Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Memunculkan Eksotisme Malioboro Yang Ramah Bagi Pejalan Kaki

22 Juni 2012   01:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 954 9

Antara Jogja dan Malioboro, seperti kembar siam yang tak terpisahkan. Malioboro adalah nyawa sekaligus raga bagi Jogja. Keduanya bersinergi mewujud sebagai kawasan budaya. Dari waktu ke waktu Malioboro semakin berkembang mengikuti jaman yang terus bergerak dan tumbuh bersama segenap masyarakat Jogja.

Eksotisme Malioboro menyembul diantara riuhnya manusia yang menyesaki. Kehidupan yang tak pernah berhenti di jantung Kota Jogja ini. Memberi harapan bagi berbagai macam manusia dengan atributnya. Pengusaha kaya pemilik modal besar dengan toko-tokonya yang menjulang, pedagang kaki lima yang selalu terhimpit nasib, pedagang asongan, gadis-gadis penjaga toko, karyawan hotel, pegawai negeri, pengamen, sopir taksi, sopir andong, tukang becak, tukang parkir, bakul pasar beringharjo, buruh gendong, hingga pengemis dan juga copet. Berdesakan mereka berebut porsi rejeki yang menghidupi. Malioboro ada untuk menjadi ruang budaya sekaligus ruang ekonomi.

Walikota Jogja Haryadi Suyuti telah berkomitmen untuk memoles wajah Malioboro agar lebih menonjolkan eksotisme sekaligus memunculkan romantisme yang tersimpan.

Dalam waktu dekat ini, Pemkot Jogja akan menata Malioboro untuk memunculkan dan menonjolkan citra Malioboro sebagai kawasan budaya. Pemkot Jogja berniat melakukan rekayasa menuju kawasan jalur lambat yang lebih ramah bagi pejalan kaki.

“Kami akan melakukan rekayasa infrastruktur menuju Malioboro sebagai ikon wisata yang lebih ramah bagi pejalan kaki. Hal ini akan kami lakukan melalui pendekatan rekayasa fisik yang nanti kemudian kami harapkan tumbuh rekayasa perilaku para pengguna Malioboro,” ujar Haryadi.

Banyak hal yang akan ditempuh untuk mendukung hal itu. Saya harapkan dalam waktu dekat semua selesai, targetnya dari ujung utara hingga selatan semua bisa tertata. Pemkot Jogja serius melakukan penataan ini.

Jumlah titik zebra cross yang melintas dari jalur cepat ke jalur lambat di sepanjang jalan Malioboro – A. Yani. Akan ada sekitar 30 zebra cross di jalan sepanjang 1,4 km. Traffic light yang tidak berfungsi, akan dihilangkan. Rambu batas kecepatan maksimal 30 km/jam, warning line akan diaktifkan,dan pemasangan pelikan crossing di depan pasar Beringharjo.

Wajah Malioboro yang eksotis di poros garis imajiner yang membentang sepanjang 1,4 km ini akan lebih dikuatkan dengan memunculkan nilai sebagai kawasan budaya. Benda cagar budaya sebisa mungkin akan dikembalikan bentuk fisik façade, juga akan dilakukan pengecatan ulang agar lebih nampak bersih.

Untuk itu papan reklame yang lebih banyak berkesan sebagai sampah visual akan diatur lebih ketat lagi. Pengaturan reklame pada prinsipnya bertujuan untuk memperlihatkan wajah budaya Malioboro sehingga menambah estetika, selaras dan teratur. Sedangkan rambu-rambu pariwisata berupa pesan-pesan promotif seperti peduli jalan kaki dan kawasan bersih, akan lebih ditonjolkan.

Pada prinsipnya papan reklame tidak boleh menutupi fasad bangunan cagar budaya. Seiring dengan berkurangnya jumlah reklame, untuk mempermudah informasi bagi pengunjung Malioboro, akan kami buat peta toko sebagai petunjuk arah mencari lokasi toko.

Lighting street furnitureakan dilakukan dengan pemasangan tata lighting di kawasan Malioboro ini terutama pada bangunan cagar budaya, jalan dll. Malioboro akan lebih diperbanyak lampu taman hias sorot pohon, modifikasi lampu ini akan membuat Malioboro lebih indah di malam hari. beberapa lampu taman akan kami bongkar dan disisakan lampu antic. Saat ini di sepanjang Malioboro banyak tiang bendera yang kurang berfungsi dengan optimal. Tiang-tiang ini akan dibongkar kecuali beberapa yang ada di depan Gedung Agung.

Mengenai infrastruktur jalan telah dipersiapkan penataan untuk mengoptimalkan jalur lambat agar lebih nyaman akan dilakukan pengaspalan kembali oleh Kimpraswil mulai Pasar Kembang hingga Ngejaman. Pembuatan canstene yang semula lancip menjadi bulat, ini dilakukan oleh BLH, canstene yang ada akan dipotong lebih pendek dan diisi rumput hijau. Diharapkan penataan tahap pertama akan selesai H-10 sebelum lebaran yaitu sampai penggal jalan Dagen. Sedangkan pemasangan batu alam di trotoar akan dilanjutkan kembali mulai dari depan Ramayana hingga titik nol di timur jalan.

Menciptakan malioboro yang nyaman dan hijau agar lebih ramah terhadap pejalan kaki, akan diperbanyak pergola yang ada di pertokoan sepanjang kawasan Malioboro dengan bentuk yang seragam, sehingga lebih rapi dan indah dipandang, juga memaksimalkan fungsinya sebagai penyejuk. Tempat sampah dengan bentuk yang fungsional akan diletakkan di sepanjang jalan.

Menciptakan rasa aman bagi pengunjung akan kami lakukan selain pemasangan CCTV di beberapa titik juga dengan menempatkan pos pengaduan semi permanen di bekas bangunan telpon depan Dinas Pariwisata Propinsi DIY, juga perbaikan papan pengaduan dan informasi wisata di sekitar tempat tersebut.

Malioboro sebagai ruang budaya tetap kita pertahankan dengan memberikan tempat bagi benda-benda seni bhiennale berupa “kaki melangkah” di titik nol, patung naga air di depan Dinas Pariwisata DIY, perbaikan tulisan ‘HONOCOROKO”, dan patung kelinci emas di TKP Malioboro, dan juga kami akan pasang bhiennale permanent FKY “Ayam Jago” di depan Hotel Mutiara.

Menegaskan kembali atmosfer ke-Jogja-an Dinas Parsenibud akan mendorong pelaku Malioboro untuk menggunakan atribut tertentu. Hal ini akan dimulai dengan pencitraan visual melalui seragam JOGOBORO (staf keamanan Malioboro) yang akan memakai busana seragam etnik Jogja.

Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko berpendapat tentang Malioboro  :

Saya lebih berharap Malioboro hanya untuk pejalan kaki. Kalaupun ada kendaraan ya kendaraan yang eksotis saja seperti andong, becak dan sepeda, kecuali ambulan dan mobil pemadam kebakaran. Mobil-mobil dilarang supaya lebih nyaman bagi pejalan kaki.

Masalah parkir harus dibenahi lagi bagaimana penempatannya. Malioboro yang berbudaya harus tercermin juga dari sisi penataan parkirnya. Saya punya langganan 2 tukang parker di depan Malioboro Mall, keduanya selalu bilang pada saya “Aku tukang parkir jujur lho Pak.” Sembari menunjukkan identitas parkirnya. Saya harap semua tukang parkir di Malioboro bisa seperti itu. Pak Haryadi harus berani membuat tindakan tegas.

Masih banyak baliho yang tidak sesuai penempatannya. Seperti di depan Gedung Kantor Pos ada 3 baliho yang menutup juga depan BNI. Kalau mengikuti masterplan periklanan harusnya ini tidak boleh. Karena kawasan nol kilometer harus bersih. Hal itu yang harus betul-betul diperhatikan, karena peratian saya lebih pada sampah visual, berupa iklan luar ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Di taman dan pohon-pohon juga jangan ada umbul-umbul.

Pergola bagi saya lebih pada bersifat sementara karena Malioboro akan lebih nyaman jika ditumbuhi pohon-pohon besar, bukan perdu. Salah satu hal yang memuat kenyamanan adalah teduh.  Saya usul agar barat jalan ditanami saja dengan pohon-pohon yang cepat besar.

Iklan-iklan didesain untuk ditempatkan di dalam toko saja. Papan nama dibuat selebar tokodan jangan ada shop sign, karena itu adalah cara curang para produsen untuk bisa masuk ke Malioboro. Mereka itu ’urik’.

Rontek-rontek, baliho, umbul-umbul yang boleh ada hanya warna merah dan putih meskipun lagi ada event. Tidak boleh ada yang lain kecuali itu.

Kota Yogyakarta sebaiknya belajar dari Kota Sao Paulo di Brazil. Dimana disana tidak ada sama sekali sampah visual dari iklan luar ruang. Dengan wajah kota yang bersih berdampak positif terhadap kunjungan wisatawan, mereka bisa leluasa menikmati pemandangan termasuk juga bangunan heritage yang terjaga keindahannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun