2024 akan menjadi masa pertarungan yang sengit bagi para politisi di Indonesia. Baik di tingkat pusat hingga tingkat daerah. Rencananya, pemilihan secara serentak ini akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 untuk memilih calon Presiden dan wakil presiden, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan calon anggota DPR RI, calon anggota DPD RI serta calon anggota DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemudian penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024.
Ada sebuah fenomena besar yang sudah tidak asing di telinga sejak hadirnya reformasi di Indonesia. Khususnya Ketika pemilihan umum dilakukan secara langsung oleh masyarakat degan berdasar pada asas 'kedaulatan rakyat' atau kekuasaan yang diserhakan pada kehendak rakyat. Aturan ini diatur dalam pasal 22 E ayat 1 UUD RI 1945; "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali".
Namun ternyata dalam perjalanannya, amanat konstitusi ini tidak semuanya berjalan dengan lancar, sebagaimana yang diharapkan dalam UUD RI 1945 tersebut. Terdapat sebuah feomena menarik yang tampaknya sudah menjadi rahasia umum. Hadirnya fenomena money poitic sekaligus menggugurkan salah satu amanat tersebut di atas, yaitu tentang penyelenggaraan pemilu secara jujur, adil dan rahasia.
Money politik yang sudah sering menghiasi pelaksanaan pemilihan umum ini, pada dasarnya berhasil menjadi alat dalam terealisasinya amanat tentang kerahasiaan. Hanya saja, kerahasiaan ini nampaknya salah sasaran. Bagaimana tidak? Harapan kerahasiaan yang ditujukan dalam pemilihan ternyata dibawa ke ranah penyogokan semata. Bahkan kerahasiaan itu tidak mampu diungkap oleh pihak penyelenggara pemilu itu sendiri.
Meski sudah menjadi rahasia umum, namun belum ada tindak lanjut yang signifikan dalam memberhentikan tindakan pelanggaran ini. Sehingga menjadi pertanyaan bagi Sebagian besar masyarakat, khususnya pemerihati demokrasi di Indoensia, yaitu penyebab utama hingga tindakan ini sulit untuk dibongkar.
Dengan melihat fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta demokrasi dalam memilih pimpinan negara maupun daerah tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa gelontoran harta akan semakin marak pada tahun 2024 nanti. Sebagian besar akan menyalahkan para calon yang namanya terpampang untuk dipilih oleh rakyat ketika fenomena ini kembali terjadi, khususnya bagi mereka yang melakukan tindakan penyuapan/pembelian suara kepada masyarakat agar dirinya mendapat suara yang akan mengantarkannya ke kursi kewenangan.
Fenomena money politik juga nampaknya kurang tepat jika dikatakan sebagai sebuah polemik. Hal ini berasalan, sebab nampaknya hal ini juga merupakan suatu hal penting yang ditunggu-tunggu oleh Sebagian masyarakat Indonesia. Tak jarang dari kalangan masyarakat kurang terdidik atau lebih tepatnya kurang sadar berdemokrasi di Indonesia, malah terang-terangan meminta kepada calon yang datang ke daerah mereka, meminta sumbangan langsung. Apalagi jika pemilihan ini dilakukan secara serentak. Akan lebih menarik bagi masyarakat yang gila sogokan untuk meraup lebih banyak keuntungan dalam penyelenggaraannya.
Permintaan sebagian masyarakat ini nyata adanya. Mereka mungkin tidak sadar atau bahkan tidak memahami bahwa sogokan yang mereka terima merupakan salah bentuk tindakan pidana. Suatu bentuk tindakan yang dapat menyeret mereka ke dalam jeruji besi. Kesepakatan antara mereka yangmeminta dan juga pihak pemberi sogokan, dengan sendirinya menjadi sebuah transaksi suara yang harapannya dapat menguntungkan kedua belah pihak. Satu mendapat bantuan Cuma-suma, sedangkan pihak lain dapat melanggengkan tujuan untuk suatu jabatan yang dicita-citakan.
Asiknya pemilu yang dicampuri oleh permainan money politik oleh para pelakunya, tampak dengan antusiasme masyarakat yang mengharpkan sedekah dadakan. Begitu juga dengan para tim sukses untuk menyalurkan bantuan dadakan tersebut kepada mereka yang dianggap membutuhkan. Kerjasama yang apik dipertontonkan pada musim ini. Dimana symbiosis mutualisme terjalin dengan rapih, hingga sulit dideteksi oleh parasit yang berpotensi meredakannya.
Money politik memang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun meresahkan bagi Sebagian besar masyarakat yang lain, termasuk menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan bernegara. Penanganan untuk menyelesaikan persoalan ini, dalam pandangan penulis, tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum dalam bentuk hukuman pidana semata. Sebab dengan hanya mengandalkan pendekatan sangsi hukum, tidak akan menjadi faktor pemutus rantai tindak pidana yang satu ini. Begitu pun dengan sangsi sosial berupa kecaman, sebab hal tersebut hanya akan menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat itu sendiri.
Bahkan kalau pun kecaman tetap dilakukan. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh kalangan terdidik di bangku kuliah, yang masih setia berjuang melalui parlemen jalanan. Dengan melihat gambaran di atas. Tidak ada alasan kuat untuk mengalamatkan kecaman kepada salah satu pihak saja. Alasan bahwa kedua belah pihak harus mendapat kecaman yang sama besarnya disebabkan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sama besarnya hingga melakukan transaksi politik.
Penting untuk diingat dan disebarkan kembali kepada masyarakat luas, bahwa yang wajib dijerat pidana bukan hanya bagi mereka yang melakukan sogokan, tapi juga penerima sogokan. Dalam hal ini, sogok menyogok dalam agenda pemilu. Apabila hal ini sudah dipahami, maka tergantung kepada kesadaran hukum setiap individu yang ada di negara ini untuk mengindahkan aturan hukum tersebut atau pun mengabaikannya. Sedangkan solusi lain yang juga sangat diharapkan hadirnya penyadaran yang dilakukan secara kontinyu kepada masyarakat tentang beragam dampak negatif yang ditimbulkan dengan hadirnya money politik dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Bukan hanya dampak berupa sangsi hukum, tapi dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, dengan waktu yang berkepanjangan.