Karena, ketersediaan minyak dan gas (Migas), yang menjadi sumber energi, terbatas. Karena, untuk mendapatkan Migas dalam perut bumi, perlu investasi yang mahal serta butuh waktu yang lama. Realitasnya, kebutuhan energi meningkat pesat, sementara ketersediaan Migas cenderung menurun. Bagaimana menyiasatinya?
Itulah yang didiskusikan 50 lebih Kompasianer dengan Rudianto Rimbono, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Joang Laksanto, Vice President Development & Relations ConocoPhillips, sejak pagi hingga siang pada Sabtu (14/2/2015) di Pisa Kafe, Jl. Mahakam, Jakarta Selatan.
Diskusi ini memang bukan ditujukan untuk mencetak para Kompasianer menjadi ahli Migas, tapi untuk menambah pemahaman tentang realitas di area hulu Migas. Karena itulah, diskusi Kompasiana Nangkring tersebut dikemas dalam tema Membedah Industri Hulu Migas. Kenapa hulu? Karena, di area hulu Migas inilah proses awal pencarian atau eksplorasi sumber Migas serta proses pengambilan atau eksploitasi Migas dari perut bumi berlangsung.
Hulu Migas, Sumber Migas
Makna dasar dari hulu adalah permulaan, pangkal, dan awal. Dalam konteks ini, SKK Migas adalah institusi yang berada di hulu seluruh aktivitas industri Migas. Secara operasional, SKK Migas bertugas sebagai pengawas dan pengendali usaha hulu minyak dan gas di Indonesia, sejak dari eksplorasi hingga eksploitasi.
Sebelum memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi, SKK Migas menyelenggarakan tender bagi perusahaan yang hendak melakukan kegiatan usaha di hulu Migas. Inilah titik-awal di industri Migas, yang sangat penuh resiko. Karena, membutuhkan modal yang sangat besar, juga memakan waktu yang sangat lama.
Kilang gas alam cair Tangguh, misalnya. Kilang ini berada di Teluk Bintuni, di leher kepala burung Papua. Area kilang tersebut meliputi 400 hektar, dikelilingi hutan negara seluas 3.300 hektar. Setelah melakukan eksplorasi yang cukup lama, akhirnya ditemukan kandungan Migas di sana. Sejak ditemukan adanya kandungan Migas tahun 1990, kilang Tangguh tersebut baru mulai menghasilkan gas tahun 2006.
Ya, memakan waktu sekitar 16 tahun lamanya proses eksplorasi dan eksploitasi, hingga kilang Tangguh menghasilkan gas. Pembangunan kilang tersebut menghabiskan dana USD 5 miliar, dengan dana pembangunan fasilitas senilai USD 2,1 miliar. Bila ditotal, dana yang diinvestasikan kilang Tangguh sekitar USD 7 miliar, yang kalau dikurskan dengan kurs Rp 12.500,- menjadi Rp 87,500,000,000,000,-
Waktu 16 tahun dan dana Rp 87,500,000,000,000,- tentulah bukan sesuatu yang mudah dan murah. Tangguh ini dikelola oleh perusahaan gas asal Inggris, British Petroleum (BP). Itulah salah satu contoh industri di hulu Migas, yang dengan jelas menunjukkan, betapa dibutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit untuk mendapatkan Migas.
Resiko Tinggi, Hasil Tinggi
Ada prinsip di dunia bisnis: no risk, no gain. Resiko yang ditempuh sejumlah industri di hulu Migas, dengan menginvestasikan waktu dan dana yang tidak sedikit, tentulah untuk meraih keuntungan. Kilang Tangguh adalah contoh investasi di hulu Migas, yang sukses meraih keuntungan. Yang rugi tentu juga ada.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sepanjang 2009 hingga 2013, setidaknya ada 12 industri Migas asing yang berinvestasi di hulu Migas yang mengalami kerugian. Total kerugian mereka hingga US$ 1,9 miliar atau Rp 23,750,000,000,000 di 16 blok eksplorasi di laut dalam. Kerugian tersebut terjadi karena mereka gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis.
Siapa yang menanggung kerugian tersebut? Ya, mereka, para industri Migas asing tersebut. Mereka yang berinvestasi, mereka pulalah yang menanggung kerugian. Secara operasional, SKK Migas bertugas sebagai pengawas dan pengendali usaha hulu minyak dan gas di Indonesia, sejak dari eksplorasi hingga eksploitasi. SKK Migas sama sekali tidak turut berinvestasi, juga tidak turut menanggung kerugian tersebut.
Meski demikian, sebagai institusi yang mengelola investasi di hulu minyak dan gas, SKK Migas tentulah tak ingin mereka merugi. Karena, bila investor untung, negara pun akan diuntungkan, hingga kebutuhan masyarakat akan Migas bisa terpenuhi. Kesenjangan antara pasokan Migas dalam negeri dengan kebutuhan domestik, memang belum terlalu jauh. Tapi, mengingat pesatnya pertumbuhan kelas menengah, kesenjangan itu bisa dengan cepat menganga. Dan, semua itu menjadi dasar, kenapa kita harus hemat energi.
Bagaimana bila sukses seperti yang diraih British Petroleum (BP) di kilang Tangguh? Nah, inilah yang disebut masa panen tiba. SKK Migas, sebelum proses eksplorasi dan eksploitasi dieksekusi, mengikat kontrak dengan tiap industri yang akan menjalankan aktivitas bisnis di hulu Migas. Kontrak tersebut disepakati kedua pihak, yang isinya, antara lain, menyangkut skema bagi hasil.
Skema bagi hasil itu mengacu pada Undang-undang tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Salah satu rinciannya, produksi kilang Migas tersebut akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang sudah dikeluarkan oleh investor yang bersangkutan, cost recovery. Hasil pengurangan tersebut, yang boleh dibilang sebagai hasil bersih, itulah yang dibagi antara pengelola kilang dengan pemerintah, sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
Hulu Migas, Bank Bernafas
Industri hulu Migas bukan hanya mendatangkan keuntungan kepada pemerintah dalam bentuk bagi hasil panen Migas. Sebelum masa panen, apalagi setelah masa panen, industri hulu Migas sudah mengalirkan keuntungan kepada pemerintah. Salah satunya dalam bentuk pajak Migas. Sejak industri hulu Migas menandatangani kontak kerja dengan SKK Migas, maka industri yang bersangkutan memiliki sejumlah kewajiban pajak yang harus mereka bayarkan kepada negara.
Antara lain, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) migas, dan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Sejumlah kewajiban pajak tersebut adalah konsekuensi dari aktivitas bisnis. Sekali lagi: no risk, no gain. Dengan kata lain, bisa jadi sebuah industri di hulu Migas gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis, tapi pemerintah sesungguhnya tetap diuntungkan dengan perolehan pajak yang dibayarkan industri tersebut.
Yang juga meraih keuntungan dari industri hulu Migas adalah industri perbankan. Sejak 2008, SKK Migas mewajibkan transaksi pembayaran pengadaan barang dan jasa, melalui perbankan nasional. Dalam hal ini adalah bank pemerintah, seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pasca kebijakan tersebut, tahun 2009, tercatat transaksi sebesar US$ 3,97 miliar. Tahun 2013, hampir menyentuh angka US$ 8 miliar.
Selain itu, SKK Migas juga mewajibkan industri hulu Migas menyimpan dana cadangan untuk pemulihan kondisi lapangan setelah operasi (Abandonment and Site Restoration/ASR) di bank pemerintah. Hingga 31 Januari 2014, penempatan dana ASR yang disimpan di bank pemerintah, mencapai US$ 501 juta. Gelontoran dana dari industri hulu Migas tersebut, tentu saja merupakan darah segar bagi sejumlah bank pemerintah, hingga mereka lebih leluasa bernafas.
Efek dominonya adalah, bank pemerintah tersebut menggulirkan dana itu dalam bentuk kredit ke berbagai sektor industri. Antara lain, ke sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Aliran dana dari industri hulu Migas kepada pemerintah dalam bentuk pajak serta ke bank pemerintah dalam bentuk simpanan, setidaknya memberikan gambaran wujud kontribusi SKK Migas terhadap masyarakat secara luas. Di samping kontribusi utamanya sebagai pengelola industri penghasil minyak dan gas bumi.
Jakarta, 16-02-2015
#skkmigas #industrihulumigas #hulumigas #migas #energi