Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Siapa Manusia? Siapa Siluman? Teater Koma Menjawab

25 Maret 2015   18:58 Diperbarui: 29 Februari 2016   08:31 382 7

Ada orang yang nampak baik, ternyata kemudian jadi pembunuh yang sadis. Ada orang yang terkesan taat beribadah, ternyata merupakan koruptor kakap. Apakah orang semacam itu manusia atau mereka sesungguhnya siluman?

Teater Koma bukan hendak menciptakan teka-teki. Tapi, grup teater kenamaan Indonesia ini berupaya menggugah kesadaran kita untuk mencermati sosok manusia dalam arti yang sesungguhnya. Grup teater ini pada 1 Maret lalu, genap berusia 38 tahun. Upaya mencermati sosok manusia itu, dilakukan Teater Koma melalui pentas teater Opera Ular Putih, 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Mendobrak Era Pencitraan

Opera Ular Putih ini memang bukan cerita asli Indonesia. Ini kisah klasik Tiongkok Ouw Peh Coa karya Ta Shen Sien. Kisah ini diadaptasi Nano Riantiarno menjadi Opera Ular Putih. Nano Riantiarno, lengkapnya Norbertus Riantiarno, adalah penulis naskah, sutradara, sekaligus pendiri Teater Koma. Naskah ini pertama kali dipentaskan Teater Koma, juga di Graha Bhakti Budaya, tahun 1994, pada 21 tahun yang lalu.

Apa yang membuat Opera Ular Putih relevan untuk dipentaskan kembali tahun ini? Ada banyak reason yang bisa dikemukakan. Salah satunya, karena maraknya era pencitraan, yang membuat orang makin piawai membungkus jati dirinya. Baik melalui media maupun lewat berbagai aktivitas sosial. Hingga, seringkali publik terkecoh memuja serta menyanjung orang lain, tanpa memahami sosok asli orang yang bersangkutan.

Dengan kata lain, akibat strategi pencitraan yang gencar dikembangkan belakangan ini, tak mudah membedakan mana manusia yang sesungguhnya dan mana yang siluman. Mana karakter asli, mana karakter kemasan. Mana kebenaran dan mana kepura-puraan. Bahkan, kepalsuan nampak sebagai kesejatian dan yang sejati justru terkesan sebagai kepalsuan. Mengacu kepada realitas kekinian tersebut, maka pentas Opera Ular Putih menjadi sesuatu yang sangat relevan saat ini.

Kesenian, salah satunya seni teater, memang mengemban tugas untuk menggugah kesadaran publik, agar senantiasa waras mengarungi kehidupan yang hingar-bingar ini. ”Masih sanggupkah kita membedakan, siapa manusia dan siapa siluman? Semoga penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral tersirat yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini,” ujar Nano Riantiarno saat press conference di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Selasa (24/3/2015).
Gerakan Bersih Bumi

Lakon Opera Ular Putih ini berkisah tentang siluman Ular Putih yang ingin menjadi seorang manusia, dengan bertapa hingga 1.000 tahun. Para dewa kemudian mengabulkan keinginannya. Siluman Ular Putih pun menjelma menjadi seorang wanita cantik jelita bernama Pehtinio. Ia pun menjalani kehidupan sebagaimana halnya manusia. Suatu waktu, Pehtinio bertemu dengan Kohanbun, pemuda yang merupakan reinkarnasi dari orang yang pernah menolong Ular Putih ratusan tahun yang lalu.

Pehtinio bertekad menjadi istri Kohanbun. Namun, kedamaian mereka terusik ketika Kohanbun bertemu dengan seorang peramal, Gowi, yang memberitahukan bahwa Pehtinio sesungguhnya adalah seekor siluman ular jahat. Menurut Gowi, siluman ular itu tidak peduli dengan segala kebaikan yang pernah diberikan Kohanbun. Benarkah demikian? Apakah yang dikutuk sebagai kejahatan, benar-benar sebuah kejahatan?

Teater Koma dengan piawai mengolah pergolakan batin Pehtinio dan Kohanbun menjadi opera yang menghibur tapi penuh dengan pesan moral yang menggugah rasa. Sosok Pehtinio dan Kohanbun pada dasarnya merupakan simbol, sekaligus potret dari bingkai besar realitas gejolak sosial masyarakat yang sesak dengan intrik, friksi, serta pertikaian, sebagaimana yang terjadi di tengah masyarakat kita belakangan ini.

Kehidupan yang seharusnya damai agar masyarakat produktif, justru dirusak oleh ambisi sejumlah orang, yang kemudian bermuara pada intrik, friksi, serta pertikaian. Kerukunan masyarakat terguncang. Rasa persaudaraan yang kental, tercemar. Kawan berubah wujud menjadi lawan. Orang baik menjelma menjadi sosok yang jahat. Di sinilah seni dan budaya, khususnya seni teater, berperan menjernihkan kesadaran publik. Setidaknya, menggugah masyarakat agar tak terjebak dalam arus intrik, friksi, serta pertikaian yang merusak tatanan sosial.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun