Terkenang Saef di serial Preman Pensiun
Tiap kali tayang serial Preman Pensiun di salah satu stasiun TV, saya tidak pernah ketinggalan menonton. Entah kenapa saya punya ikatan pengalaman yang kuat dengan Saep –Si copet yang amat jenius di bidangnya itu.
Bila Saep mulai beroperasi mencopet, memori saya langsung klik. Teringat momen kecopetan di elf (bis seperempat) jurusan Cicaheum. Saat itu hari yang amat istimewa dan bersejarah dalam hidup saya. Bagaimana tidak, wisuda gitu lho. Setelah empat tahun berjibaku dengan mata kuliah yang seabreg.
Namun, sayang seribu sayang. Di hari yang bahagia itu. Seorang lelaki ganteng mengacaukan semuanya. Aduh,...
Don't judge a book by it's cover
Ada sebuah idiom kuno berbahasa Inggris, berbunyi don't judge a book by it's cover. Pepatah itu mengajarkan agar kita tidak menilai orang berdasarkan penampilan fisik, pakaian, dan style-nya. Walau sebenarnya, hal ini wajar dan normal saja. Apalagi, bila kita baru pertama kali berjumpa dengan orang tersebut.
Kita akan menilai seseorang itu urakan, kotor, tidak beretika. Saat melihat gaya pakaiannya yang sembrono, kotor, dan tidak sesuai adat. Begitu juga kala melihat seorang perempuan dengan dress bermotif floral berwarna merah muda, rambut panjang yang digerai, dan payung. Maka, kita akan mengatakan bahwa perempuan tersebut feminin dan anggun.
Namun, tidak dapat ditampik bahwa bisa saja kita salah, saat menilai orang dari penampilan luarnya saja. Hal ini, pernah saya alami. Pada tahun 2005, saya akan diwisuda, tempatnya di kampus jalan Dipati Ukur di Bandung. Pagi-pagi sekali, dengan segala kerepotan kebaya dan sepatu high heels, saya naik bus elf jurusan Cicaheum-Leuwi Panjang.
Berikut kisahnya :
Sambil merem-merem ayam, saya pandangi punggung cowok dengan ransel besar di depan perutnya itu. Badannya kekar, dadanya bidang, rambutnya ia biarkan gondrong, tergerai sebahu. Gayanya macho sekali. Dia duduk tepat di samping saya. Alah Mak...
Untuk persiapan wisuda hari itu, dari Subuh saya sudah berdandan setengah mati. Kebaya brukat dan rok kain warna jingga tersampir di tubuh. Selop cantik dengan tinggi lima centi meter sudah terpasang di kaki. Pokoknya cantik dan ciamik. Walau kaki dan betis menjerit. Aww... High heels!
Hari ini saya dipercaya untuk membacakan ‘Janji Mahasiswa’. Jadi, ya itu tadi. Saya mempersiapkan semuanya dengan sesempurna mungkin, termasuk riasan, baju, isi dompet, HP dan naskah tidak lupa disiapkan.
Tergesa-gesa, saya turun dari kost-an. Nyegat bus seperempat alias elf. Nasib baik, elf-nya masih kosong. Ada beberapa kursi yang belum berpenumpang. Saya pun sukses mendaratkan badan saya di sana. Nyaman,... tidak ada asongan, pengamen dan perokok. Wih ... Asyiiiik!
Di depan kampus IKOPIN naik seorang lelaki. Wajahnya tidak nampak jelas. Maklum masih Subuh. Tapi, aura ganteng terbayang dari siluet tubuhnya. Dia lelaki yang jangkung, badannya berisi, rambutnya tergerai bak model iklan shampoo. Aih,...
Dia duduk di sebelah saya. Itu kabar indahnya. Secara, saya sedang menunggu jodoh alias calon suami. Moga saja,... hehehe. Empat tahun kuliah. Saya belum beruntung membawa pulang seorang lelaki untuk dikenalkan pada Emak dan Bapak.
Karena, usia saya sudah di ujung tanduk. Dua puluh empat tahun, usia yang sangat matang untuk menikah. Di kampung, usia dua puluh empat belum menikah dianggapnya perawan tua atau gadis lapuk.
Lelaki ganteng itu membawa ransel besar di perutnya. Selama perjalanan, dia terus menunduk. Entah mengantuk atau terlalu terpesona dengan penampilan saya. Haha...
Sang sopir menjalankan mobilnya dengan ugal-ugalan. Aneh juga, padahal ketika saya naik tadi biasa saja. Beberapa kali kepala saya terantuk tiang besi. Para penumpang mulai mengomel. Saat itu kondisi elf sudah penuh. Bahkan ada beberapa yang berdiri dan bergelantungan di pintu.
Ada bisik-bisik dari penumpang di belakang, “Awas, Neng copet! Periksa dompet di tas.” Tanpa berkomentar, replek tangan saya memegang retsleting tas. Dan, ... deg! Jantung saya berdesir. Retsletingnya terbuka. Penasaran saya periksa isinya. Oh My God! Setengah berbisik saya berkata, “Dompetku ... hilang!”
Semua penumpang sontak riuh. Mereka memeriksa isi tasnya masing-masing. Lelaki ganteng yang duduk disamping saya mengangkat kepalanya. Tergesa, dia berdiri dan menyetop elf. “Berhenti, Pak!”
Gubrak!! Tiba-tiba, ada sesuatu yang jatuh dari tasnya. Dia membungkuk, meraba-raba. Tangan kami beradu, karena saat itu saya juga sedang memeriksa bawah kursi, mana tahu dompet dan HP saya jatuh disana.
Tangan saya dan tangan dia sama-sama memegang sebuah dompet. Momen yang indah kan? Ternyata, itu dompet ... saya. “Ini dompet, Mbak!” Ucapnya gugup. Matanya tampak berkilat malu. Secepat singa dia turun didepan kampus UIN, meninggalkan saya yang masih melongo.
Hingga saat ini, saya masih belum bisa percaya. Jika, lelaki jangkung dengan hoodie dan ransel itu adalah copet. Saya malah berharap dia akan jadi jodoh saya. Duh, prasangka baik yang disalahgunakan, nih.
Peringatan dari bapak sopir
Dilansir dari Kompas.com, sebenarnya ada beberapa kode yang biasa dilakukan oleh sopir bus, jika di dalam kendaraannya ada copet. Disimak, yuk! Agar anda dapat berhati-hati dan waspada, jika suatu hari bepergian dengan naik bus. Kode tersebut, diantaranya :
1. Sopir menyalakan lampu kabin.
2. Mengeraskan volume musik.
3. Mengemudi dengan kasar, dan ugal-ugalan.
4. Memberi pengumuman agar penumpang hati-hati dengan barang bawaannya.
Anthony Steven Hambali-Pemilik PO Sumber Alam menjelaskan fungsi dari kode tersebut, yaitu agar penumpang tetap terjaga, tidak tidur di bus, sehingga waspada dalam mengawasi dan menjaga barang bawaannya.
Kru bus tidak akan berani memberi tahu penumpang, bahwa ada copet di dalam bus. Tentu saja, ada beberapa alasannya. Pertama, kru hanya curiga berdasarkan laporan dari kru bus yang lain, dan ciri-cirinya yaitu berhenti sebelum sampai tujuan. Oleh karena itu, kru bus tidak berani langsung menuduh. Karena, tidak etis juga, ya menuduh penumpang sebagai copet. Kedua, bila kru bus memberitahukan hal tersebut kepada penumpang. Maka, kru bus bisa menjadi korban, dipukuli oleh gerombolan copet.
Setelah copet turun
Setelah lelaki ganteng yang ternyata, .... copet itu turun. Semua penumpang riuh. Bapak setengah baya yang berdiri menggelantung di pintu, mengaku uangnya yang dia simpan di saku baju, sejumlah empat juta rupiah hasil penjualan sapi raib, komplit dengan rokok dan korek apinya. Begitu juga bapak-bapak yang duduk di dekat pintu, hilang empat ratus ribu dari saku celananya. Ada hampir empat orang yang kecopetan hari itu.
“Neng, ... dompetnya ada?” Seorang ibu yang duduk di belakang mencolek lengan saya. “A ... ada, Bu!” Jawab saya terbata. Saya masih shock, tidak menyangka sedikit pun kalau lelaki ganteng yang duduk di samping saya itu copet. Padahal, saya sudah baper dan berharap dia bakal jadi lelaki yang saya perkenalkan pada Emak dan Bapak. Tahu gitu, amit-amit jabang bayi.
Penasaran, saya memeriksa isi dompet. Sekalian mengeluarkan uang untuk ongkos. Tapi, kedua kalinya saya terkejut. Uang sejumlah delapan puluh lima ribu rupiah di dompet telah lenyap. Keringat dingin membasahi kebaya yang saya kenakan. Bagaimana ini?
Saya mengacak-acak isi tas. Ternyata HP juga hilang! Saya terduduk lemas. Ibu yang tadi bertanya tampak khawatir. “Hilang, Neng uangnya?” Tanyanya cemas. “Iya, Bu!” jawab saya lirih.
“Tadi sudah saya peringatkan dengan menjalankan mobil dengan ugal-ugalan, tujuan saya, agar penumpang tidak tidur.” Ucap Sopir elf.
“Kenapa, Bapak tidak bilang saja, kalau ada copet.” Si Ibu menyalahkan.
“Bagaimana lagi, Bu! Nanti saya akan diancam oleh gerombolan mereka.”
“Ya sudah, sebagai permintaan maap saya, gak apa-apa yang kecopetan, tidak usah bayar.” Pak sopir berbaik hati. Saya pun berucap lega.
Momen wisuda yang tragis
Hari yang istimewa itu berubah petaka. Saya tidak bertemu dengan rombongan emak dan bapak dari kampung. Karena, gawai saya hilang diambil si ganteng itu. Di saat orang lain bergembira, balakecrakan(botram) di bawah pohon menikmati makanan. Saya termenung sendiri, berjalan kaki menyusuri trotoar sambil menenteng high heels yang tidak lagi ciamik. Tidak ada pasangan, karangan bunga, dan keluarga yang menemani. Hanya berbekal uang dua puluh ribu yang tersisa di kantong. Saya putuskan untuk membeli segelas es cendol.
Tampak kiri-kanan para wisudawan dan wisudawati berswa foto ria. Senyum dan suara tawa terdengar seperti alunan sirkus yang mentertawakan nasib saya. Seperti ayam kehilangan induknya, duduk selonjor di bawah pohon plamboyan, sambil menyeruput es cendol. Sungguh momen wisuda yang benar-benar tragis.
Copet ganteng! copet ganteng! kenapa kau hancurkan impian saya? Hiks...hiks.
Moga, setelah hari ini kau akan insyap. Sayang sekali bila tubuh jangkung nan kekarmu itu kau gunakan di jalan yang salah. (*)