FR, AD, GL dan EK , para tersangka pembunuh siswa SMA 6 dan SMA Yake belumlah lahir, tatkala film
"Gita Cinta dari SMA" yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessi Gusman digandrungi banyak remaja di era tahun 80-an. Film yang menceritakan romantika siswa SMA dari mulai pacaran sampai juga perkelahian. Jaman itu anak-anak SMA juga berkelahi tetapi tidak ada niatan untuk membunuh lawannya. Jika antar temen satu sekolah berkelahi yang menjadi pemicu biasanya persoalan berebut teman perempuan atau saling ejek. Jika antar sekolah biasanya yang menjadi pemicu saling ejek setelah even pertandingan sebuah cabang olahraga, apakah itu sepak bola, basket, bola volley dan lomba olah raga yang lain. Sekali lagi itupun bukan ada niatan untuk saling berbunuhan. [caption id="" align="alignright" width="259" caption="Mau belajar di sekolah atau mau "][/caption] Jaman sudah berubah, demikian juga perubahan sosial kemasyarakatan. Pengaruh TV, film yang menayangkan adegan kekerasan sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan mental anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa. Perkelahian dan tawuran yang mereka lakukan sepertinya bertujuan menghasilkan dua jawaban "rumah sakit atau kuburan". Rumah sakit berarti sang korban hanya menderita luka-luka, kuburan itu berarti sang lawan harus mati. Maka tidak mengherankan jika para pelajar itu membekali dirinya ketika berangkat sekolah dengan alat-alat yang bisa dijadikan senjata, ikat pinggang dirubah jadi senjata, batu-batu dimasukan dalam tas/ransel sebagai bekal perkelahian, dan clurit maupun badik bahkan sebilah samurai kerapkali disertakan. Kenapa harus jatuh korban ? Kenapa tawuran sering-kali dibiarkan ? Kenapa pihak sekolah seperti tidak bisa mengendalikan siswanya yang memiliki kenakalan diluar kewajaran ? Kenapa polisi seperti tak bisa berbuat banyak untuk mencegah dan membikin jera para siswa yang tawuran ? Kenapa nasehat yang datang dari para ustad, dari para kyai, dari para habaib, dari para pendeta tidak bisa meredam aksi brutal anak-anak sekolahan ? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab, orang tua, guru, sekolah, ulama, kyai, pendeta, polisi atau masyarakat. Dan siapa yang harus disalahkan. Semua telunjuk saling menuding, padahal kita tahu ketika telunjuk satu menuding pihak lain masih ada tiga jari yang "menunjuk ke diri kita". Jangan-jangan memang kita semua turut bersalah membiarkan anak-anak sekolah bertindak brutal. Pak Nuh, menteri pendidikan, sampai terkejut-kejut ketika menerima jawaban dari siswa AD (siswa SMK KZ) yang membunuh, tentang perasaan PUAS telah membunuh "lawannya".
Duuh......mau jadi apa negeri ini !!! Tentu saja masih banyak anak sekolah yang lebih baik dan terus belajar di sekolah. Tetapi penampakan kebrutalan anak-anak sekolah dalam aksi tawuran memperlihatkan gejala penyakit sosial masyarakat yang sudah sangat mengkhawatirkan, terutama di lingkungan perkotaan. Masyarakat tak bisa hanya mengandalkan kepolisian untuk meredam kebrutalan siswa. Banyak faktor yang mendorong anak-anak kita berbuat nekad nakal diluar kewajaran. Kematian Alawy, kematian Deni dan juga korban-korban lain bukan saja patut menjadi bahan renungan, bahan introspeksi tetapi sudah harus menjadi
political will bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk mencari akar penyebab dan sudah harus menegakan hukum tanpa pandang bulu. Polisi, jaksa, hakim, KPAI dan Komnas HAM harus saling bahu membahu. Tidak hanya saling menuding siapa yang paling berperan dalam mengatasi kebrutalan para siswa. Para korban dan para pelaku itu adalah anak-anak kita. KPAI dan Komnas HAM jangan hanya "melindungi" HAM si pelaku kejahatan (karena pembunuhan adalah kejahatan) tetapi juga para korban, keluarga korban, teman-teman korban. Jika KPAI dan Komnas HAM hanya mencari pencitraan dengan "membela" para pelaku pembunuhan dengan alasan masih anak sekolahan, maka sejatinya kedua lembaga itu secara tidak langsung sedang ikut "menyemaikan" bibit kebrutalan anak sekolahan, apalagi dengan bumbu-bumbu menyalahkan pihak pemerintah khususnya kementrian pendidikan nasional.
"Toch ! jika aku bandel, jika aku nakal ada lembaga yang membelanya", demikian pikiran para anak-anak pelaku KEJAHATAN. Semestinya peran KPAI dan Komnas HAM adalah ikut membantu para korban, aparat keamanan dan pemerintah dalam mencari akar-akar kekacauan sosial sehingga anak yang masih sekolah sering kali berbuat onar, tawuran yang memakan korban. KPAI harus pula berperan melindungi anak-anak sekolah dari kejahatan yang diperbuat anak-anak sekolah juga. Demikian juga Komnas HAM harus melindungi HAM para korban dari pelecehan, kekerasan bahkan pembunuhan. Ketika anak-anak SMK Penerbangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan "dididik" dengan keras oleh para gurunya karena disinyalir hendak tawuran, KPAI dan Komnas HAM bersuara lantang. Akan tetapi ketika Alawy, anak SMAN 6 dan Deni, anak SMA YK, mati terbunuh akibat kekerasan anak-anak sekolahan, kedua lembaga itu bungkam. sumber gambar: beritajakarta.com
KEMBALI KE ARTIKEL