Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Secara pribadi, saya tidak mengenal Jatmika Jati. Tapi, ia telah menunjukkan kepada kita, bagaimana ia mengelola waktunya yang sekitar 30 menitan itu untuk berkarya, menciptakan sketsa yang keren itu. Ini inspirasi untuk kita, untuk mengelola waktu dengan sebaik-baiknya.
Stasiun bagi Jatmika Jati, mungkin juga bagi kita, adalah tempat yang inspiratif. Ada ribuan kali perpisahan telah terjadi di sana. Ada yang diiringi tetesan air mata, ada pula tangisan yang disembunyikan dalam pelukan. Selain itu, di stasiun, juga telah terjadi ribuan pertemuan. Ada yang dibarengi dengan gelak-tawa, ada pula yang melengkapi pertemuan dengan senda-gurau. Seorang sahabat saya pernah bergumam, ”Stasiun adalah tempat yang pedih sekaligus inspiratif.”
Lalu-lintas Ide, Lalu-lintas Gagasan
Lalu-lintas kereta dan hilir-mudik manusia di stasiun, sama halnya dengan lalu-lintas gagasan di sejumlah kepala. Semua terpulang kepada kita, bagaimana kita memaknainya. Bagaimana kita mewujudkannya dalam karya. Jatmika Jati mengungkapkannya melalui sketsa. Para penulis tentulah mengekspresikannya melalui tulisan. Kendala pasti ada. Hambatan tentulah tak terhindarkan. Apakah segala kendala serta segenap hambatan membuat kita berhenti berkarya? Membunuh ide yang ada di kepala? Mematikan gagasan yang ada? Menjadikan kita berhenti menulis?
Budiman Tanoeredjo mencoba menjawabnya. Pemimpin Redaksi Harian Kompas itu, pada Kamis (28/5/2015) siang menjelang sore, berdiri sekitar satu langkah di depan saya. ”Ide menjadi penting, gagasan-gagasan harus terus dihidupkan, meski kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak suka membaca dan orang-orang yang tidak suka menulis. Gagasan harus terus disuarakan, baik melalui teks, baik melalui video, baik melalui broadcast,” ujar Budiman Tanoeredjo sepenuh hati.
Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konteks Pendidikan untuk Transformasi Sosial, yang menjadi tema diskusi hari itu. Romo M. Sastrapratedja dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Retno Listyarti dari Federasi Serikat Guru Indonesia, tampil sebagai pembicara. Diskusi itu sendiri berlangsung di Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat, tepatnya di lantai 7, satu lantai di atas area kerja Kompasiana.
Secara pribadi, saya tidak mengenal Budiman Tanoeredjo. Dalam beberapa kesempatan, kami memang pernah beberapa kali berbincang, dalam konteks aktivitas jurnalistik. Apa yang ia ungkapkan di atas, agaknya patut kita camkan. Menjadi bahan pemikiran, juga menjadi inspirasi dalam berkarya. Karena, kita adalah bagian dari sistem pendidikan, yang tiada henti menyuarakan gagasan melalui tulisan di Kompasiana.
Ini dua tulisan Pepih Nugraha di Kompasiana, yang setidaknya menunjukkan kepada kita, bagaimana ia mengelola waktu untuk berkarya, untuk menulis. Waktu memang terbatas. Kesibukan memang bertumpuk. Tapi, Pepih Nugraha telah menginspirasi kita, bagaimana menyiasati segenap keterbatasan waktu tersebut. Foto: kompasiana.com