1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat krusial. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Departemen Agama Islam RI yang berada di tingkat Kecamatan, satu tingkat dibawah Kantor Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten. KUAÂ memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan.
Fungsi yang dijalankan KUAÂ meliputi fungsi administrasi, fungsi pelayanan, fungsi pembinaan dan fungsi penerangan, serta penyuluhan. KUA juga berperan sebagai koordinator pelaksana kegiatan Pendidikan Islam serta kegiatan Penyuluh Agama Fungsional (PAF). Di samping itu, KUA memiliki beberapa badan semi resmi yang dibentuk hasil kerjasama aparat dengan masyarakat, antara lain Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4), Penyuluh Pengamalan Ajaran Agama Islam (P2-A) dan Badan Kesejahteraan Masjid (BKM), semuanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, memiliki ketahanan keluarga yang sangat tinggi, terbinanya Keluarga Sakinah yang bermoral atau berakhlakul karimah.
Meski memiliki banyak peran di bidang pembangunan keagamaan, namun fungsi paling menonjol yang dijalankan KUA saat ini adalah administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.1 tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Pasal 5, 6 dan 7. Produk-produk hukum ini ditunjang dengan peraturan-peraturan di tingkat menteri yang menjabarkan dengan rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi pencatatan perkawinan.
Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun belakangan mendapat sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya administrasi perkawinan yang harus dibayarkan oleh para catin, yang jumlahnya variatif antara satu catin dengan catin yang lain.
Beberapa kasus pembengkakan biaya pencatatan pernikahan pernah terrekam oleh media. Kasus di KUA Cengkareng pada tahun 2008 misalnya. Pasangan Sarwanto dan Ida mengaku diminta membayar sebesar 400 ribu rupiah untuk melakukan pencatatan pernikahan di KUA. Mereka menjelaskan, bahwa petugas KUA meminta uang sebesar Rp. 400 ribu dengan rincian 35 ribu untuk biaya pencatatan, Rp. 215 ribu untuk penataran, dan Rp. 150 ribu untuk ongkos operasional. (detiknews.com, 2008)
Kasus yang sama dan banyak disorot adalah kasus pembengkakan biaya pencatatan perkawinan yang terjadi di wilayah kerja KUA Makassar Jakarta Timur. Kasus 2 kali di sorot media, yang pertama pada tahun 2008 (detiknews.com, 2008) dan kedua tahun 2010 (kompasonline.com, 2010). Masyarakat yang hendak melakukan pencatatan perkawinan di KUA ini mengaku diminta menyediakan biaya sebesar Rp. 500 ribu hingga Rp. 700 ribu, baik menikah di KUA maupun di luar KUA. (kompasonline.com, 2010) Besaran ini, menurut beberapa warga, tergantung keistimewaan tempat dan lokasi menikah. Jika menikah di lokasi atau daerah elit atau di tempat mahal, seperti gedung, maka biaya pencatatan perkawinan pun menjadi mahal, bahkan biaya pencatatan bisa mencapai Rp. 1 juta. Dan yang membuat warga terheran-heran adalah, pada saat pembayaran administrasi, mereka tidak diberikan tanda terima atau kwitansi (detiknews.com, 2008) atau jika mendapat kwitansi maka biaya yang tertera adalah biaya resmi, Rp. 35 ribu jika menikah di KUA atau Rp. 85 ribu jika menikah di luar KUA. (kompasonline.com)
Agustino (dalam Cahyono 2008) menjelaskan, bahwa berdasarkan hasil penelitiannya bersama tim dari Center for Population and Policy Studies UGM diketahui bahwa banyaknya penyimpangan atau ketidakjelasan pelayanan publik di institusi pemerintah karena kalangan aparatur birokrasi pemerintahan masih kaku dan kurang tanggap dalam merespon keluhan dari masyarakat pengguna jasa. Selain itu, tidak efisiennya pelayanan dan maraknya pungutan liar di luar ketentuan yang berlaku juga masih berlangsung.
Beberapa penelitian mengenai administrasi pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama pernah dilakukan. Cahyono (2008) misalnya, yang berdasarkan penelitiannya di KUA Serpong menemukan, bahwa masih banyak warga yang tidak mau berurusan langsung dengan KUA. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan prosedur pelayanan pencatatan perkawinan yang diterapkan oleh KUA. Sebagian besar dari warga, tidak mengetahui langkah-langkah pendaftaran pencatatan perkawinan dan besaran biaya yang harus dikeluarkan, terutama jika melangsungkan perkawinan di luar KUA. Hal ini karena warga tidak mengetahui atau belum diberitahu oleh pihak KUA besaran biaya yang harus dikeluarkan. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan ketidakpuasan di pihak warga masyarakat terhadap pelayanan pencatatan perkawinan di KUA. (Cahyono, 2008)
Kementerian Agama sendiri juga tidak menutup mata dan telinga terkait keresahan yang dihadapi oleh warga masyarakat, terkait ketidakjelasan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Pada tahun 2008 Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan juga pernah melakukan penelitian mengenai unit cost untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA.
Ruhana, (2008) yang melakukan penelitian di wilayah kerja KUA Kecamatan Menteng misalnya, menemukan fakta bahwa besaran biaya pencatatan perkawinan yang dikeluarkan masyarakat bervariasi, mulai dari Rp. 30.000,- hingga Rp. 1.000.000.-. Bervariasinya besaran biaya pencatatan perkawinan yang dibebankan kepada masyarakat, selain karena keterbatasan biaya yang diperoleh KUA untuk operasional kantor dan penghulu, juga karena perilaku masyarakat yang menuruti keinginan mereka mencatatkan perkawinan di luar KUA dan bukan pada jam kerja KUA, dan menggunakan jasa perantara atau calo pada saat melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. Temuan yang sama juga dihasilkan penelitian Abidin (2008) yang meneliti di wilayah kerja KUA Kelapa Gading. Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut atau perubahan yang cukup signifikan terkait carut marutnya biaya pencatatan perkawinan di KUA.
Besaran biaya pencatatan pernikahan sendiri, sebagai salah satu bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), telah diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 30.000,-. Besaran biaya ini, dikembalikan lagi kepada KUA sebagai anggaran operasional. Jika mengacu pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-32/PB/2009 Pasal 2 ayat 2, maka paling besar Kementerian Agama melalui Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dapat menarik kembali adalah 80% dari total keseluruhan jumlah dana yang diterima dari sekian n peristiwa nikah. Dari dana kembali yang sebesar itu maka, sesuai Peraturan Menteri Agama No. 71 tahun 2009, KUA hanya menerima paling besar 80%, karena harus dibagi dua dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Jika mengacu pada kondisi perekonomian saat ini dan telah terjadinya beberapa kali kenaikan bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, maka besaran biaya tersebut tentunya tidak memadai untuk biaya operasional KUA. Namun demikian, apakah dengan kondisi yang pelik tersebut kemudian masyarakat yang dilimpahkan beban untuk menanggung itu semua? Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian yang benar-benar memfokuskan kajian pada pencarian besaran ideal biaya pencatatan perkawinan di KUA untuk saat ini perlu dilakukan.
1.2. Permasalahan Penelitian
Permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini dibatasai pada;
1. Dasar hukum KUA dalam menetapkan besaran biaya pencatatan perkawinan dan besaran biaya riil pencatatan perkawinan yang ditetapkan pemerintah
2. Besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada saat melakukan pencatatan perkawinan
3. Penyebab terjadinya pembengkakan biaya administrasi pernikahan di KUA yang umum dialami masyarakat dan berapa biaya pernikahan yang ideal di KUA
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui besaran ideal biaya pencatatan perkawinan, maka perlu diketahui dengan jelas terlebih dahulu beberapa hal berikut;
1. Mengetahui dasar hukum KUA dalam menetapkan besaran biaya pencatatan perkawinan dan mengetahui besaran biaya riil pencatatan perkawinan yang ditetapkan pemerintah
2. Mengetahui besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada saat melakukan pencatatan perkawinan
3. Mengetahui penyebab terjadinya pembengkakan biaya administrasi pernikahan di KUA yang umum dialami masyarakat dan berapa biaya pernikahan yang ideal di KUA
Dengan mengetahui keempat permasalahan di atas, maka besaran ideal biaya pencatatan perkawinan di KUA untuk dapat diajukan sebagai bahan pengambilan kebijakan dapat diestimasi.
1.4. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode eksploratori. Informan penelitian adalah Kabid Urais Kanwil Kementerian Agama Propinsi DKI Jakarta, 2 Kasi Urais Kantor Kementerian Agama tingkat Kotamadya, 5 kepala KUA dari masing-masing wilayah Kotamadya di Propinsi DKI Jakarta, dan masyarakat pengguna jasa KUA.
Pengumpulan data mempergunakan teknik wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD), dan kajian pustaka. Wawancara dilakukan terhadap 2 orang informan, yaitu Kabid Urais Kanwil Kementerian Agama sebagai pemegang kebijakan tertinggi bidang administrasi perkawinan di Propinsi DKI Jakarta, dan Kepala KUA Pasar Minggu, yang merupakan salah satu Kepala KUA terbaik di Indonesia pada saat menjadi Kepala KUA Kecamatan Senen.
Teknik diskusi terfokus dilakukan kepada 2 Kasi Urusan Agama Islam Kentor Kementerian Agama Jakarta Timur dan 5 Kepala KUA dengan cara menggelar diskusi terbatas yang membahas mengenai biaya perkawinan, kendala-kendala yang dihadapi KUA dalam operasionalnya, serta solusi yang mungkin diambil untuk menentukan biaya pecatatan perkawinan yang ideal saat ini. Kepada masyarakat pengguna KUA dilakukan wawancara terbatas dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait biaya pernikahan yang mereka keluarkan. Sementara kajian pustaka dilakukan untuk memelajari peraturan perundang-undangan yang ada yang berkenaan dengan KUA, kepenghuluan, biaya administrasi pencatatan perkawinan, dan pengelolaan biaya nikah.
2. KERANGKA TEORITIS
2.1. Pelayanan Publik
Pelayanan secara bahasa (KBBI, 2008) adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Secara istilah, seperti dijelaskan P. Kotler (dalam Cahyono, 2008), pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun. Produk yang dihasilkan bisa terikat dalam bentuk fisik pun bisa bukan berupa fisik.
Definisi lain menjelaskan bahwa pelayanan adalah proses penggunaan akal pikiran, panca indera, dan anggota badan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang maupun jasa. (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008)
Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang sifat dasarnya tak teraba (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun atau sesuatu. Pelayanan bisa berupa pelayanan fisik dan pelayanan administratif. Pelayanan fisik lebih bersifat pribadi sebagai manusia sementara pelayanan administratif adalah kegiatan yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (besar maupun kecil). (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008)
Mengacu pada sejarah administrasi publik, pelayanan publik secara sederhana diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik (whatever government does is public service). Definisi yang terbatas ini wajar, sebab pada saat itu pemerintahan suatu negara hanya menyelenggarakan pelayanan yang menjadi barang publik atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan moral dinilai penting bagi kehidupan warga negara. (Dwiyanto, 2010)
Namun, seiring dengan perubahan peran negara atau pemerintah dan lembaga non-pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan yang menjadi hajat hidup orang banyak, maka definisi di atas ditinjau ulang. Gerakan New Public Management (NPM) yang kemudian di banyak negara maju menjadi salah satu jawaban atas kelemahan pelayanan publik yang selama ini terjadi. Keinginan mentransformasi nilai-nilai yang ada di dunia usaha ke dalam sistem pelayanan publik sektor pemerintah, mendorong makin cepatnya perubahan sistem pelayanan tersebut.
UU No. 25 tahun 2009 Pasal 1 menjelaskan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sayangnya, menurut Dwiyanto (2010), definisi ini mengalami kegagalan karena masih terjebak pada dikotomi siapa yang menjadi sumber pembiayaan dan penyelenggara pelayanan; pemerintah atau swasta. Definisi ini belum bergerak lebih luas dengan melihat pelayanan berdasarkan sifat barang dan jasa.
Karena sempitnya definisi yang diberikan pada Undang-undang No. 25 tahun 2009 di atas, yang masih berkutat pada dikotomi penyelenggara pelayanan, maka saat ini kita dapat menyaksikan banyaknya perusahaan milik negara (BUMN), bahkan juga lembaga-lembaga pelayanan publik yang harusnya menjadi tanggung jawab negara seperti sekolah/universitas dan rumah sakit, yang dijual ke pihak swasta atau diubah menjadi badan hukum. Sebab, dengan menggunakan Pasal 1 Undang-undang No. 25 tahun 2009 di atas, negara dapat berlindung bahwa yang memberikan pelayanan bukan saja negara, melainkan juga bisa pihak swasta. Pasal 2 undang-undang tersebut lebih gamblang lagi menjelaskan hal ini, bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Saat ini, mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya melihat lembaga penyelenggaranya, pemerintah dan/atau swasta. Pelayanan publik dapat didefinisikan dengan melihat dua kriteria; (1) sifat dari barang atau jasa itu sendiri, dan (2) tujuan dari penyediaan barang dan jasa. (Dwiyanto, 2010) Kriteria pertama dalam mendifinisikan pelayanan publik dengan melihat sifat barang atau jasa mengacu pada apakah barang atau jasa yang sifatnya yang publik atau privat. Barang atau jasa yang sifatnya publik atau memiliki eksternalitas[1] tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang mengonsumsi barang tersebut. Sementara barang atau jasa tersebut sangat vital bagi kehidupan warga dan masyarakat luas, seperti pendidikan, layanan kesehatan, pembanguna jalan, dan sebagainya. (Dwiyanto, 2010)
Joseph Stiglitz (dalam Dwiyanto, 2010) membedakan barang atau jasa yang publik dan privat ini menjadi dua kriteria; rival consumption dan exclusion. Barang publik adalah barang yang antar penggunanya tidak saling bersaing untuk menggunakannya (non-rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability). Keikutsertaan seseorang dalam memanfaatkan barang atau jasa tersebut tidak mengurangi manfaat barang atau jasa tersebut bagi yang lain. Semua orang dapat mengambil manfaat dari penyediaan barang atau jasa tersebut tanpa kecuali. Sementara barang yang sifatnya privat atau swasta adalah barang yang memiliki excludability dan daya saing yang tinggi. Peruntukkannya hanya dibatasi bagi konsumen yang dapat diidentifikasi (yang mampu membayar). Produksi dan konsumsi barangnya pun bersifat kompetitif.
Kriteria kedua untuk mendefinisikasn pelayana publik adalah dengan melihat tujuan dari disediakannya barang atau jasa. Penyediaan barang atau jasa yang dilakukan demi mencapai tujuan atau misi negara, mencapai tujuan strategis pemerintahan, dan memenuhi semua komitmen hukum internasional, meski barang atau jasa tersebut sifatnya privat, maka dapat dikatakan pelayanan publik. Tujuan atau misi negara ini biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya. Setiap warga negara memiliki hak dan kebutuhan dasar atas barang atau jasa ini, sehingga negara menjamin sepenuhnya pemenuhan kebutuhan ini. Sebagai contoh adalah pendidikan, layanan kesehatan, jaminan sosial, administrasi kependudukan dan sebagainya.
Dengan memberikan definisi yang jelas mengenai pelayanan publik, terutama jika mengacu pada dua kriteria di atas, maka penentuan luas-sempitnya cakupan pelayanan publik dan tindakan yang harus diambil oleh manajemen pelayanan publik dalam menjami akses warganya untuk memenuhi kebutuhannya dapat lebih jelas diputuskan.
2.1.1. Kualitas Pelayanan
Kebijakan publik selalu dimulai dari isu-isu yang dirasakan oleh masyarakat luas di mana perlu dilakukan tindakan kebijakan oleh pemerintah. (Nugroho, 2007 dalam Bungin, 2008) Isu-isu ini biasanya dimulai dari adanya keluhan di masyarakat mengenai kualitas kebijakan yang diambil oleh negara yang tidak atau kurang memuaskan masyarakat. Atau bisa juga masukan yang diberikan oleh segolongan masyarakat untuk yang tujuannya adalah menciptakan tata pemerintahan atau sosial yang lebih baik. Tindakan kebijakan dimulai dari merumuskan kebijakan kemudian dilaksanakan dalam implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan ini dievaluasi pelaksanaannya kemudian menjadi bahan masukan bagi pelaksanaan kebijakan berikutnya.
Kualitas pelayanan publik sendiri dapat dinilai dari sisi internal organisasi birokrasi sebagai pemberi layanan dan sisi eksternal organisasi yang berkenaan dengan kebermanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat penggunan pelayanan publik. Islamy (1999) menjelaskan beberapa prinsip pokok yang dipahami aparat birokrasi publik mengenai aspek internal organisasi pelayanan publik;
1. Aksesibilitas, setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan.
2. Kontinuitas, pelayanan harus tersedia secara terus menerus bagi masyarakat pengguna serta memiliki kepastian dan kejelasan ketentuan atau hukum yang menjadi landasan bagi berjalannya proses pelayanan.
3. Teknikalitas, setiap jenis pelayanan dalam prosesnya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatana, kemantapan sistem, prosedur, dan instrumen pelayanan.
4. Profitabilitas, proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dan memberikan keuntungan secara ekonomis dan terutama keuntungan sosial jika terkait dengan birokrasi pemerintahan.
5. Akuntabilitas, proses, produk, dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah pada hakikatnya memiliki tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Kualitas pelayanan menurut Zeithaml dan Bitner (2000, dalam Cahyono, 2008) dapat diukur dengan memertimbangkan lima faktor;
1. Tangible atau sarana fisik
2. Reliability atau keterandalan dalam menyediakan pelayanan
3. Responsiveness yaitu kesanggupan memberikan pelayanan cepat dan tepat
4. Assurance yaitu keramahan dan sopan santun yang meyakinkan kepercayaan pelanggan, dan
5. Empathy sikap penuh perhatian terhadap konsumen
Pemerintah, melalui Keputusan Menpan No. 63 tahun 2004, juga telah menjelaskan kualitas pelayanan publik yang pada hakikatnya adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan prima ini memiliki landasan;
1. Transparansi, terbuka
2. Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan
3. Kondisional, artinya sesuai dengan kondisi untuk memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi
4. Partsipatif, mendorong peran serta masyarakat
5. Kesamaan hak atau tidak diskriminatif, dan
6. Keseimbangan hak dan tanggung jawab antara pihak pemberi dan penerima layanan.
Selain peraturan di atas, birokrasi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan publik juga dibekali Keputusan Menteri PAN Nomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang harus dipegang. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka prinsip-prinsip berikut harus dipegang;
1. Sederhana, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berberlit-belit, dan mudah dipahami.
2. Jelas dan pasti, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus jelas dan pasti. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif, unit kerja dan pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan harus dijelaskan kepada publik sebagai penggunan pelayanan dan memiliki landasan hukum yang pasti.
3. Aman, bahwa proses dan produk hasil pelayanan memberikan keamanan dan kenyamanan
4. Terbuka, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja dan pejabat yang bertanggung jawab memberi layanan, waktu perlaksanaan, rinician biaya atau tarif, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta atau pun tidak diminta.
5. Efisien, bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memerhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
6. Ekonomis, bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan; nilai barang dan jasa pelayanan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan kemampuan masyarakat untuk membayar.
7. Adil dan merata, bahwa jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
8. Tepat waktu, bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Asas akuntabilitas menetapkan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Ciri-ciri pemerintahan yang akuntabel adalah; (Andrianto, 2007)
1. Mampu menyediakan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka, cepat, dan tepat kepada masyarakat.
2. Mampu memberikan pealayanan yang memuaskan bagi publik
3. Mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan publik secara proporsional.
4. Memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan.
5. Adanya sarana bagi publik untuk menilai kinerja pemerintah.
Sayangnya, meski telah dibekali banyak peraturan dan pedoman, namun ketidakpastian akan kualitas pelayanan publik masih juga melekat dalam praktik pelayanan publik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat peraturan perundang-undangan dan pedoman di tingkat kementerian masih terlalu abstrak untuk diterapkan di tingkat pelaksana. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar pelayanan. Padahal, Max Weber (dalam Dwiyanto, 2010) sejak hampir satu abad yang lalu telah mengingatkan pentingnya kepastian pelayanan yang tertulis dalam standard operating procedures. Dengan standar ini, maka dapat membuat proses pelayanan menjadi predictable, non-diskriminatif, dan non-partisan.
Apakah birokrasi pelayanan publik sedemikian primitifnya sehingga belum memiliki standar pelayanan yang jelas? Sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi, terutama sejak terbitnya PP No. 25 tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal, banyak Departemen dan Lembaga Non-departemen yang membuat pedoman standar pelayanan minimal (SPM). (Dwiyanto, 2010) Sayangnya, meski banyak standar pelayanan minimal telah dibuat, tetapi manfaat terhadap perbaikan praktik pelayanan dan, apalagi, kesejahteraan masyarakat makin tidak jelas, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.
Beberapa penyebab substantif mengapa pemberlakuan begitu banyak SPM tidak mampu mendorong perubahan praktik pelayana publik. Pertama, SPM gagal menjadikan dirinya sebagai alat dan senjata bagi warga negara untuk memahami hak-hak mereka yang secara minimal harus dipenuhi oleh negara agar mereka dapat hidup secara layak dan bermartabat. Yang terjadi adalah, SPM dipergunakan negara, terutama aparat birokrasi, sebagai basis pencapaian target kinerja pemerintah, bukan target pemenuhan hak minimal warga.
Kedua, tidak adanya hubungan antara SPM dengan biaya dan anggaran pelayanan. Mekanisme pembuatan SPM yang terpisah dari proses dan kebijakan anggaran membuat lembaga penyelenggara layanan mengalami kesulitan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah dibuat pemerintah. (Dwiyanto, 2010) Sejauh ini pemerintah pusat tidak pernah tertarik menentukan biaya pelayanan. Pemerintah pusat hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, informasi mengenai standar biaya pelayanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas.
Ketiga, SPM tidak mengatur dengan jelas pembagian peran antara Negara, warga negara, dan pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan layanan dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksaan peran dari masing-masing pihak dalam penyelenggaraan layanan publik. (Dwiyanto, 2010)
Selain ketiga penyebab gagalnya SPM berlaku di Indonesia, ada penyebab lain yang juga tidak kalah penting yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Penyebab tersebut adalah kompleks dan panjangnya prosedur pelayanan yang ada di Indonesia. Hal ini muncul karena semangat pembuatan prosedur bukan untuk memermudah, menyederhanakan, dan mencipatkan kepastian pelayanan, melainkan dari pola pikir warisan kolonial untuk mengontrol perilaku warga agar tidak melakukan moral hazards. Karenanya, prosedur lebih sering dibuat untuk mengendalikan perilaku warga daripada untuk memfasilitasi praktik penyelenggaraan layanan agar dapat dikelola dengan mudah, efisien, dan predictable. (Dwiyanto, dkk. 2006)
Pengembangan sistem pelayanan publik di Indonesia menuju ke sistem yang lebih baik hanya akan dapat dilakukan apabila sistem pelayanan tidak hanya mengatur tentang standar pelayanan, tetapi juga mengatur secara menyeluruh proses penyelenggaraan pelayanan, termasuk tentang standar biaya, mekanisme alokasi anggaran, dan pembagian peran para pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pelayanan publik. (Dwiyanto, 2010)
2.1.1. Harga Pelayanan
Seperti dijelaskan di atas, kegagalan pemerintah dalam mencapai standar pelayanan minimal salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan harga pelayanan yang harus dibayarkan masyarakat pada saat masyarakat mengurus keperluan mereka di kantor pelayanan milik pemerintah. Ketidakjelasan ini karena pemerintah pusat abai tidak pernah tertarik menentukan biaya pelayanan. Pemerintah pusat hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, informasi mengenai standar biaya pelayanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas.
Kalaupun pemerintah menentukan biaya pelayanan yang harus dikeluarkan masyarakat, penentuan tersebut tidak memerhitungkan standar pelayanan minimal dan operasional yang harus dilakukan para pelaksana di tingkat bawah. Sehingga, pemenuhan standar pelayanan minimal yang dituntut untuk dilaksanakan mengalami kegagalan. (Dwiyanti, 2010)
Pada akhirnya, ketidakjelasan biaya pelayanan ini ditanggung oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Untuk satu jenis pelayanan yang berada pada satu atap sekalipun, biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dapat berbeda-beda. Hal inilah yang kemudian membuat tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada institusi pemerintah menjadi sangat rendah. (Cahyono, 2008)
Kemudian, bagaimana menentukan tarif biaya pelayanan publik yang harus dibebankan kepada masyarakat? Harga pelayanan merupakan indikator nilai, karena berhubungan dengan manfaat langsung yang dirasakan konsumen. Harga juga memiliki peranan penting sebagai alokasi yang membantu pembeli memutuskan manfaat sebelum membeli dan sebagai informasi yang mendidik konsumen dalam mengenali faktor-faktor produk. (Cahyono, 2008)
Menurut Kotler (1997, dalam Cahyono, 2008) terdapat enam langkah untuk menetapkan harga suatu pelayanan. Langkah pertama adalah memilih tujuan penetapan harga. Langkah kedua menentukan permintaan, ketiga memerkirakan biaya, keempat menganalisis biaya, harga, dan penawaran yang bersaing, kelima memilih metode penetapan harga, dan langkah terakhir memilih harga akhir.
Boarden menyatakan, (2001, dalam Cahyono, 2008) penentuan harga suatu pelayanan ditentukan oleh lima faktor;
1. Ongkos, meliputi biaya produksi untuk pembuatan produk mulai dari bahan mentah hingga menjadi bahan jadi pengemasannya, termasuk juga biaya promosi.
2. Konsumen, mengacu pada harapan dan keinginan konsumen mengenai produk atau pelayanan yang akan diberikan kepada mereka.
3. Jalur distribusi, perjalanan barang mulai dari penjual hingga sampai ke tangan pembeli.
4. Kompetisi, harga yang ditetapkan oleh kompetitor juga sangat menentukan pertimbangan penentuan beban biaya yang dikenakan kepada konsumen.
5. Kesesuaian dengan tujuan organisasi,
Terdapat banyak acuan yang bisa dipergunakan untuk menentukan besaran biaya pelayanan publik. Penentuan harga pelayanan yang paling sederhana biasanya hanya memerhitungkan besaran biaya untuk menyediakan pelayanan (operasional). (Rizal & Rahmansyah, 2004) Meski paling sederhana sekalipun, acuan ini mengalami banyak kendala dalam penerapannya. Kendala yang paling utama adalah pertama, sulit sekali menentukan secara tepat berapa keseluruhan biaya pelayanan (full cost) dalam menyediakan pelayanan publik. Kedua, sulit untuk menentukan besaran biaya pelayanan karena konsumsi masing-masing individu terhadap pelayanan berbeda. Sehingga pada akhirnya akan terjadi perbedaan besaran biaya. Ketiga, cara ini mengabaikan kemampuan ekonomi masyarakat tidak mampu. Dan keempat, sulit menentukan apakah besaran biaya yang dibebankan kepada masyarakat hanya biaya operasional (current operation cost) atau juga masyarakat menanggung biaya modal (capital cost). (Rizal & Rahmansyah, 2004)
Acuan lain adalah dengan menggunakan model two-part tarrifs; yaitu mengombinasikan model fixed charge, yaitu pembebanan biaya yang mengacu beban biaya paling rendah yang hanya untuk menutupi biaya infrastruktur (overhead) dan konsumsi (variable charge) dengan model peak-load tarrifs, pembebanan biaya berdasarkan tarif tertinggi setelah menghitung marginal cost atau biaya kegiatan atau peralatan penunjang. (Rizal & Rahmansyah, 2004)
Selain kedua acuan penetapan harga di atas, Kotler (1997, dalam Cahyono, 2008) menjelaskan, bahwa tarif harga pelayanan publik juga dapat ditentukan dengan menghitung empat faktor penting berikut;
1. Moneter, adalah harga pelayanan atau ongkos menuju ke pelayanan
2. Waktu, adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan dan lamanya waktu pelayanan
3. Tenaga, adalah tingkat kelelahan saat menunggu mendapat pelayanan dan selama mendapatkan pelayanan, dan
4. Psikis, adalah tingkat kesulitan dalam memenuhi persyaratan pelayanan dan tingkat kesulitan dalam menjalankan prosedur pelayanan
Penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah, lanjut Kotler (1997), juga harus memertimbangkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan jasa. (Cahyono, 2010) Selain itu, pertimbangan kondisi geografis juga perlu diperhitungkan dalam menetapkan besaran biaya pelayanan publik yang akan dibebankan kepada masyarakat. (Aaberge, et al., 2008)
1. ADMINISTRASI PENCATATAN PERKAWINAN DI PROPINSI DKI JAKARTA
1.1. Gambaran Umum Propinsi DKI Jakarta
Jakarta terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 7.659,02 km2, terdiri dari daratan seluas 661,52 km2, termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu, dan lautan seluas 6.997,50 km2. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Kondisi geografis yang terdiri dari daratan dan kepualauan seperti ini membuat Propinsi DKI Jakarta menjadi daerah yang sangat unik.
Jumlah penduduknya berdasarkan data terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut;
Tabel 3.1.
Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta