Realitas tentang Migas, berbanding terbalik dengan apa yang ada di kepala para penyelenggara negara. Akibatnya, kebijakan tentang Migas, bukan merupakan solusi tapi hanya sekadar keputusan gali lubang tutup lubang, yang tak menyelesaikan masalah Migas yang sesungguhnya.
”Kita harus memperbaiki manajemen energi nasional, dengan roadmap jangka panjang. Karena, kondisi energi negeri ini sudah dalam posisi sungguh mencemaskan. Masyarakat di sejumlah wilayah bahkan sudah berada di situasi krisis energi,” ujar Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara blak-blakan, di hadapan sekitar 300 peserta Kompasiana Seminar Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia.
Seminar yang dihadiri Kompasianer, awak media, dan mahasiswa tersebut, berlangsung Senin, (13/4/2015), di Hotel Santika Premiere, Jl. Aipda KS Tubun No. 7, Slipi, Jakarta Barat. Sudirman Said pada kesempatan itu tampil sebagai keynote speech. Yang jadi pembicara seminar: Awang Faroek Ishak (Gubernur Kalimantan Timur), Syamsu Alam (Direktur Pertamina), Widyawan Prawiraatmaja (Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM), Andang Bachtiar (Pakar Migas), dan Irman Gusman (Ketua DPD RI). Mereka menyajikan materi tentang migas, sesuai dengan kapasitas dan posisi yang mereka emban.
Mari Kita Jujur pada Realitas
Sudirman Said memang baru beberapa bulan menjadi Menteri ESDM. Ia resmi dilantik sebagai menteri oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (27/10/2014) di Istana Presiden. Sebagai menteri baru, ia mengajak seluruh jajaran penyelenggara negara, dari yang paling tinggi hingga yang paling bawah, untuk jujur kepada rakyat. Khususnya, yang terkait dengan energi nasional.
Misalnya, Indonesia sudah puluhan tahun menjadi pengimpor minyak, tapi kenapa masih banyak orang di negeri ini yang mengklaim bahwa Indonesia adalah negara yang kaya minyak? Cadangan minyak nasional terus merosot, hingga impor minyak terus bertambah, tapi kenapa masih banyak orang di negeri ini yang hidup dengan menghambur-hamburkan energi?
Itulah sejumlah paradoksal tentang energi di Indonesia, yang dicontohkan Sudirman Said. Semua itu menunjukkan betapa kita, pemerintah dan rakyat, tidak jujur pada realitas yang sesungguhnya. Kalau kita jujur bahwa selama ini kita mengimpor minyak, seharusnya sejak dulu kita sudah hidup dengan sikap hemat energi. Bila kita jujur bahwa cadangan energi fosil berupa minyak dan gas bumi Indonesia diperkirakan semakin berkurang dan akan habis pada 2025, seharusnya sudah sejak dulu kita membangun energi alternatif.
Energi alternatif? Iya, kita sudah seharusnya mengolah berbagai sumber daya alam Indonesia untuk menghasilkan energi alternatif. Artinya, kita tidak hanya bergantung pada energi fosil sebagai satu-satunya sumber energi. ”Matahari di negeri ini bersinar sepanjang tahun, tapi energi tenaga surya belum kita kembangkan. Sungai dan air terjun ada seluruh pelosok nusantara, tapi energi hydro belum sepenuhnya digarap. Negeri ini penuh dengan tanaman, tapi energi biofuel belum serius ditangani,” papar Sudirman Said secara panjang-lebar.
Bupati Kabupaten Mahakam Hulu (Mahulu), MS Ruslan, mengatakan, kerja sama pemerintah Mahulu dan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) mendapati sedikitnya 15 air terjun potensial untuk dimanfaatkan jadi pembangkit listrik jenis tenaga air. MS Ruslan juga menegaskan, Mahulu tidak akan menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) berbahan fosil tapi mengandalkan energi yang terbarukan. Hal itu dikatakan Ruslan, sebelum mengikuti sebuah diskusi di Kalimantan Timur, Kamis (18/9/2014). Foto: kompas.com
Energi Baru dan Energi Terbarukan
Energi Surya yang berbasis sinar matahari, Energi Hydro yang berbasis pada air, dan Energi Biofuel yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan adalah beberapa contoh sumber energi alternatif yang harus dibangun dan dikembangkan di Indonesia. Kondisi alam Indonesia sangat memungkinkan untuk merealisasikan hal tersebut. Dalam bahasa pelaku energi, semua itu mereka sebut sebagai Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Sebagai Menteri ESDM, Sudirman Said menyatakan bahwa manajemen energi nasional ke depan, fokus untuk mewujudkan Energi Baru dan Energi Terbarukan. Ini adalah bagian dari rencana kerja pemerintah agar Indonesia memiliki ketahanan energi, berdaulat di bidang energi. Artinya, dengan membangun industri Energi Baru dan Energi Terbarukan, secara bertahap Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada impor minyak.
Untuk membangun industri Energi Baru dan Energi Terbarukan, pemerintah tentu tidak mampu melakukannya sendiri. Selain karena membutuhkan investasi yang besar dan waktu yang lama, domain pemerintah di bidang energi pada dasarnya adalah regulator, pengendali kebijakan. Yang bertindak di industri adalah badan usaha, baik badan usaha milik negara maupun badan usaha swasta.
Energi Baru dan Energi Terbarukan ini kerap disebut sebagai Energi Hijau, dalam artian energi yang ramah lingkungan, bila dibandingkan dengan energi fosil. Sebagaimana kita tahu, dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat eksplorasi untuk mendapatkan energi fosil, tidaklah murah. Butuh biaya tinggi dan waktu yang lama, untuk mengembalikan lahan bekas pertambangan di hulu migas, agar kembali seperti sediakala.
Dalam konteks ramah lingkungan, sejalan dengan fokus Menteri ESDM, Sudirman Said, pada Energi Baru dan Energi Terbarukan, pemerintah tengah menggelar promo investasi hijau, untuk menggaet calon investor. Promosi investasi ramah lingkungan tersebut, pada Senin (27/4/2015) dikemas dalam event Tropical Landscapes Summit 2015, di Jakarta.Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan pidato pada pembukaan acara Tropical Landscapes Summit 2015 di Jakarta, Senin (27/4/2015). Acara yang diadakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) itu bertujuan melakukan pembahasan peluang investasi masa depan Indonesia yang peduli terhadap lingkungan Foto: antaranews.com
Penyelamatan Sumber Daya Alam
Melalui program Energi Baru dan Energi Terbarukan yang dicanangkan Sudirman Said, aktivitas eksplorasi penambangan isi perut bumi, tentulah bisa dikurangi. Tingkat kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan pun, secara bertahap bisa diminimalkan. Artinya, secara keseluruhan, program Energi Baru dan Energi Terbarukan tersebut, merupakan strategi yang paralel dengan upaya penyelamatan sumber daya alam.
Logikanya, bila saat ini kita sepenuhnya bergantung pada energi fosil, maka pada saatnya nanti, ketergantungan itu akan diimbangi oleh ketersediaan Energi Baru dan Energi Terbarukan. Artinya, cadangan energi fosil dalam perut bumi kita, bisa diperpanjang usianya. Ini sama dan sebangun dengan upaya penyelamatan sumber daya alam.
Dalam hal ini, persiapan yang matang akan roadmap investasi hijau, khususnya di sektor energi, tentulah harus dieksekusi dengan sebaik-baiknya. Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulistio, dalam sesi pleno pertama Tropical Landscapes Summit 2015, isu investasi ramah lingkungan ini sebenarnya bukan hal baru. Tapi, pemerintah belum memiliki peta jalan, hingga swasta belum tahu persis peran apa yang akan dilakukan. Menurut Kepala Staf Kepresidenan, Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah tengah menyusun roadmap-nya, yang pengerjaannya dilakukan di lintas kementerian.
Hal itu merupakan pekerjaan rumah Menteri ESDM, Sudirman Said, beserta kementerian terkait, demi terwujudnya Energi Baru dan Energi Terbarukan. Pekerjaan rumah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk membenahi iklim investasi di sektor energi, menata kebijakan energi jangka panjang, serta memperbaiki manajemen energi nasional.
Jakarta, 29 April 2015