Budi Gunawan memiliki dua status baru: Tersangka Korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dengan kedua status itu, Budi Gunawan akan menjadi lokomotif penegakan hukum di negeri ini.
Adakah yang gusar? Di mata hukum, status Tersangka belumlah status yang memiliki kekuatan hukum tetap. Karena itulah, Istana yang menjadi penguasa dan politisi di Senayan yang menjadi pusat perwakilan rakyat, melakukan kebulatan tekad untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri. KPK juga terus bertekad mengikis habis korupsi.
Rakyat? Silakan kerja, kerja, dan kerja di tengah 7,24 juta penduduk yang menganggur saat ini, di tengah himpitan ekonomi akibat harga sandang-pangan-papan yang terus membubung tinggi. Sesekali, bila ada waktu luang, tak ada salahnya menyanyikan petikan Manusia Setengah Dewa-nya Iwan Fals: Wahai presiden kami yang baru/Kamu harus dengar suara ini/Turunkan harga secepatnya/Berikan kami pekerjaan/Tegakkan hukum setegak-tegaknya/Adil dan tegas tak pandang bulu.
Calon Tunggal, Dipilih Aklamasi
Seremoni politik bernama fit and proper test itu sudah usai. Komisi III DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kapolri. Hebatnya, keputusan itu diambil secara aklamasi. Ketua Komisi III, Azis Syamsudin, adalah politisi Partai Golkar. Budi Gunawan disorongkan PDI Perjuangan, sebagai partai yang berkuasa saat ini. Begitulah cara para elit politik mempertontonkan persekongkolan politik kepada publik. Calonnya tunggal, dipilihnya aklamasi.
Wakil Presiden Adam Malik pernah berkata, semua bisa diatur. Presiden Abdurrahman Wahid pernah berujar, gitu aja kok repot. Di tahun 2001, Megawati Soekarnoputri dengan PDI Perjuangan bersama Akbar Tanjung dengan Partai Golkar, mengatur penggusuran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari kursi Presiden. Maka, jadilah Megawati sebagai perempuan pertama Indonesia yang menduduki kursi Presiden. Ia dilantik pada Senin, 23 Juli 2001, dengan Hamzah Haz sebagai wakil.
Penggusuran Gus Dur itu dilakukan PDI Perjuangan bersama Partai Golkar dengan mekanisme Sidang Istimewa. Posisi Megawati saat itu adalah Wakil Presiden. Gus Dur dan Mega dilantik pada Rabu, 20 Oktober 1999. Gus Dur merupakan Presiden RI ke-4, setelah lengsernya B.J Habibie. Teten Masduki yang kala itu menjadi koordinator Indonesia Corruption Watch, dalam risalahnya Prospek Korupsi di Era Megawati, yang dipublikasikan Rabu, 8 Agustus 2001, menyebut penggusuran Gus Dur itu sebagai impeachment.
Alasan utama yang dijadikan dasar impeachment, karena Gus Dur dinilai menabrak konstitusi yang diawali sejumlah tudingan terhadap Gus Dur yang diduga terlibat korupsi dalam kasus Bulog dan Brunei. Gus Dur tidak ditetapkan sebagai tersangka. Kasus korupsi itu sendiri, hingga saat ini, tidak pernah disidangkan di pengadilan. Meski demikian, PDI Perjuangan dan Partai Golkar bersekongkol menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Kolaborasi Merah-Kuning
Aksi kolaborasi Merah-Kuning itu nampaknya kembali berulang. Tapi, dengan situasi dan kondisi yang sebaliknya. Bila dulu Gus Dur digulingkan karena dituding korupsi, kini Budi Gunawan yang sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi, diusung rame-rame untuk menjadi Kapolri. Politik memang kerap berulang, bahkan seringkali berulang-ulang.
Terkait dengan penggulingan Gus Dur waktu itu, ada alasan lain yang digelembungkan kubu Megawati saat itu yakni tentang moralitas politik, yang pemerintah semestinya menampilkan pemerintahan yang bersih dan respek terhadap pemberantasan korupsi. Dengan kebulatan tekad mengusung Budi Gunawan sebagai Kapolri, yang sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi, entah di mana posisi moralitas politik itu kini.
Entah di mana pula ditempatkan komponen respek terhadap pemberantasan korupsi. Situasi legislatif-eksekutif-yudikatif saat ini seakan menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi berada di luar sistem pemerintahan. Padahal, KPK adalah salah satu komponen penting di sebuah negara, agar hak-hak rakyat tak dirampas semena-mena oleh para politisi.
Juga, oleh para penegak hukum, yang seharusnya berfungsi menegakkan keadilan. Maka, laporan media tentang Rekening Gendut sejumlah perwira polisi, yang telah menyeret Budi Gunawan, yang kemudian ditetapkan KPK sebagai tersangka, hendaknya disikapi sebagai proses untuk meningkatkan performa institusi tersebut. Sayangnya, para politisi justru bersekutu dengan mengadakan perlawanan terhadap upaya KPK memberantas korupsi.
Integritas Samad, Independensi KPK
Tidak dilibatkannya KPK dalam proses seleksi calon Kapolri Budi Gunawan oleh Istana dan PDI Perjuangan, telah mengundang banyak spekulasi. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, kian menambah maraknya spekulasi. Apalagi, Komisi III DPR RI yang diketuai Azis Syamsudin, politisi Partai Golkar, tetap menggelar fit and proper test, meski Budi Gunawan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, kondisi tersebut tentulah memprihatinkan. Sepertinya, politisi menyikapi KPK sebagai institusi yang mengganjal kekuasaan mereka. Padahal, Abraham Samad dan KPK yang dipimpinnya, senantiasa membuka diri untuk berhubungan dengan partai politik. Pada Rapimnas PDIP di Ancol, Jakarta Utara, Minggu, 8 September 2013, misalnya. Abraham hadir untuk memberikan edukasi antikorupsi kepada kader PDIP yang hadir di sana. Sebelumnya, Abraham juga hadir dalam kegiatan pembekalan calon anggota legislatif PDIP di Jakarta, 3 Juli 2013.
Kehadiran Samad tersebut sempat menjadi gunjingan sejumlah elemen masyarakat, yang mempertanyakan integritas Samad. Ada juga yang meragukan netralitas Samad. Dengan apa yang terjadi kini, publik bisa melihat, Abraham Samad dan KPK yang dipimpinnya, tetap bisa menjaga integritasnya serta menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Independensi KPK pun masih mampu mereka jaga.
Salah satu hal yang diungkapkan Abraham Samad dalam Rapimnas PDIP di Ancol waktu itu adalah tentang Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang rendah, peringkat 118 dari 180 negara. Ia berkata, CPI yang rendah itu bisa diubah dengan perbaikan pelayanan umum. Di sejumlah kantor polisi, kerap dipajang spanduk Kami Siap Membantu Anda.
Jakarta, 15-01-2015