Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Pak Tjip dan Bu Tjip dalam Rasa Thamrin Sonata

3 Februari 2015   00:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55 79 6

Pak Tjip adalah kita dan Bu Tjip bagian dari kita. Thamrin Sonata kemudian menyatukan mereka dalam dua buku: Beranda Rasa dan Penjaga Rasa. Inilah hakekat Kompasiana yang sesungguhnya: menjadi wadah kreativitas menulis, sekaligus memacu spirit untuk berkreasi bersama-sama.


Menulis memang aktivitas individual, yang memungkinkan tiap penulis leluasa memilih sudut pandang yang diinginkan. Karena itulah, suatu topik bisa ditulis puluhan, bahkan ratusan Kompasianer, dengan beragam sudut pandang. Juga, dengan aneka ragam style penulisan. Ini tentu saja menggembirakan, karena keberadaan Kompasiana telah turut menjaga serta merawat keberagaman.


Membidik Celah Kreativitas


Pak Tjip, sebagaimana kita kenal, adalah Tjiptadinata Effendi. Rentetan tulisannya di Kompasiana, pada dasarnya sudah mencerminkan keragaman. Kisah hidupnya yang sangat panjang serta pergulatan kesehariannya yang mencengangkan, telah menjadi gumpalan inspirasi yang mengagumkan. Barangkali, banyak orang yang juga telah mengalami pergulatan hidup melebihi Pak Tjip, tapi hanya segelintir yang menuliskannya.


Demikian pula halnya dengan Kompasianer. Sangat banyak Kompasianer yang telah membaca kisah hidup Pak Tjip. Banyak yang terkagum-kagum, juga banyak yang tercengang. Banyak pula yang telah menetapkan tekad dalam hati, ingin produktif menulis seperti Pak Tjip. Tekad yang positif tentunya dan ruang Kompasiana sangat memungkinkan untuk mewujudkan tekad tersebut.


Tapi, Thamrin Sonata melihat celah yang lain, yang berbeda dengan sudut pandang Kompasianer yang lain. Ia terinspirasi untuk membukukan sejumlah tulisan Pak Tjip. Karena Thamrin adalah salah seorang Kompasianer yang tekun mengikuti tulisan-tulisan Pak Tjip, maka ia leluasa mengkategorikan, berdasarkan tema yang ia inginkan dari 923 tulisan Pak Tjip di Kompasiana.


Jumlah 923 tulisan itu, tertera di laman Kompasiana Pak Tjip, saat tulisan ini ditulis. Pak Tjip sendiri menjadi Kompasianer sejak 15 Oktober 2012. Rentang waktu dan jumlah tulisan itu, sesungguhnya sudah cukup menggambarkan tingkat produktivitas Pak Tjip dalam menulis. Banyaknya tulisan serta luasnya keragaman dari tulisan Pak Tjip, tentu bukan hal yang mudah untuk memilih tema yang tepat untuk dibukukan.


Thamrin Sonata terbantu oleh ketekunannya mengikuti tulisan Pak Tjip selama ini. Maka, terbitlah Beranda Rasa pada 22 November 2014, bertepatan dengan digelarnya ajang Kompasianival 2014 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dalam hitungan pekan, pada Januari 2015, Beranda Rasa sudah dicetak ulang, memasuki cetakan kedua.






Suka-cita dengan Kreativitas

Capaian Beranda Rasa langsung disambut Bu Tjip, Roselina Tjiptadinata, dengan lompatan kreativitas. Bu Tjip pun tergerak untuk membukukan sejumlah tulisannya, dari 158 tulisan yang telah tayang di Kompasiana. Ia sendiri sudah menjadi Kompasianer sejak 12 Januari 2013. Dari sisi produktivitas menulis, memang bukan pada tempatnya untuk dibandingkan dengan Pak Tjip. Namun, dalam hal sensitivitasnya mengeksplorasi tema tulisan, Roselina Tjiptadinata relatif berimbang dengan Pak Tjip.


Ada sejumlah pendapat yang menjelaskan tentang perbedaan pria dan wanita dalam menulis. Pada 11-12 Oktober 2014 lalu, komunitas yang menamakan diri Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) menggelar acara Temu Penulis Perempuan Indonesia 2014 di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Acara itu sendiri dihadiri sejumlah penulis perempuan. Komunitas yang berdiri sejak 22 Desember 2012 itu adalah organisasi penulis yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tertarik di bidang tulis-menulis, khususnya perempuan.


Yenti Nurhidayat, ketua komunitas tersebut, dalam wawancaranya dengan AlineaTV, menjelaskan bahwa kebanyakan penulis pria menulis tentang perempuan hanya tentang kecantikannya, pujian-pujian, dan segala macam. ”Tapi, biasanya, mereka tidak mampu melihat itu dari perspektif kami, seperti menulis tentang penderitaan perempuan, kesakitannya, pengalaman perempuan melahirkan, membesarkan anak, dan berhadapan dengan harga bahan-bahan pokok yang mahal,” ungkap Yenti Nurhidayat, panjang-lebar.


Dalam konteks perspektif perempuan itulah Roselina Tjiptadinata menyentuh para pembacanya di Kompasiana. Artinya, meskipun Pak Tjip dan Bu Tjip datang bersama-sama ke suatu tempat yang sama atau sama-sama menghadapi situasi-kondisi yang sama, mereka akan menuliskannya dengan perspektif masing-masing. Jadi, tak ada duplikasi dalam tulisan mereka, meski sama-sama tayang di Kompasiana. Sekali lagi, inilah sisi lain dari kreativitas pasangan ini.


Thamrin Pengolah Rasa


Mereka sudah 50 tahun dalam mahligai perkawinan, 2 Januari 1965 - 2 Januari 2015. Pak Tjip dan Bu Tjip baru saja memperingati Ulang Tahun Pernikahan Emas mereka di Jakarta. Kepada para kaum kerabat yang hadir, buku Beranda Rasa diberikan sebagai bagian dari berbagi kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu kian lengkap, dengan terbitnya buku , kumpulan tulisan Roselina Tjiptadinata, pada Februari 2015 ini.


Kedua buku itu Beranda Rasa dan Penjaga Rasa diolah oleh sang pengolah rasa, Thamrin Sonata, dengan Peniti Community. Apa yang dilakukan Thamrin terhadap Pak Tjip dan Bu Tjip adalah bagian dari kesehariannya, yang tiada henti memotivasi para Kompasianer untuk menerbitkan buku. Ia ibarat gerilyawan tulisan, berdiskusi dengan para penulis dengan diselingi humor-humor segarnya.


Adakalanya, ia berada di ruang seminar, memberikan workshop tentang tulis-menulis. Kadang bersama anak-anak sekolah, saat lain bersama para mahasiswa, di kesempatan lain dengan para guru. Kesabarannya menghadapi orang banyak, jadi modal utamanya saat menghadapi para penulis yang masing-masing memiliki karakter unik. Dengan humor segarnya, dengan kisah-kisah serunya, semua bermuara pada kreativitas menulis.


Jakarta, 02-02-2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun