Di era Media Online dan Sosial Media seperti saat ini, tiap orang bisa menjadi juru warta, yang dalam sekejap bisa diakses publik dunia. Akurasi dan klarifikasi menjadi nomor sekian, karena yang utama adalah kecepatan posting. Mungkin juga banyak-banyakan posting. Arus informasi memang telah berubah ...
Tapi, Robert Adhi KSP, yang menulis Obituari Her Suganda di print.kompas.com, mencoba mengingatkan kita akan tradisi dalam menulis, sebagaimana yang dibangun serta ditegakkan oleh Her Suganda (73), yang baru saja wafat Senin (18/5/2015) pada pukul 23.40 WIB. Mantan wartawan Harian Kompas itu sempat dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Bandung, Jawa Barat, karena mengalami komplikasi pembengkakan jantung serta infeksi paru-paru dan ginjal. Selasa (19/5/2015) pagi, Her Suganda dimakamkan di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Tradisi Menulis Hingga Akhir
Her Suganda menunjukkan kepada kita bahwa menjadi wartawan bukanlah sebuah pekerjaan, tapi sebuah kehidupan. Artinya, meski secara struktur, ia tidak lagi bekerja di Harian Kompas, tapi dedikasinya untuk mencerdaskan publik melalui tulisan, tetap berkelanjutan. Bila dulu medianya adalah suratkabar, maka setelah pensiun dari struktur, ia beralih ke media buku. Bahkan, hingga akhir hayatnya, ada 7 buku karyanya yang sudah diterbitkan.
Buku terakhirnya, Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934), terbit pada 27 April 2015, hanya 22 hari sebelum ia wafat. Tak banyak wartawan yang masih terus menulis, setelah pensiun dari struktur media. Padahal, negeri ini memiliki cukup banyak wartawan handal, dengan segudang pengalaman, tapi entah kenapa sebagian besar undur diri dari dunia literasi bersamaan dengan undur dirinya mereka dari struktur media.
Di era orde lama, mereka yang terjun ke dunia pers adalah mereka yang memang sebelumnya sudah bergulat di bidang penulisan. Karena itu, meskipun mereka sudah tidak aktif di pers, mereka tetap menulis. Sebutlah Rosihan Anwar, yang tutup usia pada 14 April 2011, meskipun media yang menaunginya sudah berhenti terbit dan ia sudah tidak terikat lagi secara struktur dengan media, toh Rosihan Anwar tetap aktif menulis. Bahkan, pada detik terakhir hayatnya, ia sedang merampungkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.