Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Berlinale Film Festival Sebagai Soft Power Diplomacy

12 Februari 2015   02:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 424 11

Untuk sampai ke Bandara Tegel di Berlin, Jerman, dibutuhkan penerbangan yang panjang, sekitar 20 jam dari Jakarta. Tapi, kisruh di Kementerian Pariwisata yang dipimpin Arief Yahya, yang sebelumnya sebagai CEO PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., menjadikan Jakarta-Berlin terasa demikian dekat. Sepenting apakah Berlinale Film Festival bagi Indonesia?


Ketika Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sama sekali tidak men-support keberangkatan kedua film tersebut ke Berlinale, kita bisa menyimpulkan bahwa Kemenpar tidak paham pentingnya industri kreatif, khususnya di bidang film. Ketika delegasi Kemenpar ke Berlinale tidak memasukkan Wregas Bhanuteja dan Loeloe Hendra dalam tim, kita tahu ada skandal di Kemenpar.


Pintu Korupsi di Kemenpar


Ketika Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kemenpar, Armein Firmansyah, yang menjadi Ketua Delegasi untuk menghadiri Berlinale 2015, tidak melakukan tender terkait program tersebut, kita mengerti ada upaya patgulipat di Kemenpar. Ketika ada pengajuan dana dari Armein Firmansyah sebesar Rp 1,5 miliar untuk kebutuhan delegasi, tanpa didukung dokumen tender, ini pertanda tindak korupsi.


Karena dana tersebut belum cair, Armein Firmansyah berani menggunakan dana pihak ketiga sebagai dana talangan, yang kemudian akan dilunasi setelah dana dari Kemenpar cair. Keberanian Armein Firmansyah tersebut merupakan indikasi bahwa Skandal Berlinale danpatgulipat anggaran di Kemenpar, bukanlah sesuatu yang baru dan bukan pula baru kali ini terjadi.


Jika sutradara Joko Anwar tidak berkicau di akun Twitternya, dengan melampirkan salinan dokumen dari Kemenpar berisi nama-nama delegasi yang diberangkatkan, yang dinilainya tidak kompeten, mungkin patgulipat anggaran di Kemenpar tak kan terkuak ke publik. Artinya, tindak korupsi di Kemenpar akan berjalan mulus di balik layar.


Dengan dan atas nama Berlinale 2015, para pejabat Kemenpar beserta kolega akan leluasa pelesiran di Jerman, menghambur-hamburkan uang rakyat. Menyikapi situasi tersebut, Menpar Arief Yahya bertindak cepat dan tegas: Armein Firmansyah dicopot dari jabatannya dan keberangkatan delegasi ke Festival Film Berlin 2015 dibatalkan.


Bagi Nia Dinata dan Joko Anwar, juga bagi para sineas lainnya, pencopotan itu bukan hasil akhir, tapi justru sebuah permulaan untuk mengevaluasi serta merancang mekanisme yang transparan terkait kehadiran para pekerja kreatif, khususnya para sineas, ke berbagai ajang festival film internasional.


“Transparansi itu diperlukan, agar delegasi yang diberangkatkan adalah orang-orang yang kompeten. Jumlah orang dan anggaran yang dikeluarkan, juga harus efektif. Kemenpar kan menggunakan uang negara, hasilnya juga harus terukur, agar memberi kontribusi positif pada pariwisata Indonesia dan perfilman nasional,” papar Nia Dinata dalam diskusi dengan kompasianer melalui KompasianaTV, Senin, 9 Februari 2015.














Kemenpar Nistakan Sineas

Di beberapa kesempatan, Armein Firmansyah terus berupaya cuci tangan. Dalam pertemuan dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) di Gedung Film, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Rabu (4/2/2015), misalnya. Di pertemuan yang dipimpin Kemala Atmojo, selaku Ketua BPI, Armien Firmansyah mengatakan bahwa untuk biaya pra-operasi delegasi selama ini, ia tidak menggunakan uang negara tapi uang dari pihak event organizer (EO).


Tentang 10 nama tim delegasi yang mengatasnamakan profesi sineas tersebut, Armien menerangkan, awalnya Kemenpar hanya ingin mengikuti European Film Market untuk mempromosikan film-film Indonesia. Karena itu, delegasi yang dikirim lebih banyak dari EO dan Kemenpar. Untuk memperlancar pengurusan visa, ia menyebut pekerjaan mereka sebagai aktris, aktor, maupun pengamat film.


Makin sering Armein Firmansyah berupaya cuci tangan, makin terkuak pula, betapa demikian banyaknya ketidakberesan, patgulipat anggaran, manipulasi data, serta indikasi korupsi di Kementerian Pariwisata. Alangkah teganya Kemenpar menistakan profesi para sineas. Padahal, para sineas, baik secara individu, maupun secara kelompok, telah memberikan kontribusi positif pada Kemenpar, dalam konteks melakukan eksplorasi kreatif terhadap budaya dan pariwisata lokal, kemudian mengkomunikasikannya ke dunia internasional.


Semua itu dilakukan para sineas secara sukarela, tanpa dukungan dana dari Kemenpar. Para sineas menekuni semua itu sebagai bagian dari kerja kreatif, bukan sebagai proyek yang penuh rekayasa seperti di Kemenpar. Dengan kata lain, sesungguhnya Kemenpar sudah memetik banyak manfaat dari apa yang sudah dilakukan para sineas, tanpa Kemenpar mengucurkan dana. Seharusnya, Kemenpar men-support para sineas, bukan menistakan profesi mereka.














Berlinale, Soft Diplomacy

Berlinale Film Festival di Berlin, bukanlah ajang sembarangan. Alangkah teganya Kemenpar mengirim delegasi abal-abal yang tidak kompeten, dengan mengatasnamakan profesi sineas. Berlinale ini sudah diselenggarakan sejak tahun 1951 dan menjadi salah satu barometer festival film dunia. Tahun 2015 ini merupakan tahun ke-65 Berlinale. Ajang tahunan para insan dan penggemar film dunia tersebut, selalu dipadati pengunjung.


Tidak kurang dari 19.000 insan film dan 4.000 jurnalis dari 120 negara, serta 230.000 penonton hadir di sana. Untuk menjaga kualitas festival tersebut, panitia hanya menayangkan film-film yang memenuhi kualifikasi saja. Maka, keberadaan sineas Indonesia dan karya mereka di sana, adalah sebuah kehormatan bagi Indonesia, untuk tampil di forum dunia.


Tahun ini, film Lembusura karya Wregas Bhanuteja di kategori Berlinale Shorts, akan berkompetisi dengan 27 film pendek lain dari 18 negara, termasuk dari Amerika Serikat, India, Perancis, Jerman, Swedia, Spanyol, Austria, Brasil, dan Jepang. Sementara, film Onomastika, garapan Loeloe Hendra di kategori Generation akan bersaing dengan 65 film dari 35 negara.


Di Berlinale Film Festival tahun 2012, film Postcards from the Zoo yang disutradarai Edwin, berhasil masuk dalam sesi Kompetisi Utama di International Competition Berlinale. Untuk menunjukkan suka cita atas prestasi tersebut, Duta Besar RI di Berlin masa itu, Dr. Eddy Pratomo, mengadakan jamuan cocktail bertajuk Indonesia Cinema Night.


Dubes Eddy Pratomo memberikan selamat kepada semua Sineas Indonesia yang telah ikut menggaungkan nama Indonesia di Jerman khususnya, dan kepada dunia umumnya. Dalam kesempatan tersebut, Eddy Pratomo mengatakan, film dapat menjadi sarana diplomasi yaitu soft power diplomacy, di mana secara tidak langsung, masyarakat dunia dapat lebih mengenal Indonesia seperti yang diceritakan dalam film-film tersebut.


Tak hanya sampai di situ. Eddy Pratomo meyakinkan segenap insan film yang hadir kala itu, yang terdiri dari para sutradara internasional, distributor, serta pemain film dari berbagai negara, bahwa alam Indonesia yang indah, sangatlah tepat untuk dijadikan tempat shooting film-film internasional.


Jakarta, 11-02-2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun