Djunijanti Peggie. Ia doktor Kupu-kupu pertama di Indonesia, lulusan Cornell University, Amerika. Ia ingin berbagi ilmu tentang Kupu-kupu melalui buku. Tapi, penerbit mayor tidak berminat menerbitkan bukunya, karena dianggap tidak komersial. Bagaimana ia menyiasatinya?
Anda yang ingin menerbitkan buku tapi ditolak oleh penerbit mayor, barangkali ada baiknya menyerap spirit Djunijanti Peggie: tak kenal menyerah. Ya, ibu tiga anak ini, tak mau menyerah, meski penerbit mayor pernah menolak menerbitkan bukunya, karena dinilai tidak komersial. Ia bergerak dari satu penerbit ke penerbit lain. Ia meyakinkan mereka, betapa pentingnya informasi tentang Kupu-kupu disebarluaskan kepada publik, demi menjaga lingkungan hidup.
Indonesia Punya 2.000 Spesies
Peggie paham, topik tentang Kupu-kupu memang bukan topik yang hot. Apalagi bila mengingat, betapa sedikitnya masyarakat yang peduli dengan Kupu-kupu. Jadi, pantaslah bila penerbit mayor menilainya tidak komersial. Sebaliknya, sebagai peneliti dan kurator Kupu-kupu (1990-sekarang) di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Peggie yakin betul bahwa pengetahuan tentang Kupu-kupu perlu disebarluaskan. Salah satunya, melalui buku.
Kenapa? Ada banyak alasan yang mendasarinya. Pertama, Kupu-kupu adalah salah satu kekayaan alam Indonesia. ”Di dunia, jenis Kupu-kupu terbanyak ada di Amerika Selatan, yakni 3.500 spesies. Indonesia memiliki jenis Kupu-kupu endemik terbanyak di dunia. Dari 2.000 jenis Kupu-kupu di Indonesia, sekitar 40 persen jenis endemik,” kata Peggie, dalam wawancaranya dengan print.kompas.com, Jumat, 24 April 2015, Inspirasi Hidup dari Kupu-kupu.