Anak saya, Aqila Qolbi Kamila, saat ini sudah berusia 10 bulan. Dia sudah pandai merangkak. Gigi sudah bertumbuh dua dan akan segera disusul dua gigi seri atas. Dia juga sudah dapat merespon sejumlah kalimat dan kata dengan balasan yang tepat. Mengamati setiap pertumbuhan dan perkembangannya, mengajarkan saya banyak hal.
Seperti halnya bayi pada umumnya, anak saya juga terlahir dengan kebergantungan yang sangat tinggi kepada orang tuanya. Dari ibunya, ia memperoleh ASI. Sumber makanan pokok baginya hingga saat ini.
Ketika lahir ia belum bisa melihat. Pergerakan tubuhnya pun sangat terbatas. Pantas jika ia dapat tidur dalam satu posisi terlentang seharian penuh.
Sekarang, ketika sudah bisa merangkak, ia belum bisa berjalan. Untuk berpindah ke beberapa tempat yang jauh dengan cepat, ia masih sangat perlu bantuan orang tuanya. Digendong ataupun dipapah.
Anak saya memang sudah bisa melahap makanan lain selain ASI. Namun, itu nyaris tidak bisa dilakukannya tanpa bantuan orang tuanya. Ia belum dapat memilah mana benda yang betul-betul layak dimakan. Karena itu, orang tua lah yang menyediakan makanan dan memprosesnya lebih dulu agar dapat dikunyahnya dengan mudah.
Anak saya juga belum paham artinya kebersihan. Karena itu, ia harus dibantu orang tuanya untuk mandi dan berganti baju, termasuk bebersih setelah buang air besar maupun kecil.
Hampir semua hal, anak saya belum mandiri. Wajar memang, karena ia masih bayi.
Setiap hari saya terus mengikuti dan mengamati betapa bergantungnya anak kepada orang tua. Melalui pengalaman itu, diam-diam Tuhan sedang mengajarkan sejumlah pelajaran. Bahwa sangatlah beralasan mengapa masa dan tingkat kebergantungan anak terhadap orang tua seorang manusia jauh lebih panjang ketimbang binatang.
Pertama, Tuhan sengaja menciptakan anak manusia dengan sangat lemah dan penuh kebergantungan agar orang tua dan anak bisa saling belajar. Orang tua dapat belajar arti kesabaran dan ketekunan ketika mendidik dan membesarkan anak. Sementara sang anak dapat menggali pengetahuan dan keterampilan hidup dari orang tuanya.
Kedua, Tuhan sengaja menciptakan anak manusia dengan sangat lemah dan penuh kebergantungan agar tercipta ruang dan waktu bagi orang tua dan anak untuk berinteraksi dan membangun hubungan mendalam. Bukan sebatas fisik, namun juga hubungan batin, keimanan dan intelektual.
Ketiga, Tuhan sengaja menciptakan anak manusia dengan sangat lemah dan penuh kebergantungan agar terbangun kasih sayang mendalam antara orang tua dengan anaknya. Kasih sayang yang dalam tidak mungkin dibangun dalam satu atau dua hari. Kasih sayang itu hanya dapat dibangun dengan interaksi yang intens, penuh makna, berkualitas dan dalam waktu yang lama.
Keempat, Tuhan sengaja menciptakan anak manusia dengan sangat lemah dan penuh kebergantungan agar terbangun kesadaran bagi si anak kelak, bahwa ia tidak akan menjadi siapa-siapa tanpa peran orang tua. Anak memang belum dapat merasakan peran orang tua dalam usianya yang masih muda. Tuhan sengaja menciptakannya demikian. Namun kelak, ketika sang anak dewasa ia akan menyadarinya.
Kebergantungan anak kepada orang tua mengandung hikmah bahwa waktu yang diberikan harus dimanfaatkan setiap orang tua. Karena Tuhan menyediakan masa kebergantungan itu berbatas. Jika anak sudah dapat hidup mandiri, kesempatan telah mencapai kata ”Sekian”. Karena kesempatan itu tidak akan berulang. Wallahu a’lam