Hemodialisa menjadi ikhtiar paling patah yang kita lewati. Dua kali dalam sepekan, perjuangan itu kita semogakan untuk segala kemungkinan-kemungkinan terbaik milik Tuhan. Kantuk tidak lagi ku miliki, tidurmu yang bisa pulas dengan nafas baik-baik saja, adalah mohonku pada Tuhan setiap waktu. Hingga suatu hari, kita berbincang lewat maafmu yang tidak ku terima. Kau memohon maaf, atas kesulitan yang terjadi, padaku, pada kami. Ku bilang tidak, andalkan & susahkan kami sebanyak yang engkau mau.
Aku serupa Krisan yang gugur disepanjang jalan, Mak. Januari 2023, aku pamit, saat keadaanmu stabil di ruang hemodialisa. Ku cium tanganmu yang kasturi, namun kau pinta pipimu yang delima. Ku bilang, aku pergi dulu ya, Mak. Sebab jika tidak kembali, maka satu-satunya hati yang terluka adalah milikmu. Sekolahku adalah tropimu yang paling kau banggakan. Namun Tuhan berkehendak lain. Aku menepati janji, untuk kembali pulang di februari. Tiga puluh ribu kaki di atas permukaan laut, selepas shalat Maghrib di langit Tuhan. Aku mendapati engkau yang telah tiada, di hatiku, Tuhan membesitkannya begitu saja. Saat berjalan di garbarata, ponsel yang baru saja ku nyalakan sudah penuh dengan puluhan panggilan telepon tak terjawab.
Kau meninggalkanku, Mak. Dan tak ada ucapan selamat tinggal yang sempat ku bisikkan di telingamu. Pipimu yang kau minta untuk ku cium, adalah salam perpisahan yang tak kuharapkan. Waktu adalah almanak yang akan selalu ku hitung jumlahnya. Sampai hari dimana kita bertemu; aku menghadiahimu surga dan Tuhan menyetujuinya. Ada banyak semoga di tahun ini, dua diantaranya adalah; semoga aku bisa menjadi amal jariyah untukmu, dan tetap menjadi diriku sendiri.