Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Gerobak Bakso

12 Oktober 2010   00:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30 222 0
Tatkala suatu beban yang sangat berat mulai ku pikul, Menghidupi keluarga dan membiayai adik-adikku untuk mengejar cita-citanya tiada pilihan yang harus ku pilih melainkan bekerja ,bekerja dan teru bekerja .Aku hanyaLah anak yang masih ingin merunduk ketika aku menghadapi orang yang sudah lama memegang perut dan duduk dihadapanku.

Sore ini, setelah semuanya sudah siap akupun segera berangkat ketempat biasa bapak mangkal berjualan jualan bakso.

"Buk..... pamit dulu". Sambil Kucium tangan beliau.

"Iya...lee... hati-hati, pulangnya nda'usah malam-malam seperti kemarin.

"Nggeehh bu....

Setelah itupun aku segera mendorong gerobak bakso warisan bapak, sekarang gerobak ini aku yang mendorong, padahal baru kemarin rasanya aku meninggalkan keluargaku untuk mondok disalah satu pesantren dibanyuwangi, dan ketika tiba-tiba aku dikabari bahwa bapak meninggal setelah solat subuh, akupun kaget dan langsung berpamitan untuk pulang. setahuku bapak tidak pernah mempunyai penyakit parah. Tapi mungkin ini adalah jalan alloh yang harus dijalani dengan sabar dan ikhlas.

Semenjak kepergian bapak, gerobak bakso ini telah lama diam membisu dipojok rumah, ibu yang merasa sangat kehilangan hanya bisa menangis disetiap habis solat, dua adik perempuanku masih kecil dan harus tetap sekolah.

Setelah tiga bulan bapak meninggal, kesedihan ibu tak juga menghilang dari hatinya, walaupun sakarang aku dirumah bersama adik-adikku, tapi kehadiran kami sepertinya tidak juga mampu menghibur beliau, sekarang ibu juga sering sakit-sakitan, dan setelah aku periksakan ternyata ibu menderita gejala sakit jantung, ibu tidak boleh lagi berfikir berat, mendapatkan kabar buruk atau berada dalam tekanan psikologis, karna itu akan menaikkan tekanan darahnya dan penyakit jantunngnya akan kambuh.

Dalam tekanan hidup yang begitu sangat sulit, aku bukanlah nelayan ulung yang mampu menakhlukkan besarnya ombak. Dalam usiaku yang masih remaja ini dan baru meluluskan sekolah tingkat atasku tahun ini, adalah hal yang sangat berat, tapi aku tidak akan menyerah dalam hidup, aku harus bertahan dan terus berlayar. Untuk menjadi nelayan yang handal tidak saja dibutuhkan ombak tapi juga badai dan topan.

Lia masih kelas satu Tsanawiyyah, sedangkan via masih kelas lima sekolah dasar. Mereka semua masih membutuhkan biaya untuk meraih mimpinya yang panjang.

Aku adalah anak laki-laki satu-satunya, walaupun ibu tidak pernah menyuruhku untuk bekerja, tapi panggilan jiwa menyentakku bahwa aku mempunyai tanggung jawab dari alloh untuk menghidupi keluargaku.

Setelah meminjam uang kepada adik bapak, akupun segera belanja keperluan pembuatan bakso, ibu sudah mengizinkan aku untuk jualan bakso, walaupun beliau tidak bisa membantu aku, ibu hanya memberikan cara-caranya saja dan melihat pekerjaanku membuat bakso.

"Tanganmu bakat buat bakso lee....!!! Kata ibu ketika mencicipi bakso hasil buatanku.

Pekerjaan ini aku jalani dengan lapang dada, dulu bapak berjualan bakso hanya malam saja, sekarang aku berjualan bakso mulai dari pagi sampai jam 9 malam, kebutuhan adik-adikku semakin besar, obat-obat ibu juga sangat mahal.

Dipinggir taman didekat masjid jami' inilah aku sekarang menghabiskan hari-hariku yang tidak terasa begitu cepat berlalu dari pagi menjadi siang, sore dan malam. Cita-citaku untuk kuliah pupus sudah, rencana awalku dulu ketika sehabis lulus SMA akan kuliah sambil bekerja, hanya tinggal angan-angan yang menggantung dijiwaku yang telah tegak berdiri tanpa rasa lagi.

"Mas bakso empat" seorang bapak berkopiah putih yang turun dari mobil inovanya menghampiriku disertai istri dan kedua anak putrinya.

Mari silahkan duduk pak...!!!

Disamping gerobakku, sebuah meja panjang telah aku persiapkan dan delapan kursi plastiknya.

"Sudah lama jualan bakso mas". Tanya bapak itu.

"Belum pak masih dapat dua bulan".jawabku sambil terus menyiapkan bakso.

Usaha sendiri apa punya orang tuanya...?

"Melanjutkan usaha bapak saya pak. Jawabku.

Bapak itu hanya mengangguk-angguk pelan, sementra kulihat kedua anak perempuan bapak itu sedang asik memainkan hp-nya.

Lha bapaknya tidak jualan lagi...mas"?

Bapak saya sudah meninggal pak, saya anak pertama, jadi harus menggantikan bapak, untuk membiayai kedua adik saya yang masih kecil, ibu saya lagi sakit, jadi saya sekarang yang jualan pak". Jawabku panjang lebar untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kesedihakku muncul kepermukaan lagi.

Ooohhh maaf ya dek".

Tidak apa-apa pak, mau minum apa ini...???

Air putih saja.

Setelah mereka selesai makan, bapak itu mendekatiku yang duduk dikursi agak juah dari gerobak untuk memberikan tempat dan agar merasa tidak merasa risih.

Kamipun ngobrol kesan-kemari sambil menunggu istri dan kedua anaknya selesai makan.

"Saya bangga kepada sampean, jangan putus asa, saya doakan semoga menjadi orang sukses nak, tutur bapak dengan usia kira-kira 54 tahun itu.

"Doanya pak, semoga usahanya lancar". Pintaku.

"Ingsaalloh", jangan putus asa, saya senang dengan usahamu nak".

"Mulai dari sekarang bapak akan jadi pelanggan tetapmu... ucap bapak itu sambil tersenyum kepadaku.

"Bapak bekerja dirumah sakit pertamina, jadi sepulang kerja dan sehabis solat asar dimasjid jami' ini bisa mampir kesini.

"TeriMakasih sebelumnya pak".

Bapak itu memberikan uang dua ratus ribu kepadaku.

Waaahh, kelebihan ini pak.

Ndak usah, ndak usah simpan saja semuanya, yang seratus ribu itu untuk adik-adikmu ya. Kemudian bapak itu berpamitan, akupun menghantarnya hingga didepan mobil mewahnya.

Alhmadullah, ya... robb kau telah memberiku rizqiMu, lumayan fikirku, untuk membelikan baju sekolah buat adik-adikku yang sudah lama tidak ganti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun