Pengalaman dipalak justru jauh di Durban, Afrika Selatan, kota tempat penyelenggaraan FIFA World Club tahun depan. Saya melakukan perjalanan ke Durban Agustus 2009, untuk mempresentasikan paper saya di suatu symposium. Sebenarnya panitia sudah wanti-wanti kepada peserta untuk tidak berjalan kaki sendirian di Durban. Tiba di hotel, salah satu dari daftar pesan yang dibuat oleh organizer dan diteruskan oleh front office hotel ke peserta adalah: “ As South Africa is a developing country, crime does exist, so we would advise you to take a few basic precautions bla bla bla Public transport is available in South Africa so there is no need to hitch-hike bla bla bla…” Kota apa ini? Kok jalan kaki di tengah kota saja tidak aman? Ini mah lebih parah dari Pasar Senen! Inikah kota penyelenggara World Cup 2010? Dari pada mendapat masalah, saya terpaksa mematuhi pesan panitia walaupun harus mengorbankan hobi saya berjalan kaki.
Hari pertama, masalah timbul. Laptop saya kehabisan energi, sementara charger laptop tidak cocok dengan stop kontak di sana. Socket adaptor yang saya bawa juga tidak membantu. Adaptor yang disediakan hotel tempat saya menginap, juga tidak ada yang cocok. Padahal power point untuk presentasi belum jadi. Ini memang penyakit kronis, kalau belum deadline otak saya belum bisa efektif bekerja, selalu pakai jurus andalan waktu sekolah: Sistem Kebut Semalam. Saya bertanya kepada keamanan Durban Convention Centre, dimana saya bisa membeli socket adaptor? Mereka menunjuk ke Workshop Shopping Centre, Cuma sekitar 250an meter dari convention centre. Tapi mereka tidak merekomendasikan saya untuk berjalan kaki sendirian ke sana. Taxi? Nggak banget, cuma 250m kok naik taxi. Saya nekad saja jalan kaki sendiri.
Hampir saja sampai shopping centre, saya didekati oleh preman, dia minta uang…money!..money!… dengan gerakan mengancam bahkan tangannya berusaha merebut dompet dari kantong celana saya. Saya ingat pesan dari panitia: "should you be confronted by an armed individual - immediately comply, avoid making sudden movements, and do not offer any form of resistance. Any hesitation on your part could be perceived as a threat and may result in unnecessary violence". Kali ini saya sadar, saya tidak berhadapan dengan tukang palak Sumatera. Saya berusaha tenang sambil berdoa, dan untung saja ada SATPAM pusat perbelanjaan yang melihat dari kejauhan dan datang membantu saya. Preman yang memalak saya langsung ngibrit. Alhamdulillah.
Saya jengkel juga dengan Durban. Tapi saya harus mengapresiasi panitia, termasuk pihak keamanan convention centre yang dengan detail memberikan petunjuk keamanan kepada tamu asing. Saya ingat kejadian Desember 2004, ketika bertugas sebagai panitia suatu pertemuan internasional di Denpasar, harus menanggung malu, karena tamu kami dari Malaysia kehilangan sepatu di Masjid saat shalat Jum’at. Kami memergoki si tamu berjalan nyeker pulang dari Masjid ke hotel ”kasut saya dicuri orang!”. Padahal itu tidak akan terjadi kalau panitia mengingatkan peserta secara rinci. Hal kecil yang penting untuk menjadi pelajaran.