Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Rumah Untukku Pulang

30 Mei 2022   13:36 Diperbarui: 30 Mei 2022   13:54 309 7

Senja memerah. Serupa warna dari emosi yang penuh amarah. Lalu, spektrum alam bergerak ke arah orange. Kata tetua dahulu kala, bila alam telah berubah menjadi merah cerah, lalu semburat langit mengabur aroma jingga. Kamu akan mendengar suara adzan Maghrib berkumandang dari beberapa mesjid dan surau. 

Maka, ajaklah anak-anak masuk ke rumah. Tutup pintu dan jendela adalah langkah berikutnya yang harus dilakukan. Bersujudlah dalam sholatmu, minta pengampunan dan perlindungan. Karena, kita hanyalah manusia biasa. Itulah petuah nenek, selanjutnya ibu juga mewariskan petuah itu padaku, anak perempuannya. Sekarang, aku juga seperti nenek, seperti pula ibu. Membisikkan petuah itu ke telinga anak-anakku. Tentu saja dalam balutan kasih sayang yang indah, menurutku. Tanpa teriak dan intimidasi.

"Tunggu selesai Maghrib, Nak! sholatlah dahulu, ... kalau dia mau ajaklah kawanmu itu sholat berjamaah." Aku menatap sendu wajah putra semata wayangku. Dia tampak bimbang, rahangnya terlihat mengeras. Itu artinya, dia sedang berfikir keras. Memutuskan untuk pergi saat itu, atau menuruti kata-kataku, sebagai ibunya. Beberapa kali klakson dari mobil sedan merah yang terparkir di pinggir jalan, depan rumah itu dibunyikan. Seperti tidak sabar.

"Aku harus cepat-cepat berangkat, kasihan kawanku menunggu terlalu lama." Dia memutuskan. Lalu, pergi sembari menarik tanganku ke dahinya secepat kilat. Seakan meminta persetujuan, sebagai pengabsahan jika dia boleh pergi dalam keadaan belum sholat.

Aku hanya bisa menghela napas, lalu mengelus dada. "Maafkan, aku Ya Allah ... belum bisa menjadi ibu yang didengar dan diikuti kata-katanya. Mungkin, ini semua akibat dari pengasuhanku juga. Terlalu menyayangi, memaklumi, dan mendiamkan." Sakit sekali rasanya, menarik nafas dalam suasana hati seperti ini.

Ketika anak beranjak dewasa. Dia belum sadar akan kewajibannya, adalah ibarat luka yang tidak berdarah. Perih memang, sakit iya. Tapi, apalah daya. Semua ini terjadi, tidak serta-merta. Mungkin sebagai akibat dari tindakanku juga, kala mengasuhnya di waktu kecil.

Sejujurnya, tidak kali ini saja. Hati ini merasa kecewa, bahkan beberapa kali tertoreh luka atas ucapan dan perlakuan suami dan anak-anak. Sudah banyak sayatan itu di hati. Dari mulai kata-kata penolakkan, tatkala minta bantuan, cercaan, makian, dan lain-lain. Seperti senja ini.

|Pak, tolong belikan ibu, koyo dan obat penambah darah ya nanti jika Bapak pulang kerja| 

Pesan itu ku kirim ke aplikasi hijau.

Tidak ada dibacanya. Masih juga belum centang biru. Padahal, sudah satu jam berlalu dari adzan Maghrib. Kulihat statusnya online. Terasa ada gada yang memukul dada. Saat sepuluh menit kemudian, suamiku update status, "Menikmati kebersamaan bersama teman-teman sekantor". Lalu, story whatssapp putra semata wayangku pun berganti, dari tulisan, "sibuk!" menjadi "Kawan-kawan gokil, nih." 

Ada sepi yang tanpa permisi, dia menyelinap ke lorong hatiku yang sunyi. Serupa udara yang hampa, kalbu yang sejak 16 tahun yang lalu penuh dengan tapak luka itu. Tanpa dinyana, tergores duri sembilu. Dengan sayatan memanjang, sukses merobek borok yang sudah mengering itu menjadi kubangan darah dan genangan nanah.

Aku bukanlah teman bagi suamiku. Aku juga bukan teman untuk anakku. Ternyata, mereka hanya menganggapku sebagai istrinya. Lalu, belahan jiwaku menganggap aku hanya sebagai ibunya. Tidak lebih dari itu.  Suamiku menganggap aku istri yang baik, berperan dan bertanggungjawab serta memastikan semua kebutuhan dia terpenuhi. Dari mulai status, makan, fisik, dan batinnya. Dalam hal itu, aku memang istri yang baik, setia, dan sangat berbakti. 

Begitu juga bagi anak, dia menganggapku ibu yang baik, penuh kasih sayang, dan perhatian. Ibu yang selalu dapat memastikan bahwa semua kehidupan anaknya berjalan dengan baik-baik saja. Padahal, aku rela memutuskan semua ikatan pertemanan di luar sana. Dengan anggapan bahwa, teman terbaik adalah suami dan anak. 

Aku tergugu. Merangkul pundak sendiri. Sembari berkata, "Aku menyayangimu." Hanya itu sebagai penghiburnya. Karena, tidak ada lagi air mata yang setia. Membalut luka, menjadi betadine di saat kalbu terpuruk. Ah, Mungkin dia sudah bosan. Berperan menjadi pelepas kesedihan. Selalu saja begitu. Kini, air mata pun telah pergi. 

Aku hanya bisa merangkul diri sendiri, memeluknya dan memegang dada sebelah kiri. Itulah, kebiasaanku, sejak air mata pulang. Meninggalkanku begitu saja, tanpa ucapan selamat tinggal. Entah apakah dia lelah, membersamai hidupku yang selalu saja berbalut tangisan. Kini, aku benar-benar sendiri, tanpa teman, dan kesepian. Bahkan, karena egoku, air mata pun tidak mau berteman denganku. 

Apakah aku terlalu sentimental dan emosional? Ya, memang mungkin akulah pemenangnya. Bila ada lomba dengan tantangan perempuan paling sentimental dan terbaper sedunia. Lebih dari itu semua. Aku juga telah menjadi perempuan yang kalah. Ya, aku sudah gagal. Enam belas tahun aku berjuang dan berusaha. Bisa disebut mati-matian bahkan. Aku kalah dan gagal dalam arena perlombaan yang aku ciptakan sendiri.

Tujuan hidupku sebenarnya, sederhana saja. Aku ingin bahagia bersama keluarga, dalam rumah tangga ini. Oleh karena itu, untuk mewujudkan impian tersebut. Aku berusaha dan berjuang menjadi rumah yang nyaman. Baik keadaan rumah dalam artian fisik bangunan rumah. Juga rumah dalam arti, sebagai istri dan ibu aku harus menjadi rumah yang nyaman, ceria, penuh kasih, saat menyambut suami dan anak-anak pulang.

Meski sama-sama bekerja mencari nafkah, membantu keuangan keluarga ini. Aku selalu berusaha, menjadi orang yang pertama datang ke rumah. Mempersiapkan segalanya, makanan, kebersihan, kerapihan. Agar saat suami dan anak pulang ke rumah mereka merasa nyaman dan bahagia. 

Karena hal itu, tanpa sadar aku telah mengambil jarak antara hidup, badan, dan perasaan. Aku terkesan menutup diri akan kebutuhan jiwa sendiri. Hingga umur yang tidak lagi muda, aku baru sadar. Bahwa, aku telah kehilangan semuanya. Perasaan, harapan, cita-cita, dan kebahagiaan. Mereka telah pergi dengan diam, membawa serta air mata. 

Aku terlalu fokus pada kebahagiaan orang lain, suami, dan anak. Hingga, aku tidak menyadari bahwa diri ini adalah manusia. Bukan malaikat, bukan juga setan. Setiap bulan yang dijalani, bagai hitungan perkalian. Berjalan dengan begitu cepat, menumbuhkan angka-angka yang amat banyak. Hitungan-hitungan itu berkembang dalam jumlah pengeluaran harian, mingguan, dan bulanan. 

Setiap hari yang berjalan, dalam otak ada kalkulator yang merancang kalkulasi. Berapa untuk makan, ongkos sekolah, jajan anak, biaya listrik, bayar cicilan, dan lain-lain. Hari-hari terasa sebagai beban konsumsi dan pengeluaran saja. Pemikiran itu membuat jiwaku linglung. Ketika siuman, aku pun teronggok di depan lemari sepatu. 

Dari empat ambalan lemari yang kubeli dengan harga Rp. 750.000 ini. Saat itu, aku mendapat arisan. Jumlahnya tidak terlalu besar, hanya satu juta saja yang ku dapat. Aku niatkan untuk membeli barang yang berfaedah. Terpikirkan ide membeli lemari sepatu ini. Kulihat dalam satu ambalan itu, bisa muat tiga pasang sepatu.

Aku edarkan pandang dari atas, tengah, hingga ambalan terakhir. Hatiku bertanya, "Dimanakah sepatuku gerangan?" Dari empat ambalan ini, semuanya terisi sepatu suamiku. Dari berbagai merk dan juga model. Tentu saja, dengan varian harga yang berbeda-beda. Aku tahu, harga Rp. 500.000 itu adalah harga paling murah dari sepatu-sepatu ini.

Lalu, dimanakah gerangan sepatuku, tas kerja, jam tangan, hand phone? Melihat lemari sepatu ini. Aku jadi berhitung, barang apa saja yang dapat dibeli dan menjadi milik, serta menunjang penampilanku. Ternyata nihil. Tidak ada satu pun barang-barang itu menghuni lemari penyimpanan di rumah ini. Sepatu itu aku lihat teronggok di pintu keluar. 

Hand phone yang katanya adalah milikku, lecek dan lecet penuh noda makanan, setiap ada kesempatan selalu dipakai main game putra semata wayang. Tas untuk kerja pun tergantung lelah, kusam, dan tidak berdaya. Ternyata, aku baru tahu. Bahwa, bukan saja aku yang terlihat menyedihkan. Barang-barang pribadi yang membersamai hidupku juga ikut bernasib tidak kalah menyedihkan juga.

Entah mengapa, aku selalu merasa sudah menjadi ibu yang baik dan istri yang setia dan mengabdi. Aku bahkan rela mengorbankan cita-cita dan impian masa kecil untuk meneruskan pendidikan hingga jenjang S2 demi keluarga ini. Saat ini, dalam kesendirian yang mencengkeram jiwa, merangkul hampa hingga menyesakkan dada. 

Ku pandangi status whatssapp suami dan putra semata wayangku. "Sudah cukup!" Bisikku pada angin yang begitu saja berdesir, melewati telinga dan memainkan anak rambut. Beberapa uban tampak berkilat keemasan. Ada yang berbisik, tapi aku tidak yakin apakah itu berasal dari luar, atau dari dalam sanubari. "Kamu harus mengejar perasaan yang sedang merajuk, ajak dia pulang, jadilah kau rumah tidak hanya untuk suami dan anakmu, tapi juga rumah untuk dirimu sendiri." Lalu, aku pun merangkul diri sendiri penuh rasa optimis. 

Akan ku songsong hari esok dengan senyum penuh keikhlasan. Aku tidak akan lagi bergantung dan berharap kepada siapa pun untuk menciptakan kebahagiaan. Karena, kebahagiaan perasaan adalah tanggung jawab diriku sendiri. Aku memandang perasaan dan air mata yang tersenyum penuh ketulusan. Mereka melambaikan tangan, aku mencoba bangkit meraih tangannya. "Kembalilah!" Isakku. "Mulai sekarang, aku juga akan menjadi rumah yang nyaman untuk kalian." (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun