jangan tambah pening ini dengan cerita yang biasa saja. Jangan tambah derita saya bila kisahmu tak lebih dahsyat dengan kisah seribu manusia di luar sana. Itulah permohonan saya, dalam hati. Cukup dalam hati. Tentunya dalam kondisi sakitpun nurani saya tetap bekerja sempurna. Maka basa-basi kemudian tetap muncul sebagai pembuka, memberi ruang bagi inti kisah yang sesung-guhnya. Lelaki muda di hadapan saya ber-cerita dengan suaranya yang tegas, kadang berlogat Jawa, lucu juga.

Satu jam berlalu tanpa terasa. Dua jam lewat kepala saya mulai tak nyaman. Penyebabnya, posisi duduk saya menyamping. Maka saya secepat kilat "meloncat" ke sofa yang lang-sung berhadap-hadapam dengan Yusuf. Nah, dengan begitu terasa jauh lebih nyaman, kepala tak perlu meno-leh.

Tepat di hadapan saya Yusuf melanjutkan ceri-tanya. Tentang masa la-lunya, tentang kehidup-annya, tentang cita-ci-tanya, tentang perjuang-annya. Semua tentang dirinya yang ternyata mampu membuat saya menitikkan air mata, bergantian dengan derai tawa lantaran terselip kisah sedih yang menjadi lucu bila dikenang.

Kisah Yusuf adalah kisah anak muda yang tak biasa. Sebagai lelaki berdarah Papua ia melihat satu persatu temannya mati disebabkan alkohol. Sebagai lelaki berdarah Papua ia rasakan beban berat untuk merengkuh mimpi menjadi sarjana. Sebagai lelaki berdarah Papua ternyata ia tak setangguh seperti yang dibayangkan. Sebagai lelaki berdarah Papua ia harus kembali pada akar bila rindu melihat pohon besar itu tum-buh perkasa.

Yusuf membuat flu saya reda. Ia yang berniat kuliah eko-nomi terpaksa meng-ambil jurusan kepen-detaan, sebab uang-nya tak cukup untuk biaya masuk. Masa kuliah itupun harus ditempuhnya selama sepuluh tahun, lagi-lagi karena biaya yang harus dicarinya dahulu dengan membanting tulang sekuat tenaga. Waktu boleh membungkus segala sisi kehi-dupannya yang paling kelam sekali pun, tetapi tidak dengan cita-citanya. Ketika ia berusaha menjauh selalu saja ada jalan untuk kembali. Kesempatan itu kerap terbuka tanpa sanggup ditolaknya. Ia akhirnya harus berdamai de-ngan jurusan bukan pilihan hatinya. Ia terus berusaha mengerti makna yang tersimpan di balik segala keinginan dan rencana dengan kenyataan yang dihadapinya. Baginya Tuhan sedang mengasah kesanggupannya. Meski kadang sejuta tanya ia adukan dalam doa, tentang segala beban yang harus dilalui. Mengapa Tuhan..., mengapa Tuhan? Begitu keluhnya tanpa henti. Hingga air matanya pun berurai, ketangguhan-nya pun sirna. Perja-lanan panjang yang te-lah dilaluinya belum lagi berakhir. Ia kini tengah menghitung hari. Saat buku ini terbit tentunya Yusuf sudah boleh berbangga deng-an jubah kebesarannya sebagai seorang wisudawan. Toga lambang pengakuan almamater terhadap ilmu yang kini dalam genggamannya, boleh jadi membuat kepalanya dapat lebih tegak menatap kesu-litan di ujung sana. Saatnya untuk tersenyum. Melupakan sejenak perjalanan sepuluh tahun yang melelahkan. Hampir empat jam saya mendengar kisahnya. Saya pun paham ada yang "keterlaluan" telah saya lakukan. Sejak tadi sebenarnya sensor alam bawah sadar saya sudah memberi tanda. Tapi tak saya hiraukan, karena saya tak rela kehilangan kisah Yusuf yang begitu tajam menikam dada. Mengha-rukan, seharu cinta terlarang. Sedih, sesedih kepergian kekasih tercinta. Senang, seriang merebut impian. Detik demi detik mencekam, membuat saya tak rela menghentikan kisah.

Karena untuk menciptakan emosi wujud dari ingatan yang terurai diperlukan tempo. Tem-po itulah yang tetap saya jaga. Akibatnya saya tidak memberinya segelas air sebagai penawar dahaga! Setelah segalanya reda, saya pun berulang-ulang meminta maaf dan segera berlari ke dapur. Mengambil segelas air putih, Yusuf meneguknya hingga tandas.

Kami berpisah.

Yusuf sudah menghilang dari pandangan saya, tetapi kisahnya tetap melekat, erat, dalam batin ini. Kini saya mengerti mengapa sepupu saya yang berprofesi sebagai dosen begitu bersemangat meminta saya bertemu dengan Yusuf. Saya paham mengapa ia begitu ngotot sampai-sampai tak memberi saya pi-lihan.

Bila saja kisah Yusuf kemudian saya tulis dalam sebuah buku kecil yang tak seberapa tebal ini, tak lain dise-babkan dorongan untuk membagi kisah men-jadi sebuah bahan perenungan kita bersama.

Boleh jadi ada beberapa pihak yang tak se-nang dengan buku ini karena saya berusaha untuk selalu jujur pada fakta dan data. Selama segalanya dilihat dengan kacamata kearifan maka tak perlu prasangka dan kecurigaan ber-main di ranah tak bertuan. Segalanya menjadi manis bila saja hati yang lapang selalu mem-beri tempat pada segala ketidak sempurnaan.

Pada akhirnya biarlah buku ini bisa memberi arti, sekecil apa pun itu.

Sekaligus saya mengucapkan terimakasih tak terkira pada Doli Situmeang, pada Anas. Pada kakak dan adikku tercinta Butet, Tio, Osye, Erlin, Denny, Ina. Khususnya Butet, Ancah, Erlin, Denny dan Ina sekali lagi terima kasih atas doa dan semangatnya. Pada semua teman di FB yang memberi dorongan dan "tekanan" penuh! Saya sebut tekanan karena setiap bertemu dengan mereka selalu ditanya, "Bagaimana, sudah jadi bukunya?" Namun, karena itulah buku ini bisa mulai dan berakhir dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Kepada Yusuf Ayakeding, semoga buku ini menjadi catatan bagimu untuk selalu mengingat betapa Tuhan tak pernah berpisah da-rimu. Meski sejengkal jarak sekalipun. Tetap-lah maju jangan pernah ragu.

Isye Soentoro

Inspirasi Motor Bambu




Y


usuf Ayakeding, lahir di Sentani 10 Maret 1978. Anak ketiga dari empat bersaudara. Pada waktu bocah ia pernah terkagum-kagum pada seorang pendeta. Pendeta Markus Mantiri, pendeta Advent pertama yang datang ke kampungnya di Sentani Barat. Pendeta Mantiri lah yang mengajarkan ayahnya pekabaran Masehi Advent Hari Ketujuh, hingga akhirnya dibaptis, itu terjadi pada tahun 80an. Lalu sang ayah menyerahkan sebidang tanah hingga akhirnya berdirilah sebuah gereja Advent di sana.

Suatu saat Pendeta Mantiri menyelenggarakan Kebangunan Rohani di gereja tersebut, Yusuf kecil bingung. Mengapa Pak Pendeta ini begitu sibuk dengan sebuah kotak kayu dengan dua lubang. Tak cuma itu, Pak Pendeta juga mengumpulkan banyak bambu. Lalu mengapa pula motor tua Pak Pendeta diparkir persis dekat ruang ibadah?

Seribu pertanyaan menyerbu otak kecilnya. Rasa ingin tahunya pula yang kemudian membuat Yusuf tak ju-ga beranjak dari kesi-bukan Pak Pendeta. Pucuk dicinta ulam ti-ba, Yusuf kecil dimin-ta bantuan oleh Pak Pendeta.Tugasnya ada-lah, menahan gas mo-tor yang terus mende-rung. Selain itu ia harus mengganti bam-bu yang mulai terbakar saat fungsinya sebagai penyumpal pada knalpot tak lagi bertahan. Bambu-bambu itu digunakan untu menahan derum motor tua agar tak kelewat berisik. Lalu apa guna motor itu disumpal dan digas dalam posisi maksimal?

Wow! Inilah yang membuatnya kagum alang

kepalang. Ternyata Pak Pendeta Mantiri me-manfaatkan sorot lampu motor untuk men-dapatkan gambar di tembok. Sorot lampu mo-tor tersebut ditutup dengan corong seng lalu diarahkan ke kotak berlubang. Pada bagian depan kotak diletakkan film atau slide. Kini yang muncul adalah gambar berwarna pada dinding lebar. Imajinasi bocahnya lang-sung bermain dan terus mengagumi apa yang ada di hadapannya. Sambil tak henti-hentinya ia menahan gas dan secepat kilat menarik bambu yang mulai terbakar, untuk diganti dengan bambu baru.

Pak Pendeta kemudian menjadi idolanya. Baginya apa yang dilakukan Pak Pendeta sungguh mengagumkan. Ia tak cuma pandai berkhotbah, tetapi juga memberikan ilustrasi yang luar biasa. Tak bergantung pada teknologi canggih, atau perabotan mahal. Pak Pendeta ternyata mampu membuatnya sendiri dengan benda-benda terbatas.

Semenjak itulah Yusuf kecil selalu berkata pada teman-temannya, juga pada kakak dan adiknya, kelak ia akan menjadi seperti Bapak Mantiri. Seorang teman ayahnya mengingat-

kan, kalau Yusuf mau menjadi seperti Pak Mantiri itu artinya ia harus menjadi seorang pendeta. Kembali Yusuf berpikir cukup keras, menjadi Pendeta? Tak pernah terpikirkan sebelumnya. Oh ya, ya kata hatinya kalau mau seperti Pak Mantiri berarti harus menjadi pendeta. Ya! Kelak saya akan menjadi pendeta. Itulah cita-citanya saat itu. Hasrat yang lahir dari sebentuk keka-guman, motor tua dan bambu penyumpal.

Pisah Ranjang

Semenjadi duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, Yusuf sudah tak lagi tinggal dengan orang tuanya. Ia diminta oleh seorang guru asal Jawa Timur untuk menjadi anak angkatnya. Kedua orang tuanya mengijinkan. Semenjak saat itu Yusuf selalu mengikuti kemana orang tua angkatnya pergi. Sebagai seorang guru tentunya mereka sering ber-pindah-pindah tempat. Ia sempat ikut ke-perbatasan Jayapura dan Papua Nugini. Setelah itu kembali ke kampungnya, bersekolah di SMP. Namun, sekolah membuatnya tak nyaman, begitu pun saat kembali ke rumah orang tuanya, ia menjadi seperti orang asing di sana. Yusuf kemudian berhenti sekolah, ia memilih menjadi kuli.

Panggilan untuk tetap bersekolah mem-buatnya kembali masuk pendidikan. Ia rasakan selalu minimnya pengetahuan membu-atnya tak berdaya. Ia kemudian melanjutkan ke SMA Advent Doyo Baru di Sentani Barat. Ia sudah merancang, setelah tamat SMA ia akan merantau, keluar dari kampungnya. Ia ingin ke Jawa. Itu alasannya mengapa Yusuf sedikit lebih giat saat menempuh pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas.

Tentang cita-citanya menjadi pendeta sudah lama terkubur. Mimpinya kini hanya melihat Pulau Jawa. Pergi jauh dari rumahnya, kampungnya, yang telah menjadi begitu asing baginya.

Pada tanggal 9 Februari 1996, Yusuf yang telah menjadi pemuda dibaptis. Meski ia akui kehidupan masa mudanya tak sebersih seperti yang diduga. Bersama teman-teman sebaya ia sering menghabiskan waktu untuk bermabuk-mabukan. Bahkan ia sendiri sering menyaksi-kan beberapa teman sepermainannya tewas lantaran alkohol. Menyedihkan. Mungkin itu pula yang membuatnya segera mengambil ke-putusan untuk segera terbang ke Jawa. Ke-betulan orang tua ang-katnya memiliki adik di Jawa Timur, Yusuf diminta untuk mem-bantu usaha warung nasi di Stasium Semut, Surabaya. Tugasnya ti- dak ringan. Setiap pu-kul 12 malam ia harus mengisi 12 drum besar dengan air yang diambilnya dari tempat penampungan.

Ia harus melalui lintasan kereta api dengan jarak cukup jauh. Pekerjaannya ini baru tuntas pukul enam pagi! Di saat matahari mulai bersinar di saat itulah Yusuf beristirahat.

Delapan bulan pekerjaan seperti itu dila-koninya. Tak ada keluhan atau umpatan, semua dijalaninya dengan tekun. Karena ba-ginya pekerjaan itu adalah bagian kehidupan yang harus dilaluinya. Ia siap menggelinding. Karena hasratnya untuk kuliah, menjadi seperti Pak Mantiri sudah lama terkubur.

Ia ingat, menjelang tamat SMA ia pernah uta-rakan keinginannya menjadi pendeta kepada orang tuanya. Ia harus ke UNKLAB (Uni-versitas Klabat) milik Advent di Manado, Sulawesi Utara. Di sana ada fakultas Teologia, kependetaan. Ia bisa menjadi pendeta bila saja bersekolah di sana. Menjadi seperti Pak Mantiri.

Tetapi, jawaban ayahnya sungguh membuat semangatnya patah, hatinya luka.

"Sudah jangan pikir jadi pendeta, jangan pikir sekolah. Sekolah Advent itu mahal! Apa yang kita bisa andalkan untuk bayar sekolahmu!" Ayahnya kemudian memberi contoh salah satu sanak saudara yang sempat bersekolah di UNKLAB mengambil jurusan kependetaan. Tak sampai selesai harus kembali ke kam-pung halaman, tak ada biaya untuk melan-jutkan.

Peristiwa penuh ketegangan saat itu terekam dalam ingatannya, membuat Yusuf akhirnya memutuskan untuk berhenti berangan-angan untuk kuliah. Sudahlah, tak perlu kuliah-kuliah, kerja saja, sekuat tenaga. Dan kepergiannya ke Jawa memberi jawab dari kegun-dahan hatinya. Ia tak bisa bangga dengan ijazah SMA miliknya, karena itu bekerja saja, apapun itu kerjakan! Yang penting ia kini bisa melihat Jawa, Surabaya. Ramai dan menga-gumkan. Cukup sudah, tak perlu lagi kuliah. Selamat tinggal Pak Mantiri.

Stasiun Semut

Saat-saat ia menjalani kehidupan sebagai pengisi air, ia sempat berjumpa dengan se-orang wanita yang baru saja turun dari kereta, membawa buku Pelajaran Sekolah Sabat. Melihat itu mendadak jantung Yusuf berdetak cepat. Ia teringat cukup lama juga ia tak lagi bergereja. Semenjak kedatangannya di Jawa Timur, Yusuf lupa pada satu hal itu. Dan perjumpaan pagi itu terjadi di hari Sabtu, ber-

arti Sabat! Setelah bertegur sapa Yusuf pun minta untuk diajak bergereja, karena ia tak tahu harus bergereja dimana. Itulah hari per-tama semenjak ia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Yusuf bergereja. Sabat itu ia beribadah di Gereja Advent Tanjung Anom, di sana ia berjumpa dengan kawan-kawan baru, dan semenjak itu pula per-temanan timbul deng-an sesama jemaat.

"Mereka menerima sa-ya dengan hangat, dari mereka juga saya baru tahu bahwa di Ban-dung, Jawa Barat ada Universitas Advent. Biasa disebut UNAI. Wah, saya pikir hanya ada di Manado, UNKLAB. Saya bersemangat sekali untuk datang ke UNAI, sekedar melihat-lihat," ungkap Yusuf seakan menemukan mimpinya yang hilang. (bersambung)



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun