Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Istana Negara = Istana PDI Perjuangan

26 Januari 2015   19:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 623 8

Di Istana, ada Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM). Juga, ada Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, mantan dosen Universitas Indonesia (UI). Mereka akademisi yang kini jadi politisi, di posisi Ring-1 Presiden Joko Widodo. Karena masukan dari mereka kah Presiden jadi blunder menyikapi kasus korupsi?


Pratikno boleh dibilang anak kemarin sore di kancah politik praktis. Keterlibatan dan pengalamannya di partai politik, relatif minim. Andi Widjajanto, agak lumayan. Ia sudah agak lama berada di lingkaran dalam PDI-P. Perlu diketahui, Andi Widjajanto adalah putra (alm) Mayjen TNI Theo Syafei.


Harap diingat, Theo Syafei adalah jenderal yang bahu-membahu dengan Megawati untuk menggerakkan PDI Perjuangan. Dalam struktur partai, Theo Syafei pernah menjadi Ketua DPP PDIP. Ia juga rela meninggalkan jabatannya sebagai anggota DPR RI untuk sepenuhnya mengurus PDI Perjuangan bersama Megawati.


Istana PDI Perjuangan


Presiden Joko Widodo adalah Petugas Partai dari PDI Perjuangan. Andi Widjajanto berasal dari lingkaran dalam PDI-P dan putra (alm) Mayjen TNI Theo Syafei, sesepuh PDI-P yang sehati-sejiwa dengan Megawati. Dengan kondisi seperti ini, Istana Negara yang seharusnya mencerminkan kepentingan negara, telah mewujud menjadi Istana PDI Perjuangan, yang lebih memprioritaskan kepentingan partai di atas kepentingan nusa bangsa.


Artinya, kebijakan Istana ya sami mawon dengan pemenuhan kepentingan PDI Perjuangan. Sebagai Ketua Umum PDI-P, dominasi Megawati pada berbagai keputusan Istana, tentulah sesuatu yang tidak terbantahkan. Tanpa hadir secara fisik pun, dominasi itu akan tetap kuat. Meski si mbok serta para kurcaci dari Kandang Banteng berbusa-busa membantahnya, toh rakyat tidak bodoh untuk terus-menerus dibodohi.


Dalam konteks politik partai, keberadaan Joko Widodo tak lebih dari sekadar vote getter, pendulang suara saat Pemilu. Agenda yang akan dijalankan ya agenda partai, dalam hal ini agenda PDI Perjuangan. Pada kasus Budi Gunawan, hal itu jelas terang-benderang. PDI Perjuangan tentu ingin memiliki garis komando di institusi kepolisian, dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kapolri.


Mantan ajudan Megawati itu pada akhirnya juga akan berfungsi sebagai Petugas Partai di sektor kepolisian, sebagaimana halnya Rini Mariani Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara, yang menjadi Petugas Partai di sektor ekonomi. Partai Politik pada hakekatnya kan menjalan Politik Kekuasaan. Dengan menguasai sebanyak mungkin sektor, dengan menempatkan Petugas Partai di sebanyak mungkin sektor, itulah langkah yang ditempuh PDI Perjuangan untuk melanggengkan kekuasaan mereka.










KPK PDI Perjuangan

Salah satu institusi yang strategis di negeri ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK pada Senin (12/1/2015), saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes Polri periode 2004-2006, jelas sekali bahwa di KPK belum ada Petugas Partai dari PDI Perjuangan yang mengamankan agenda serta kebijakan dari Istana PDI Perjuangan.


Maka, berbagai cara melalui sejumlah Petugas Partai yang sudah ada, PDI Perjuangan menggempur KPK. Tindakan yang dilakukan KPK pada kasus Budi Gunawan menunjukkan bahwa KPK telah mengganjal lajunya syahwat kekuasaan PDI Perjuangan. Tak ada jalan lain, KPK harus dilumpuhkan, untuk kemudian dibangun KPK PDI Perjuangan. Bila plan itu terwujud, maka akan ada Petugas Partai di Istana, ada Petugas Partai Ekonomi, ada Petugas Partai di Kepolisian, dan ada juga Petugas Partai di KPK.


Apakah ini berarti PDI Perjuangan akan menjalankan pemerintahan yang bersih? Pemerintahan yang akan mengikis praktek korupsi? Mari kita lihat praktek korupsi di era Megawati menjadi Presiden, 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2003. Kwik Kian Gie, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP tahun 2003, mengatakan, jumlah korupsi yang dilakukan PDI Perjuangan, merupakan yang terbesar, dibandingkan dengan partai lainnya.


“Mungkin sudah sampai pada puncaknya, sehingga Kwik perlu menyatakan hal itu secara terbuka,” kata Haryanto Taslam, salah satu anggota PDI Perjuangan, kepada Tempo News Room di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (19/2/2003). Kemudian, pada tahun 2010, ketika 18 anggota Fraksi PDIP periode 2004-2009 diduga menerima travel cek dalam kaitan pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, Kwik Kian Gie mempertegas kembali pernyataannya.


”Kalau saya ditanya, apakah heran atau tidak. Saya jawab, tidak heran, karena banyak koruptor di PDIP,” kata Kwik Kian Gie yang juga pernah menjabat Ketua Litbang PDI Perjuangan di Jakarta, Senin, 15 Maret 2010. Apa yang dikemukakan Kwik Kian Gie, dihubungkan dengan sikap Petugas Partai dari PDI Perjuangan di Istana terhadap kasus Budi Gunawan, setidaknya memberikan gambaran kepada publik terkait gempuran terhadap KPK belakangan ini.










Kuliah untuk Petugas Partai

Pada Selasa, 09 Desember 2014, Petugas Partai di Istana memberikan kuliah umum tentang Prioritas Pembangunan kepada sejumlah mahasiswa UGM di Balai Senat UGM, Yogyakarta. Pada hari itu juga, Petugas Partai di Istana menghadiri acara peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di Gedung Seni Sono, Istana Kepresidenan Yogyakarta. Selanjutnya, di hari yang sama, Petugas Partai di Istana menghadiri perayaan Hari Antikorupsi Sedunia di Graha Sabha Pramana atau sering disingkat GSP, salah satu gedung kebanggan warga UGM.


Kemarin, Minggu, 25 Januari 2015, di Balairung Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengkritik pandangan Presiden Joko Widodo, yang menyamakan posisi korupsi yang menjerat Komisaris Jenderal Budi Gunawan dengan kriminalisasi terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto (BW).


Menurut Zainal, dua kasus tersebut, jauh berbeda kedudukannya. "Kasus yang dialami BW mirip di negara korup lain, yakni menjadi korban serangan balik dari koruptor di lembaga negara atau pemilik kekuasaan," kata Zainal Arifin Mochtar dan puluhan dosen dari 10 kampus negeri dan swasta di Yogyakarta, yang berkumpul di Balairung Gedung Pusat UGM. Mereka mendesak Jokowi untuk segera meredam aksi pelemahan KPK.


Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Purwo Santoso, yang juga hadir di sana, mengingatkan, "KPK selama ini kuat karena dipercaya oleh rakyat, jangan sampai itu runtuh di masa pemerintahan Jokowi." Barangkali kuliah tentang korupsi itu didengar oleh Petugas Partai di Istana, barangkali juga tidak. Setidaknya, kalangan akademisi dan juga rakyat, sudah mencoba mengingatkan. Tapi, kekuasaan memang menggiurkan, juga memabukkan.


Jakarta, 26-01-2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun