Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Coretan Dini Hari: Cinta Tak Beralas untuk Kebanggaan

25 November 2014   21:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:52 117 0
Selalu ada kalimat-kalimat pembakar semangat ketika saya membuka media sosial berlogo burung itu. Selalu dari orang-orang yang sama, mereka yang telah bejuang dari bawah, dari nol bersama-sama dan hingga kini mereka masih bersama dalam kecintaan yang telah dipupuk sejak bertahun silam.

Mereka adalah panutan bagi saya yang masih “kecil” ini, yang masih belajar untuk tahu bagaimana cinta itu harus dibuktikan, bagaimana kerasnya berjuang mempertahankan apa yang kamu cinta, dan bagaimana menghadapi cacian dan cibiran yang suatu saat akan saya dapat.

Saya bukannya tidak tahu ada orang yang membicarakan saya dibelakang saya karena pilihan saya ini. Terutama karena  latar belakang pendidikan saya sekarang ini. Seorang mahasiswi universitas berbasis agama yang seharusnya seperti itu. Tidak perlu saya paparkan panjang lebar, kan, yang seperti apa? Pasti kalian sudah tahu yang saya maksud. J

Awalnya saya tidak sebebas ini. Kepada orang tua, saya masih menutupi aktivitas baru saya yang belum pernah dilakukan anggota keluarga saya. Tapi, seiring berjalannya waktu, kedua orang tua saya mengetahui aktivitas saya tersebut. Alhamdulillah, keduanya tidak melarang kegiatan saya tersebut.

Terima kasih kepada teman-teman baru saya yang sampai sekarang mengajarkan pada saya apa itu cinta. Cinta itu pengorbanan, cinta itu ketidaksanggupan melihat dia yang kita cinta menderita. Terima kasih kepada Tuhan yang telah menakdirkan saya merasakan usia 18 tahun yang penuh cinta dan pengalaman baru. Terima kasih kepada mereka yang menerima saya dengan tangan terbuka dan mengajarkan pada saya bagaimana saya harus bersikap disini.

Dalam delapan belas tahun hidup saya, saya hanya menjalaninya dengan datar, monoton. Hanya sekolah, pulang ke rumah, mengerjakan tugas, dan terkadang bermain dengan beberapa teman. Meski ada kegiatan yang saya lakukan karena kewajiban dan kesenangan, seperti menjadi anggota Paskibra, anggota OSIS, dan bermain bulutangkis, tapi itu tidak menimbulkan kecintaan seperti ini bagi saya.

Saya memang tipe orang yang menyukai keheningan untuk membiarkan imajinasi saya terpancing keluar, atau dengan menghabiskan beberapa buku ketika saya merasa sunyi. Tapi, ketika usia saya 18 tahun kemarin, saya menemukan sesuatu yang baru bagi saya.

Saya menemukan diri saya mencintai sepakbola.

Bukan sebuah tim yang terkenal di seluruh dunia.

Hanyalah sebuah tim lokal dari daerah yang menjadi tempat saya berpijak dan menghabiskan hidup saya disana.

Hanyalah PSS Sleman, tidak sekelas tim-tim dunia. Bahkan di negaranya sendiri pun tim itu ingin “dibunuh”, dijatuhkan langkahnya, dihilangkan rekam jejaknya, dihapus keberadaannya.

Entah apa yang ada dalam pikiran saya. Banyak teman kuliah saya yang bertanya, “kenapa kamu suka sama PSS, Na? Aneh kamu.”

Yang saya bingungkan adalah, saya tidak tahu jawabannya. Serius.

Sepertinya kalimat “cinta itu tidak membutuhkan alasan” benar adanya. Entah mengapa saya tergila-gila pada tim lokal itu. Karena supporter-nya? Bukan, bukan itu. Supporter tim lokal tersebut hanyalah sebagai tempat saya menimba ilmu tentang cara mencintai tim itu. Cinta itu pembuktian. Cinta itu pengorbanan.

Apa yang dibuktikan? Ya ucapanmu. Bukan hanya tentang kalimat-kalimat yang kamu ucapkan, atau kamu tulis di laman sosial mediamu. Kalimat tentang kebanggaan dan kecintaan yang kamu katakan tidak akan pernah lekang. Caranya?

Dengan pengorbanan. Apa yang dikorbankan? Apapun, yang bisa dan kamu mampu korbankan. Saya sendiri juga belum mengorbankan semuanya bagi tim yang saya sukai itu, karena saya belum mampu mengorbankan apa-apa yang ingin saya korbankan. Sampai sekarang ini, saya masih belajar untuk bisa mengorbankan yang bisa saya korbankan.

Disana bukanlah semata tentang pertemanan. Disana juga tentang perjuangan. Yang dinanti adalah siapa yang tetap bersama di akhir perjuangan ini. Bukan dia yang memulai dari awal, sudah bertahan sejak lama, bertahun, tapi dia berhenti berjuang saat kita didera cobaan tanpa henti.

Ini bukanlah tentang siapa yang lebih dulu memulai. Ini adalah tentang siapa yang tetap berdiri tegak menjulang, berangkulan meski dengan bening air mata, berpegangan meski dengan tangan yang terluka. Ini adalah tentang berjuang bersama sampai akhir, sampai kita sudah benar-benar berakhir.

Hanya sebuah coretan dini hari ketika mata saya belum mau terpejam dan otak saya masih memikirkan hal-hal yang entah akan bagaimana akhirnya. Yang saya bisa lakukan hanya mengeluarkan apa yang berputar dalam pikiran dan berharap coretan-coretan ini bisa membantu saya meluapkan apa yang saya rasa.

Minggu, 23 November 2014. 02.11

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun