Di tangan petani kopi Kintamani, kopi bukan hanya sebatas rasa. Komoditas pertanian itu tak lagi berdiri sendiri, tapi mereka secara kreatif menyatukan kopi dalam nilai kekerabatan Bali. Agaknya, kreativitas-kekerabatan inilah yang membedakan mereka dengan petani kopi lain di tanah air.
Darah seni mengalir di seluruh nadi orang Bali. Meski tak semua jadi pelukis, meski tak seluruhnya jadi pemahat, toh nyaris tak ada orang Bali yang tak pandai menari. Karena itulah, seorang petani kopi sesungguhnya adalah juga seorang penari. Dan, sebagai penari, kreativitas telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Demikian pula halnya dengan sensitivitas. Dengan balutan nafas seni Bali, semua menyatu, semua terimplementasi di tiap profesi yang mereka tekuni. Itulah yang nampak serta terasa kental saat menghastai jalan, menyusuri perkebunan kopi di sepanjang jalan Kintamani.
Kopi Sepanjang Kintamani
Boleh dibilang, perbukitan Kintamani penuh dengan kebun kopi. Setidaknya, sepanjang jalur wisata yang membentang antara Tampaksiring hingga Singaraja, ada sekitar 15.000 hektar lahan yang ditanami kopi. Kawasan yang rimbun, hijau, serta berudara sejuk tersebut kerap dinamai wisatawan asing sebagai the golden trip. Pesona alamnya benar-benar menakjubkan. Bukit, lembah, dan danau silih berganti menampilkan keindahannya.
Perbukitan ini berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Jarak dari Pantai Kuta di Denpasar ke Kintamani sekitar 71 kilometer dan biasanya dapat ditempuh sekitar 2-3 jam perjalanan dengan kendaraan. Mengingat pesona alam yang indah sejak dari Tampaksiring, maka sangat bisa dipahami, kenapa Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun di kawasan tersebut. Istana ini mulai dibangun tahun 1957 hingga tahun 1960 atas prakarsa Presiden Soekarno. Bisa dikatakan, Istana Kepresidenan Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun pada masa pemerintahan Indonesia.
Di kawasan yang demikianlah Kopi Arabika Kintamani tumbuh dengan suburnya. Bila menengok ke belakang, perbukitan Kintamani sudah dikenal sejak lama sebagai daerah penghasil kopi unggul. Tapi, ketika Gunung Batur meletus pada September 1963 hingga Mei 1964, sebagian besar kebun kopi ini rusak. Maklum, Gunung Batur yang berada di tepian Danau Batur, relatif berdekatan dengan perbukitan Kintamani. Akibatnya, tanah serta abu vulkanik letusan gunung tersebut, sebagian menyembur hingga perbukitan Kintamani.
Namun, sebagaimana galibnya, di balik musibah, senantiasa ada berkah. Tanah serta abu vulkanik dari letusan Gunung Batur yang sebelumnya merusak kebun kopi di perbukitan Kintamani, justru menjadi penyubur yang sangat menguntungkan di tahun-tahun berikutnya. Diduga, karena tumbuh di tanah vulkanik, kopi Kintamani memiliki aroma kecokelatan yang kuat dengan citarasa manis.
Yang juga turut menyempurnakan kekhasan rasa kopi Kintamani adalah rasa asam jeruk, karena di sekujur perbukitan tersebut juga membentang luas kebun Jeruk Bali, yang tak kalah legendarisnya dalam mengharumkan Pulau Dewata ini. Karakteristik rasa asam pada kopi Kintamani, bukan melemahkan, tapi justru menguatkan kekhasannya.
Jangan Takut Rasa Asam Kopi
Sumber: tempo.co, Rabu, 05 Juni 2013 | 05:07 WIB
Bagi pecinta kopi, karakteristik rasa kopi memang digilai untuk menikmati sensasinya. Begitu juga rasa asam yang keluar pada jenis kopi tertentu, misalnya Kopi Kintamani asal Bali ataupun Kopi Gayo dari Aceh. Menurut konsultan kopi, Adi W Taroepratjeka, rasa asam kopi justru menunjukkan kualitas kopi sehingga beberapa jenis kopi itu harganya mahal.
"Di asamnya kopi itu menjadi ciri khas kopi di beberapa daerah dan itu yang membuat harga kopi itu lebih mahal. Jadi, kalau nemu kopi yang agak asam, jangan takut, misalnya Kopi Kintamani cenderung asam, asamnya pun kalau kita deskripsikan ada yang kayak buah jeruk, jeruk lemon, cheri. Itu seger di mulut," kata pria yang juga seorang barista ini kala ditemui di Senayan City, Jakarta pada Selasa, 4 Juni 2013.