“Aku pengen jadi dokter yang kerja di Rumah Sakit Jiwa.”
Yup, itu jawaban seorang temanku ketika ditanya tentang cita-citanya di masa kecil. Memang ketika itu cita-cita menjadi dokter, insinyur, presiden, professor sangat bergengsi di mata anak-anak usiaku. Tapi menjadi dokter jiwa? Itu bukanlah hal yang wajar diucapkan oleh anak seusia kami saat itu.
Sama halnya dengan cita-cita menjadi guru yang acap kali dianggap tidak bergengsi di mata orang tua dan anak-anak pada masaku. Wajar memang mengingat kondisi guru saat itu yang sangat memprihatinkan di mata setiap orang. Sangat berbeda dengan sekarang, semua orang berebut menjadi guru karena jaminan anggaran hidup yang lumayan. Waktu itu, memang sempat terbersit hasrat untuk menjadi seorang buruh kapur (guru,red), tapi karena gengsiku lebih tinggi daridapa niat baikku itu maka aku malah sesumbar:
"Aku kalau udah gede pengen jadi sayentis (scientist, red) ah..."
Terdengar begitu WOW di telinga anak-anak kampung, bahkan pada saat itu aku sendiri tidak tahu bahwa bahasa inggrisnya ilmuwan itu adalah scientist, bukan sayentis. Tapi aku cukup beruntung karena bahkan teman-temanku tidak tahu apa itu ilmuwan. Aku hanya menjawab, "sayentis itu lebih keren dari dokter tauk. Gajinya lebih gede," dan semakin takjublah anak-anak tetangga tak berdosa itu mendengar bualanku. Coba saja waktu itu ada Einstein, pasti dia begitu bernafsu untuk menikamku menggunakan gunting kuku.
Dan seperti yang sering terjadi pada kebanyakan anak kecil, akupun mulai bergonta-ganti cita-cita. Mulai berkeinginan jadi pemilik restoran padang hingga menjadi istri dari pangeran minyak. Termasuk di dalamnya berkeinginan menjadi seorang penulis dan guru.
Tulisan ini kubuat berdasarkan pengalaman pribadiku mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun di sekolah formal dari mulai SD hingga sekarang. Jadi kalau memang ada diantara kalian yang merasa kalau tulisanku ini nggak sesuai dengan apa yang terjadi dengan kalian. Ya maaf, namanya juga pengalaman pribadi.
Well..
Aku merasa cukup beruntung karena pernah berada di dua lingkungan sekolah yang berbeda, swasta dan negeri. Yang kemudian membuatku memiliki pandangan tersendiri dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Satu hal yang sangat mencolok di dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah adanya diskriminasi. Disamping banyak hal lain diluar itu. Sangat ironis mengingat target EFA (Education for All) yang merupakan kesepakatan negara-negara di dunia adalah tahun 2015. Oke, aku akan mulai membahas satu per satu masalah pendidikan sesuai kacamataku.
#Orang miskin nggak boleh pinter
Aku heran kenapa biaya pendidikan terus meningkat setiap tahunnya. Belum lagi semua atribut pendidikan di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri (termasuk seragam dan buku pelajaran) terus berubah dari tahun ke tahun, sehingga murid-murid baru terpaksa membeli atribut baru daripada kena hukuman di sekolah. Menurutku ini adalah kekerasan psikologis bagi siswa yang kebetulan berasal dari golongan menengah ke bawah. Banyak dari golongan masyarakat kurang mampu menggunakan atribut pendidikan secara turun temurun. Sehingga hal yang serba ‘baru’ yang diterapkan sekolah sangat menyudutkan mereka. Padahal terkadang 1 buah buku pelajaran harganya bisa sama dengan pendapatan mereka sebulan #itistrue!
Belum lagi iuran-iuran dadakan yang sering terjadi di sekolah-sekolah termasuk sekolah negeri. Memang, untuk masyarakat kurang mampu biaya sekolah ditanggung oleh APBD dan APBN melalui BOS. Namun sebagian masih harus ditanggung oleh orang tua murid. Dan kasus yang juga banyak terjadi belakangan ini adalah ketidakmampuan orang tua murid dalam membayar setengah biaya tersebut sering membuat sekolah sengaja menahan ijazah maupun raport murid itu. Terlihat jelas diskriminasi bagi kaum miskin di sini.
#Ujian Nasional
Entah sudah berapa kasus bunuh diri di kalangan remaja terjadi akibat tidak lulus ujian nasional (lho? Memang sudah berapa banyak?), atau bahkan yang lulus dengan nilai yang begitu tinggi tapi tentu bukan karena usahanya sendiri. Mungkin aku termasuk orang yang tidak setuju dengan diadakannya UN di Indonesia ini. Karena sistem ini tidak sesuai dengan kebutuhan pragmatis di masa depan dan perbedaan masing-masing individu. Kenapa? Karena mana mungkin tiga tahun menjalani sekolah di SMP/SMA hanya dinilai dengan satu kali ujian akhir yang berisi pilihan jawaban yang telah ditentukan: a,b,c, atau d. Dan memiliki satu jawaban yang dianggap benar. Lalu bagaimana jika murid memiliki pandangan lain atau jawaban lain yang lebih masuk akal? Padahal segala hal itu relatif, termasuk ilmu berhitung.
A pernah bertanya pada Bapak Sumantri (guru matematika di As-sunnah), "Pak, matematika itu ilmu pasti ya? Jawabannya pasti begitu kan?"
Kemudian beliu menjawab, "Matematika juga relatif koq. Tergantung kita. Kalau kita jawab ya ada jawabannya, kalau kita nggak mau berarti bisa jadi nggak ada jawabannya."
Nah, bagaimana seorang murid dapat berpikir kritis dan kreatif jika sejak kecil mereka selalu dihadapkan dengan kebenaran yang bersifat ‘tunggal’? Kalau begitu buat apa kita sekolah selama tiga tahun? Mendingan juga sekolah sebulan saja untuk belajar menghadapi ujian, habis itu bagi ijazah deh. Ranchodas Chanchad dalam film 3 Idiots-pun pasti setuju dengan pendapatku.
Aku lebih setuju jika ujian hanya dilakukan bagi mereka yang memerlukan, atau untuk memasuki jenjang lebih tinggi yang dilakukan di awal. Bukannya malah menjadi momok yang menakutkan setelah tiga tahun jungkir-balik bersekolah.
Aku jadi ingat obrolan hangat bersama adik kelas 9 pada suatu sore. Dari obrolan itu aku mendengar keluhan mereka tentang UN yang melelahkan dan mengerikan. Padahal cukuplah dengan UAS, karena dengan begini siswa yang belajar di sekolah tertentu tidak perlu pontang-panting ngejar target lulus UN padahal materi yang selama ini difokuskan kepada mereka bukan materi UN. Tengok sekolah bersistem boarding, sekolah tekhnik mesin, sekolah keputrian, farmasi, kebidanan, dsb. Cuma untuk selembar SKHUN, kami harus belajar jungkir balik keluar batas dan justru melalaikan apa yang seharusnya kami pelajari. Coba pikir, apa tidak penat jika kami harus menguasai bahasa termasuk sastra, menghafal Al-Qur'an, hadits, fiqih, dan pelajaran diniyah lainnya juga sekaligus ditekan untuk lulus UN yang hanya EMPAT HARI dan hanya memilih satu diantara EMPAT HURUF? Harusnya kita bisa fokus ke sistem pendidikan kita masing-masing.
#Lingkungan
Seorang teman bercerita bahwa dia mengikuti program homeschooling hingga SMP. Ketika kutanya alasannya, dia menjawab bahwa ketika di sekolah negeri ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil sehingga ia memberanikan diri bersekolah di sekolah islam khusus perempuan. Karena ia tidak kuat terus-menerus ditindas seperti itu. Jawabannya itu membuaku mengingat masa sekolahku dulu. Diskriminasi terhadap golongan minoritas memang begitu terasa di sana. Terutama di sekolah swasta. Golongan minoritas yang dimaksud disini adalah murid-murid yang tidak ‘kaya’, tidak ‘gaul’ atau tidak ‘keren’ di sekolah tersebut. Sehingga mereka menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Siapa sih yang ingin menjadi bahan tertawaan setiap harinya? Bahkan terkadang guru-guru pun tidak bisa bertindak lebih tegas mengatasi hal ini. Padahal jelas-jelas murid-murid di sekolah tersebut memiliki hak yang sama dalam memperoleh fasilitas dan pendidikan. Padahal kan sama-sama bayar.
Aku juga jadi ingat masa SMP kakak sulungku, dia pernah menulis tentang perjuangannya untuk menjadi seseorang yang tegar. Dalam tulisannya ia menyebutkan bahwa saat itu dia menggunakan sepatu merk SPOTEC yang (mungkin) ia beli di pasar, sementara teman-temannya menggunakan sepatu bermerk luar yang dibeli di mall. Dia sering merasa dilecehkan secara tidak langsung ketika mengikuti latihan basket. Meskipun hanya sebuah candaan. Tapi kalau terlalu sering kan ngenes juga ya? Hingga mungkin kakakku itu sering menangis dalam hati karena dia malu dengan sepatu itu sekaligus tak tega meminta dibelikan sepatu bermerk oleh orang tua kami yang memang berstatus ekonomi biasa-biasa saja, saat itu perekonomian keluarga memang masih di bawah (maklum, usia pernikahan ayah-bunda sangat masih hijau). Mungkin hal ini juga terjadi pada banyak siswa seperti dia pada waktu itu.
Dalam hal ini dibutuhkan peran serta orang tua yang lebih mengerti bagaimana kondisi lingkungan anak-anak mereka di sekolahnya. Sehingga mereka bisa menentukan di mana seharusnya anak mereka ditempatkan untuk kebaikan anak itu sendiri. Atau malah dengan kebijakan sekolah untuk menetapkan sepatu atau atribut sekolah lainnya yang sederhana dan seragam yang dikenakan para siswa ke sekolah.
#Guru=Panutan
Aku beranggapan bahwa seorang pendidik yang baik harus mampu bersikap netral *netral lho yah, bukan Slank atau Peterpan apalagi Kangenben* dalam mendidik murid-muridnya. Ia harus tegas dan bisa memberikan pandangan-pandangan yang dapat membuat murid-muridnya memilih sendiri kebenaran sebenarnya. Ya, bisa dibilang guru versiku adalah seorang fasilitator yang membantu murid-muridnya memiliki pandangan dan pilihan untuk masa depan mereka, bukan malah menghakimi mereka. Fungsi guru bukan hanya sekedar penceramah di kelas, tapi bisa sebagai teman diskusi bagi murid-muridnya. Sehingga bisa bersama-sama menyelesaikan masalah pendidikan. Tapi sayangnya, pada kenyataannya banyak sekali pendidik yang tidak bisa menerima pendapat para muridnya. Ironis.
Dari sebuah survey yang dilakukan oleh seniorku di mading sekolah dulu, dia sempat mengunjungi lebih dari 20 sekolah di Indonesia untuk share mengenai bagaimana menulis kreatif dan mengajar tentang bagaimana memproduksi majalah. Kesimpulan yang bisa kuambil saat itu adalah: murid-murid SMP-SMA sangat butuh seorang pendidik yang mengerti akan kebutuhan mereka. Bukan malah membuat mereka takut. Mereka butuh tempat dimana mereka bisa nyaman bertanya dan bercerita. Bertanya apakah yang telah mereka lakukan itu benar atau salah. Mereka butuh motivator yang unggul untuk membuat mereka berani mengambil sebuah keputusan dalam kehidupan.
Oiya, satu hal lagi pertanyaan yang berhasil kutemukan jawabannya kemarin melalui browsing di Internet. Kenapa pendidikan di Korea-Selatan lebih cepat meningkat dibandingkan dengan Indonesia? Jawabannya adalah bahwa profesi guru (terutama guru SD) di Korea Selatan lebih bergengsi dibandingkan profesi apapun disana. Meskipun gaji guru di sana tidak jauh lebih tinggi, namun ada pride tersendiri menjadi seorang guru di negara tersebut. Beda banget kan sama di negara kita ini? (Uhuk uhuk, nggak usah kujelaskan alasannya, kalian juga udah tau kenapa hahaha)
Hal yang kuungkapkan di atas hanyalah sebagian kecil dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Diluar kasus yang lebih njelimet lagi seperti politik, KKN, dll (Maaf aku ogah ngomongin masalah itu. Bikin kesel aja soalnya :@)
Sudah sepantasnyalah pemerintah membenahi permasalahan ini jika target EFA 2015 memang betul-betul ingin dicapai. Dan untuk masyarakat, kalau kalian menganggap pemerintah terlalu lamban untuk mengatasi masalah ini, berarti kalian lah yang harus melakukan sesuatu untuk mencerdaskan bangsa ini. Jangan hanya bisa mengeluh. Mungkin sekolah alternatif bisa dijadikan sebuah solusi yang cukup baik. Sekolah dimana kebutuhan pendidikan murid lebih penting.
Pendidikan yang baik haruslah dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat. Termasuk masyarakat marginal secara intelektual, sosial, fisik, atau mental. Karena tidak ada landasannya pendidikan harus membuang atau mendiskriminasikan orang-orang hanya karena mereka memiliki kekurangan fisik, materi, atau kurang ‘pintar’. Jujur saja, aku mungkin termasuk golongan tersebut. Aku tidak mudah memahami pelajaran di kelas. Secara konvensional, aku kesusahan. Secara konversasi juga masih kesusahan. Aku harus menunggu mood baik datang kalau aku ingin memahami suatu pelajaran. Percaya deh, itu tidak mudah. Aku mungkin memang tidak secerdas kalian. Tapi aku ingin menjadi cerdas. Dan aku ingin setiap orang di dunia ini seperti itu. Karena pendidikan adalah untuk semua.
“Next, jadi cita-cita elo apa?”
“Gue pengen jadi guru. Ya, guru untuk semua. Termasuk guru buat diri ague sendiri. ”