Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Her Suganda: Tradisi Menulis, Tradisi Berguru, dan Tradisi Jurnalis

20 Mei 2015   11:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 24 0
id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Di era Media Online dan Sosial Media seperti saat ini, tiap orang bisa menjadi juru warta, yang dalam sekejap bisa diakses publik dunia. Akurasi dan klarifikasi menjadi nomor sekian, karena yang utama adalah kecepatan posting. Mungkin juga banyak-banyakan posting. Arus informasi memang telah berubah ....


Tapi, Robert Adhi KSP, yang menulis Obituari Her Suganda di print.kompas.com, mencoba mengingatkan kita akan tradisi dalam menulis, sebagaimana yang dibangun serta ditegakkan oleh Her Suganda (73), yang baru saja wafat Senin (18/5/2015) pada pukul 23.40 WIB. Mantan wartawan Harian Kompas itu sempat dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Bandung, Jawa Barat, karena mengalami komplikasi pembengkakan jantung serta infeksi paru-paru dan ginjal. Selasa (19/5/2015) pagi, Her Suganda dimakamkan di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.


Tradisi Menulis Hingga Akhir


Her Suganda menunjukkan kepada kita bahwa menjadi wartawan bukanlah sebuah pekerjaan, tapi sebuah kehidupan. Artinya, meski secara struktur, ia tidak lagi bekerja di Harian Kompas, tapi dedikasinya untuk mencerdaskan publik melalui tulisan, tetap berkelanjutan. Bila dulu medianya adalah suratkabar, maka setelah pensiun dari struktur, ia beralih ke media buku. Bahkan, hingga akhir hayatnya, ada 7 buku karyanya yang sudah diterbitkan.


Buku terakhirnya, Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934), terbit pada 27 April 2015, hanya 22 hari sebelum ia wafat. Tak banyak wartawan yang masih terus menulis, setelah pensiun dari struktur media. Padahal, negeri ini memiliki cukup banyak wartawan handal, dengan segudang pengalaman, tapi entah kenapa sebagian besar undur diri dari dunia literasi bersamaan dengan undur dirinya mereka dari struktur media.


Di era orde lama, mereka yang terjun ke dunia pers adalah mereka yang memang sebelumnya sudah bergulat di bidang penulisan. Karena itu, meskipun mereka sudah tidak aktif di pers, mereka tetap menulis. Sebutlah Rosihan Anwar, yang tutup usia pada 14 April 2011, meskipun media yang menaunginya sudah berhenti terbit dan ia sudah tidak terikat lagi secara struktur dengan media, toh Rosihan Anwar tetap aktif menulis. Bahkan, pada detik terakhir hayatnya, ia sedang merampungkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.


Karena itu, apa yang sudah ditunjukkan oleh Her Suganda, wartawan yang berasal dari generasi setelah Rosihan Anwar, setidaknya menjadi inspirasi bagi kita semua, dalam konteks kontribusi informasi kepada publik. Her Suganda lahir pada 6 Juni 1942. Dia memulai karier jurnalistiknya sejak tahun 1965. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer,”Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Pramoedya Ananta Toer pernah bekerja di Kantor Berita Jepang dan di Balai Pustaka. Meski sudah tidak aktif di pers, bahkan saat berada dalam kungkungan tahanan pun, Pram terus dan terus menulis.




Dalam Obituari Her Suganda yang ditulis Robert Adhi KSP tersebut, ada kisah dari Tri Agung Kristanto, Kepala Desk Nusantara Harian Kompas. Sekadar mengingatkan, Tri Agung Kristanto adalah salah seorang pemateri di acara Kompasiana Nangkring bareng PGN: Kotaku Kota Cerdas! pada Sabtu, 25 April 2015, di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan. Kisah yang diungkapkan Tri Agung Kristanto itu terjadi tahun 1995.


"Pak Hers juga tidak sungkan meliput bersama dengan saya, yang saat itu masih berstatus koresponden lepas Kompas. Calon wartawan pun belum. Saat meliput bersama dan terus berdialog itulah, Pak Hers membagikan ilmu dan pengetahuannya untuk menjadi wartawan yang baik," ungkap Tri Agung yang menekankan betapa Pak Hers salah satu guru jurnalistiknya.


Dari apa yang diungkapkan Tri Agung Kristanto tersebut, kita tahu bahwa sesungguhnya Her Suganda, bukan saja seorang wartawan yang handal dalam menulis, tapi juga seorang guru yang rendah hati. Ia tak memandang status dalam hal berbagi ilmu. Hubungan atasan-bawahan melebur dalam kesungguhan menekuni profesi. Dengan kata lain, Her Suganda menempatkan dirinya sebagai lapangan yang luas untuk berguru, bagi siapa saja yang hendak menimba ilmu. Karena itulah, Her Suganda disebut sebagai rujukan para wartawan yang hendak memahami Jawa Barat.


Dalam kata pengantar buku Wisata Parijs van Java, yang diberi Her Suganda judul Wilujeng Sumping di Bandung, kerendahatian itu sangat terasa. Ia sama sekali tak menunjukkan diri sebagai sosok yang sangat mengenal Bandung. Padahal, buku setebal 336 halaman tersebut, sudah nyaris menjadi kamus tentang Bandung. ”Informasi dalam buku ini mudah-mudahan bisa membantu menjawab sebagian rasa ingin tahu tentang kota Bandung dan sekitarnya. Syukur jika bisa menjadi teman yang memandu perjalanan,” tulis Her Suganda di alinea terakhir Wilujeng Sumping di Bandung tersebut.




Tradisi menulis Her Suganda, yang memulai karier jurnalistiknya sejak tahun 1965, melekat kuat hingga akhir hayatnya. Bukan hal yang mudah tentunya, menjaga reputasi serta melakoni profesi, dalam kurun waktu yang demikian panjang. Untuk bisa berada di level yang demikian, komitmen Her Suganda pada bidang penulisan tentu tak kalah kuatnya. Menulis baginya bukan pekerjaan tapi bagian dari kehidupan. Inilah barangkali yang disebut Pramoedya Ananta Toer, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.


Komitmen yang demikian kuat itu pulalah yang senantiasa ditanamkan Her Suganda kepada para calon wartawan didikannya. Setidaknya, selama Her Suganda menjadi Koordinator Koresponden (Kepala Biro) Harian Kompas di Jawa Barat, hingga tahun 2000. Agus Mulyadi, salah seorang anak didiknya di Harian Kompas, menulis di laman Facebook, "Aku dan para anak didikmu tak kan pernah melupakan jasamu yang selalu mengingatkan: kedepankan lapangan, gali informasi di lapangan, kebenaran mutlak bisa ditemukan di lapangan. Selamat jalan Pak Her Suganda, seniorku, guru jurnalisku. Semoga diterima di sisi-Nya."


Apa yang ditulis Agus Mulyadi itu menunjukkan kepada kita bahwa Her Suganda selalu mengingatkan tentang hakekat kebenaran dalam jurnalistik: akurat. Informasi yang disampaikan kepada publik, haruslah terjaga akurasinya. Maka, penggalian informasi di lapangan harus dilakukan secara maksimal, lengkap dengan mekanisme klarifikasi, untuk mencapai akurasi yang tinggi.


Realisasinya di lapangan, ini bukan sesuatu yang mudah. Apalagi, teknologi informasi di masa sebelum tahun 2000 itu, belum secanggih seperti saat ini. Jarak dan waktu menjadi sebuah pertarungan yang memang harus diperjuangkan untuk menaklukkannya. Tapi, Her Suganda nyaris sepanjang kariernya sebagai jurnalis, tiada henti menelusuri dan menjelajah pelosok Jawa Barat, dengan komitmen yang tinggi. Komitmen Her Suganda pada profesinya, sungguh mengesankan, juga mengagumkan.


Jakarta, 20 Mei 2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun